Hoaks dan Narasi Delegitimasi Penyelenggara Pemilu

Bawaslu harus segera bertindak jika terdapat tindak pidana karena ini terkait dengan kredibilitas penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu.

Senin, 15 April 2019 | 22:12 WIB
0
172
Hoaks dan Narasi Delegitimasi Penyelenggara Pemilu
Ketua KPU di Bareskrim (Foto: Liputan6.com)

Saya pernah menulis tentang lemahnya sistem imun sosial kita akibat hoax sepanjang perhelatan politik lima tahunan ini. Sistem imun sosial kita sebagai bangsa majemuk nampak melemah disebabkan narasi bohong dan agitasi yang didistribusikan selama musim pemilu ini, mulai dari Pilpres hingga Pileg yang mulai memanggang kewarasan kita.

Sila perhatikan sekeliling kita, banyak orang gampang terserang hasutan dan terjangkit iri hati, lantaran tak kuat menahan suhu Pilpres dan Pilkada yang terus memanas dan akhirnya kita "halu jamaatan" alias keder bareng. Kita, tak lagi mampu membedakan mana realitas rekaan dan mana fakta yang verifikatif.

Ribut-ribut di akar rumput (grassroots) ramai terdengar, menyoal siapa mendukung siapa. Perbincangan politik masyarakat berseliweran di ruang-ruang publik virtual (new public sphere), kisruh mewakili realitas sebenarnya. Anomali sosial pun bermunculan, ada friksi haters vs lovers, hingga tumbuh faksi-faksi ekstrimis yang cenderung memfragmentasi masyarakat secara hitam putih.

Nah, sejam September 2018 hingga menjelang H-2 pencoblosan, justru secara sporadic justru sejumlah hoax yang mulai diarahkan untuk memantik kecurigaan publik sekaligus mendelegitimasi penyelenggara pemilu. Sebut saja kasus kabar tipu-tipu surat suara tuju kontainer yang tercoblok si tanjung priok. Bayangkan, 7 kontainer bukanlah sedikit jika menghitung daya tamping container tersebut dengan surat suara yang ada di dalamnya.

Alhamdulillah, polisi beserta penyelenggara pemilu berhasil menepis isu kibul tersebut bahkan beberapa tersangka sudah diamankan polisi. Namun sekana belum jera, kini muncul isu penggerebekan di Selangor, Malaysia, yang kini semakin membingungkan publik lantaran sudah digoreng sedemikian rupa sehingga tidak jelas lagi apakah benar itu tindak pidana atau hoaks.

Publik kedua kubu akhirnya saling lempar tudingan, termasuk elit. Selain itu, secara manajemen isu, hal ini merugikan pesangan petahana sekaligus menyudutkan penyelenggara pemilu lantaran dianggap berpihak pada kandidat dan caleg tertentu.

Lantas, mengapa harus kabar kibul terus yang diriwayatkan selama ini? Dari perspektif komunikasi politik, dikenal dengan konsep heteronomi komunikasi dimana seorang komunikator menyampaikan pesan kepada pihak lain dengan didasari prinsip-prinsip moral yang bersifat eksternal bukan karena kesadaran otonom dirinya tentang arti penting moralitas dalam berkomunikasi.

Heteronomi komunikasi itu dipandu oleh prinsip hypotesis imperative, yakni berlakunya syarat mencapai tujuan-tujuan tertentu. Sebagai contoh, syahwat menang dalam pilpres yang tinggi, membuat kedua kubu harus menyerang lawan dengan ragam cara, termasuk hoax.

Padahal, komunikasi politik (termasuk kampanye) yang ideal itu, ya, yang dipandu oleh prinsip categories imperative dimana tingkah laku seseorang dalam berkomunikasi dilandasi moralitas dari dalam dirinya sendiri, bukan sekadar ingin mencapai kepentingan atau tujuan pragmatis semata.

Selain itu, kalau dilihat dari pandangan Jean Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra yang berefek pada reality by proxy dan solusi imajiner, ternyata menggambarkan bahwa sajian realitas politik saat ini baik lewat kanal media arusutama maupun media sosial merupakan simulasi realitas yang seolah-olah mewakili kenyataan. Realitas yang dibangun para hoaxer membuat kita sulit membedakan antara imajinasi dan fakta sebenarnya.

Reality by proxy ini sejatinya dimaksudkan sebagai ketidakmampuan kesadaran dalam membedakan antara realitas dan fantasi. Menyoal hoax 7 kontainer surat suara tercoblos dan kasus pencoblosan surat suara di Malaysia misalkan, publik disuguhkan dengan tingkah lempar isu namun dengan bahasa multitafsir, seperti apa yang disampaikan Andi Arief lewat akun twitternya itu atau memviralkan video penggerebekan tanpa melibatkan aparat hukum dan pengurus berwenang dari lembaga penyelenggara pemilu.

Tak hanya itu, publik pun semakin bingung dengan realitas simbolik yang ditawarkan media melalui kemasan kepentingan yang sulit ditangkap sebagai sebuah kebenaran ataukah simulasi realitas saja. Ini pun dapat disebut sebagai solusi imajiner sebab kehadiran antara realitas dan sesuatu yang bersifat non empiris dihadirkan dalam satu balutan kesan lewat pemberitaan atau publisitas. Media pun kini terjebak pada siklus “siapa cepat dia mendulang clicbait”, bukan lagi pada bagaimana menyajikan berita yang tajam dan informatif.

Sekarang, coba kita telisik pula dari perspektif teori naratif Walter Fisher dalam bukunya Human Communication as Narration: Toward a Philosophy of Reason, Value and Action (1987), salah satu hal utama yang jadi power narasi adalah dapat dipercayanya karakter para aktor yang membawakannya.

Sayang beribu sayang, isu yang digulirkan tidak dibangun dengan keajekan nalar maupun fakta faktual yang verifikatif, melainkan dibungkus pula dengan drama yang malah menggagalkan misi operandi. Selain itu, karakter yang membawakan pesan pun tidak kuat, seperti penggerebekan tempat terduga pencublosan surat suara yang tidak melibatkan pihak berwenang.

Kalau melihat rentetan narasi ini, sesungguhnya akan sangat merugikan masyarakat bahkan bisa dicurigai sebagai suatu upaya konstruktif untuk mendelegitimasi penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU dan Bawaslu. Oleh karena itu, untuk menghindari “kejahatan” semacam ini, maka Bawaslu harus segera bertindak jika terdapat tindak pidana karena ini terkait dengan kredibilitas penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu.

Yang dikhawatirkan adalah terbentuknya mindset public bahwa penyelenggara punya keberpihakan politik, sehingga bisa berdampak pada upaya delegitimasi penyelenggara pemilu itu sendiri.

Kita berharap, isu-isu hoax dan bentuk kampanye yang tidak mendewasakan sudah harus dialihkan pada hal yang lebih subtantif yaitu merayakan demokrasi Indonesia dengan penuh cinta damai demi terciptanya konsolidasi demokrasi yang kian mapan di negeri tercinta ini. Amin!

***