Usai lengser sebagai presiden, SBY seolah kehilangan sentuhan santunnya. Memang bukan SBY langsung menampakan ketidaksantunan, namun lingkaran utamanya. Pilkada DKI mempertunjukan karakter asli, tanpa topeng, kala SBY marah bukan hanya dengan kata, namun ekspresif dengan muka merah padam, dan jargon lebaran kuda yang fenomenal itu.
SBY sebagai ketua umum Demokrat ternyata memiliki kecenderungan yang jauh dari jargon era dulu, yang menjual santun. Entah karena yang santun-santun itu masuk bui atau mau mengadakan perubahan karena bersih masuk bui, coba yang sarkas saja.
Pilkada DKI menjadi titik balik perpolitikan Demokrat yang menggunakan bahasa dan pendekatan berbeda. Kalau main aman masih tetap sama saja. Susah berharap yang berbeda.
Dari sana pun main pecat bagi kader-kader yang meskipun ngawur namun tidak kasar. Ruhut yang menggelari dirinya anjing penjaga pun tidak sekasar model Andi Arief, apalagi Ferdinan Hutahaen ketika menggunakan media sosial.
Entah mengapa SBY diam seribu bahasa dengan polah kedua pejabat terasnya. Berbeda sikapnya dengan Roy Suryo yang dua kali kena semprit. Satu sih memang memalukan karena ngemplang barang kementerian. Dulu, ketika banyak omong pernah ditegur dengan alasan bukan tugas dan kewenangannya, dan diam seribu bahasa hingga kini.
Apa pilihan ini sebagai bentuk kontra karena, santun tidak menjamin pemilih? Ah mosok, tetapi jika membaca bahasa kasar, vulgar, Ferdinan Hutahaen harusnya SBY malu. Bahasa abg labil tidak sekolahan yang ada. Ini bukan soal kampanye semata, namun juga literasi bermedia sosial bagi bangsa dan negara lho.
Andi Arief dan Ciutan ala Alay
Alay itu, abg lebay, di mana apa yang dijadikan status media sosial, ciutan, atau pernyataan persnya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Persis remaja galau yang menuduh rivalnya begini dan begitu, usai disamperin, diklarifikasi, langsung dihapus. Kalau didatangi kabur dan pernyataannya dihapus, atau ngeles seperti bajaj kejar setoran. Miris sebenarnya perilaku generasi muda kog seperti itu.
Mengapa SBY diam saja? Padahal jelas sangat kontraproduksi dan tidak patut di tengah arus dan alam demokrasi yang kata Pak Beye harus santun itu. Apa iya menuduh dan menuding namun diperiksa oleh yang berwenang tidak mau. Paling tidak ada tiga kejadian cukup besar yang ia sampaikan dari pemilihan nama cawapres hingga hari ini.
Jenderal kardus. Hanya begitu, tidak ada tindak lanjut. Sama juga maaf kentut, berbau menguar busuk ke mana-mana, semua tidak ada yang mengaku ya sudah. Apalagi upaya penegakan peraturan pemilu pun sama buruknya. Tidak pernah memeriksa yang menyatakan dan sudah disimpulkan tidak ada pelanggaran. Wajar kalau mengulangi dan kini lembaga yang berbeda yang akan menangani. Bawaslu sudah memberikan rekaman ke mana kecenderungannya.
Tujuh kontainer surat suara. Ya gitu deh, lagi dan lagi sama saja, ngeles ke mana-mana dan malah menyasar presiden. Lha memang pentingan nasib AA atau keadaan negara? Susah yakin akan ada tindak lanjut. Di mana ini adalah KPU dan kepolisian yang perlu menunjukkan tajinya.
Rumahnya didatangi polisi bak teroris. Lagi-lagi presiden yang disasar, kapolri juga ditunjuk. Bagaimana sikap kepolisian ketika “difitnah” begini. Bagaimana bukan fitnah ketika rumah yang benar didatangi sudah dijual, dan keluarga yang di sana pun merasa tidak ada “penggrebegan”.
Ini sangat serius apa yang dilakukan AA, jangan hanya mengaku itu salah paham, atau dengan gampang menghapus apa yang sudah dinyatakan. Kecenderungan mengail di air keruh dengan sistematis untuk menghindari jerat hukum dan peraturan Pemilu, memberikan indikasi sangat buruk bagi generasi muda yang berperilaku demikian.
Biasa menebar kebohongan, fitnah, dan jika terdesak minta maaf atau ngeles sebagai tidak begitu maksudnya. Basi. Tidak lagi patut, bagaimana Pak Beye mau menjual AHY jika perilaku elitnya sebusuk itu?
Lembaga negara diobok-obok dengan kebobrokan demikian. Jika hukum ditegakkan, akan menuding pemerinatah antikritik, pemerintah otoriter, presiden baper, dan seterusnya. Lagi-lagi, lagu basi yang dipakai.
Jangan salahkan pihak lain, jika Pak Beye tidak cepat mengambil sikap, Demokrat makin nyungsep. Jangan harap lagi memiliki pemilih, masih elegan Anas dan kawan-kawan. Mereka hanya maling, kerusakan sesaat. Ini kebohongan, fitnah, dan menebar ketakutan, jauh lebih buruk dan busuk. Dampak besar bagi Demokrat yang masih hancur lebur atas kasus demi kasus korupsi.
Pertaruhan besar bagi SBY demi AHY 2024 jika tidak memperbaiki perilaku ugal-ugalan kader elitnya ini. SBY juga terkena nodannya karena jauh dari pendekatan SBY yang sudah dilakukan. Percuma menjadi presiden dua periode, pernah memenangi pemilu, namun perilakunya serendah itu.
Jadi mikir, jangan-jangan kardus dan kartu tujuh kontainer itu bawah sadar Demokrat yang biasa main demikian kemudian menyematkan pada pihak lain. kan mengukur pakaian itu pada badan sendiri bukan?
Layak dinanti sikap Pak Beye, apa setegas seperti pada Ruhut dan Roy, atau pura-pura tidak mendengar dan melihat? Juga KPU dan Polri apa akan seperti Bawaslu?
Salam.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews