Kemarahan Prabowo kepada Pers, Kemarahan kepada Demokrasi

Rabu, 12 Desember 2018 | 19:50 WIB
0
274
Kemarahan Prabowo kepada Pers, Kemarahan kepada Demokrasi
Prabowo dan insan pers (Foto: Republika)

Sepertinya tak layak jika seorang calon presiden memarah-marahi Pers (media) yang tidak memberitakan gelaran reuni Alumni 212 di lapangan Monas, 2 Desember 2018 yang lalu. Kegeraman Prabowo itu disampaikan dalam pidato peringatan hari disabilitas Internasional di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Rabu, (5/11/2018).

Alasannya, ada media yang dianggapnya tidak menulis jumlah peserta reuni yang mencapai 11 juta orang, seperti yang diklaimnya.

Mungkinkah Prabowo tidak memahami bahwa media sudah sepatutnya memberitakan segala sesuatu sesuai fakta. Karena itu, media mana yang namanya sudah lolos verifikasi faktual dari Dewan Pers dengan sengaja beraninya menyatakan jumlah pasti peserta yang hadir di Monas, apalagi jika jumlahnya berjuta-jutaan, seperti yang diklaim mantan Danjen Kopassus tersebut.

Boleh saja Prabowo mengklaim bahwa reuni Alumni 212 itu adalah satu-satunya acara di dunia ini yang mampu mengumpulkan jumlah massa yang begitu besar. Tapi, mengapa harus memarahi awak media segala? Bukankah media juga punya perhitungan sendiri, mengenai layak tidaknya acara tersebut diberitakan secara masif, bahkan sedetail mungkin.

Tentu saja media tidak sembarang  menyebutkan jumlah peserta yang hadir, apalagi klaim Prabowo itu tanpa disertai data yang jelas dan valid.

Sekalipun harus marah atau kecewa, semestinya itu dilakukan oleh panitia penyelenggara. Jika Prabowo yang marah, hal itu justru menimbulkan kecurigaan bahwa capres nomor urut 02 ini punya kepentingan di dalam acara tersebut, yang katanya tak ada kaitannya dengan politik.

 

 

Pers sebagai Pilar ke-4 Demokrasi

Dalam negara demokrasi, seperti Indonesia ini, ada 3 pilar demokrasi yang sudah kita kenal, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Menurut Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, dalam kenyataannya ketiga pilar demokrasi tersebut sudah mulai digerogoti.

Karena itu, begitu miris ketika kita menyaksikan mereka yang ada di dalam 3 pilar demokrasi tersebut satu persatu digelandang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengenakan rompi oranye, dan menyandang status narapidana korupsi.

Meskipun begitu, kita masih punya satu pilar lagi yang akan menjaga demokrasi agar bisa terus berjalan di atas relnya dengan baik, yaitu Pers. Sebagai pilar keempat demokrasi, menurut Mahfud MD, peran pers di Indonesia paling sehat dibandingkan dengan ketiga pilar lainnya. Dengan demikian, pers berperan penting untuk mengawal demokrasi dan konstitusi Indonesia.

"Begitu penting perannya pers ini, saudara punya tugas besar menegakkan konstitusi dalam bernegara," jelas Mahfud.

Sebagai pilar demokrasi, tentu saja Pers diberikan bekal berupa Undang-Undang agar Pers bisa menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik. 

Kemarahan Prabowo kepada media, mungkin saja karena sebagai seseorang yang pernah dekat dengan lingkungan Cendana (rezim Orde Baru), Prabowo begitu "gerah" terhadap Pers saat ini.

Sekadar untuk diketahui, Pers Indonesia saat ini lebih bebas. Hal ini bisa terjadi setelah tumbangnya Orde Baru pada 1998, dan munculnya pasal 28 F UUD 1945, melalui amandemen kedua.

Selama rezim Orde Baru, kebebasan pers sebagai salah satu ciri demokrasi justru mengalami kekangan. Media yang dinilai melanggar peraturan dan mengkritik penguasa, bisa langsung diberhangus atau istilahnya dibredel. Bahkan, mekanisme penerbitan media massa dikontrol melalui "rezim SIUPP" (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).

Meskipun sudah lebih bebas, hingga saat ini Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, setidaknya ada 61 kasus kekerasan terhadap wartawan sepanjang tahun 2017. Diantaranya, 30 mengalami kekerasan fisik dan 13 kasus pengusiran dan pelarangan liputan.

Nah, apakah yang dilakukan Prabowo kepada Pers bisa dinyatakan sebagai upaya meruntuhkan pilar demokrasi? Inilah yang paling disesali, mengingat belum berkuasa saja, Prabowo sudah begitu menakutkan awak media. Bagaimana nanti?

Bahkan bukan hanya itu.  Ajakan Prabowo Subianto agar pendukungnya tak percaya dan tidak menghormati media massa dan jurnalis justru sangat berbahaya. Hal itu seperti yang dikatakan Koordinator Divisi Penelitian Lembaga Pusat Kajian Media dan Komunikasi Remotivi, Muhamad Heychael.

Ajakan Prabowo itu, bukanlah bentuk pendidikan politik yang baik dan mendewasakan. Bahkan, sikap Prabowo yang menganjurkan pendukungnya untuk tidak mempercayai media dan wartawan, tanpa membeberkan argumen malah akan membuat pendukungnya tak berpikir kritis. Menurut Heychael, sepertinya Prabowo dan timnya benar-benar sedang mengimpor model kampanye Donald Trump di pemilihan presiden Amerika Serikat 2016.

Jika kita melihat apa yang dilakukan Prabowo terhadap media, hal itu berbeda sekali dengan yang yang dilakukan rival politiknya Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hubungan Jokowi begitu dekat dengan media, bahkan hal itu sudah terjalin akrab sebelum dirinya menjadi orang nomor satu di negeri ini. 

Jokowi sudah begitu dekat dengan media, baik itu ketika menjadi Walikota Solo maupun saat menjadi Gubernur DKI Jakarta. Dalam cuitannya di akun twitternya, Jokowi mengatakan sebelum menjadi Walikota Solo, siapa sih yang mengenal dirinya? Tidak ada. Media massa yang memperkenalkan dirinya hingga kemudian menjadi 'media darling' yang mengantarkannya dari Solo ke Jakarta, hingga ke kursi Kepresidenan.