Tiga Tipe Kepartaian Mutakhir di Indonesia

Partai sectarian paling tidak pantas dipilih, ia ibarat benalu. Kalah saja bikin risi, apalagi kalau menang pasti merepotkan.

Senin, 15 April 2019 | 08:31 WIB
0
353
Tiga Tipe Kepartaian Mutakhir di Indonesia
Ilustrasi partai politik (Foto: Kompas.com)

Saya ini independent, lepas dari preferensi politik saya itu apa. Siapa yang saya dukung itu adalah hasil dari pengamatan saya secara mendalam, berdasar latar belakang keilmuan yang saya miliki. Boleh percaya atau tidak, saya beum pernah sekalipun hadir dalam acara-acara politik fans club mana pun. Kalau pun saya menulis, itu lebih sering berdasar cerita atau reportase.

Masalahnya kadang sederhana: istri saya seorang PNS, gak mungkin ia terlibat dalam acara kampanye, deklarasi, atau sekedar ubyang-ubyung ke sana kemari. Saya merasa tak nyaman, pergi di akhir pekan tanpa dirinya. Mending nganter dia ke pasar atau jajan ke warung ndeso.

Pun yang sulit dipercaya, saya tidak memiliki satu kaos apa pun, di luar tak ada yang memberi saya, juga saya tak pernah berusaha mencari atau meminta. Saya hanya selalu berusaha menyuarakan atau (tepatnya) menuliskan kabar baik, reputasi buruk, dan terutama trend yang lagi berlangsung.

Tak lebih, mangka bisa dimengerti bila sekali pun saya pendukung Jokowi saya enteng saja mengkritisi belionya, apalagi pendukungnya yang saya pikir suka terlalu lebay, dan bahkan akhir-akhir ini juga berperilaku sama sebagai penyebar hoaxs itu. Mungkin sejenis baku dapa, saling balas tampar!

Bagi saya baik-baik saja, bila akhirnya saya sering dimarahi bahkan oleh pendukung Jokowi die-hard sendiri, karena dianggap abu-abu. Sesuatu yang saya benarkan!

Pun dalam pilihan saya terhadap sistem kepartaian di Indonesia. Di mana saat ini yang paling penting adalah memilih orang yang kita kenal, bisa dipercaya, dan memiliki resiko minimal jatuh mengecewakan.

Sebenarnya tak penting betul dari partai mana ia berasal, karena sebuah partai pada dasarnya sangat manipulatif. Ia bisa bermetamorfosis sedemikian rupa, sejak awal dia lahir hingga kemudian berproses dan menemukan bentuk akhir dirinya.

Alasan mana, selau dijadikan dasar perpecahan dan pembentukan partai baru yang sesungguhnya juga tidak menawarkan apa-apa yang lebih baik. Kalau pun ada trend baru, itu hanya sebutan yang sejatinya juga bukan hal-hal baru amat. Misalnya partai milineal, ini hanya menunjukkan partai anak muda. PSI misalnya yang dianggap barang baru, tapi idenya bukan hal yang sama sekali baru.

Dulu ada partai sejenis yang jauh lebih radikal Partai Rakyat Demokratik (PRD) misalnya. Nyatanya juga gampang lenyap, karena apa? Ya, karena ia kehilangan momentum. Saya khawatir PSI-pun akan berakhir demikian!

Ketika ia terlalu bersemangat untuk tampil "beda". Hal ini dimungkinkan, karena karakter kepartaian yang mampu bertahan di Indonesia itu (menurut saya) terbagi tiga jenis, yaitu:

1. FAMILY PARTY, partai keluarga.

Orang boleh saja bilang platform partainya dengan visi dan misi yang ndakik-ndakik, luhur menembus langit ketujuh. Tapi sesungguhnya partai ini dijalankan dengan semangat patron-klien yang kuat. Muncul seorang tokoh yang mampu mempersatukan atau lebih tepatnya mengumpulkan banyak orang untuk bergerak bersama. Platform dasarnya tentu selalu nasionalis, bisa ultra kiri atau kanan. Dan dalam hajatan pilpres kali ini, sejatinya pertarungan antara dua kelompok ini.

Di sini terdapat tiga partai besar, yaitu PDI-P yang cenderung ke kiri, mewakili kepentingan "wong cilik", Partai Gerindra yang ultra-kanan yang sesungguhnya mengawal kepentingan para pengusaha (Baca: orang kaya atau tetap ingin kaya), dan Partai Demokrat nasionalis-tengah yang sekarang lagi gembos-gembosnya.

Saya tidak tahu, bagaimana nasib partai-partai ini saat Megawati, Prabowo, dan SBY tak lagi pegang kendali? Mreteli, pecah, atau bubar. Yang jelas penerusya pasti akan dipaksakan dari kalangan keluarga sendiri dulu! Tentang partai keluarga yang gurem, ya cukup banyak contohnya : Partai Berkarya dan Perindo. Duitnya banyak, tapi daya tariknya nyaris nol!

2. CORPORATE PARTY, partai yang dijalankan layaknya perusahaan.

Ini bentuk yang paling modern, suka tidak suka kadersasinya paling berjalan cukup baik. Para calon legislatifnya dipersiapkan dengan cermat dan pendanaan partainya relatif lebih save. Save? Ya iyalah, selalu ada cukong besar di belakangnya. Karakter dasarnya, mereka sangat sadar media. Kalaupun mereka pasang baliho, pasti pilihan gambar fotonya, lebih marketable. Kecuali memang dasarnya tidak eye-catching dari sananya.

Partai paling tua, yang pantas disebut tentu saja Golkar. Suka tidak suka, kepemimpinannya bisa siapa saja yang terpilih melalui proses yang demokratis. Mereka yang tersingkir (atau tepatnya kalah), pasti akan membuat partai baru "bernuansa keluarga" yang akan lebih langgeng dapat dikendalikan. Paham kan, kenapa Golkar terpecah belah!

Di kelompok kedua, ada Partai Nasdem yang saya pikir, di luar semua kelebihannya secara sospol, ia sangat tergantung pada "jeger"-nya Surya Paloh. Tak terlihat tanda-tanda ia menyiapkan tokoh untuk pucuk pimpinan yang bisa menyamai reputasi dan kekuatan finasialnya.

Dan di baris ketiga, tentu saja harus disebut PSI, dimana pertanyaan publik selalu sama: siapa yang ada di belakang mereka? Sehingga bisa melakukan penetrasi sedemikian cepat. Pasang ikannya di teve paling rajin, baliho para calon-calonnya tidak "sak umlik", mini dan bukan yang nempel di pohon. Tapi papan raksasa komersial di sudut jalan-jalan strategis. Apa pun gaya corporate seperti inilah yang kadang sukar bertahan, karena bila tidak dianggap menguntungkan ya tutup toko!

3. SECTARIAN PARTY, atau gamblang saja sebut partai-partai yang berbasis agama.

Dalam kasus Indonesia, selalu dengan menawarkan barang jualan yang sama: keselamatan dunia-akhirat. Mereka tak akan pernah menjadi partai besar, dan selalu jatuh sebagai partai pelengkap. Bahasa Jawanya, partai "genep-genep". Ia sudah merasa hebat, jika jadi "little king maker". Diseret kesana kemari, tapi dengan menunjukkan daya tawar dirinya. Jenis ini, paling sulit memiliki calon yang profesional. Karena di dalam otak mereka, bisa bertahan saja sudah luar biasa.

Modal utama kelompok partai ini tentu saja politik identitas. Sebuah keuntungan yang hanya tampak di atas kertas, namun dalam prakteknya justru suatu kelemahan mendasar. Karena apa? Ya mereka memperebutkan ceruk pasar yang sama, yang "high-cost". Dimana calon pemilihnya harus terus menerus diragati, dibiayai, diduiti.

Dapat dimengerti, bahwa kader-kader partai ini yang ada di lembaga eksekutif maupun legislatif banyak tersangkut kasus korupsi. Dan bila konteksnya di pemerintahan (baca: kabinet) mereka akan minta ditempatkan di kementrian yang melulu "cash cow", yang produktifitasnya rendah dan tak terukur, tapi anggarannya besar sekali. Entah sampai kapan demokrasi kita terbebani jenis2 partai brengsek seperti ini.

Contoh partai-nya apa? Ah, pura-pura tidak tahu, ya PPP, PKB, PBB, PAN, PKS....

Tentu saja, dari ketiga pilihan di atas, partai sectarian paling tidak pantas dipilih, ia ibarat benalu. Kalah saja bikin risi, apalagi kalau menang pasti merepotkan. Pilihannya tinggal dua: family party atau corporate party. Saya tentu rekomendasikan yang kedua. Bila partainya cenderung profesional, kemungkinan negara negara dikelola lebih baik tentu lebih besar.

Apakah untung jika Jokowi didukung oleh ketiga jenis partai di atas. Ya tidak dong! Justru ini tanda-tanda bahwa lima tahun ke depan, tak akan banyak terjadi perubahan besar yang terjadi di legislatif. Bedanya mungkin berisiknya relatif minimal.

***