Sengkarut Pilpres, Ada Kecemasan Klan Soeharto terhadap Langkah Jokowi

Senin, 31 Desember 2018 | 05:53 WIB
0
869
Sengkarut Pilpres, Ada Kecemasan Klan Soeharto terhadap Langkah Jokowi
Jokowi, Tommy dan Prabowo (Foto: Tribunnews.com)

Mereka yang meyakini Prabowo Subianto tegas ada benarnya. Bahkan jika merujuk pada beberapa fakta bisa disimpulkan Prabowo termasuk tipikal pemimpin yang sulit didebat. Saya bayangkan bagaimana situasi kubu penantang hari-hari menjelang Natal, apa lagi saat Prabowo memastikan akan menghadiri perayaan Natal yang rutin diadakan keluarga besarnya.

Tak terbayang suasana hati Fadli Zon cs yang akan kesulitan menjelaskan pada publik sikap Prabowo yang secara vulgar bertolak belakang dengan pandangan dominan ulama yang berada di belakang ijtima' yang memberinya rekomendasi.

Fakta ini sekaligus menjelaskan betapa lemahnya posisi tawar para pendukungnya di hadapan Prabowo, termasuk para ulama. Sulit menghindari kesan kalau relasi yang terbangun antara Prabowo dengan pendukungnya adalah hubungan patron-klien yang bersifat hirarkis.

Berbeda dengan hubungan antara Jokowi dengan tim kampanyenya yang justru terkesan terlalu mendikte kandidat. Sikap nyinyir kubu Prabowo terhadap beberapa pose yang berulang pada peristiwa berbeda menunjukkan betapa terbukanya Jokowi pada masukan timnya.

Jika dilacak ke belakang bukan sekali ini Prabowo menunjukkan sikap tegasnya yang sulit dibantah. Saat memutuskan Sandiaga Uno sebagai wakilnya dan mengenyampingkan aspirasi tim dan partai pengusung hingga ketidakpastian nasib Wakil Gubernur DKI Jakarta sampai saat ini tak mungkin lepas dari keputusan Prabowo.

Relasi patron-klien ini mengingatkan kita pada Harmoko, Menteri Penerangan selama 14 tahun di masa orde baru dengan jargon yang sangat terkenal “Menurut petunjuk Bapak Presiden…”. Trauma publik pada gaya kepemimpinan yang otoritarian model orde baru di bawah rezim Soeharto bisa berimplikasi pada penolakan terhadap calon pemimpin dengan karakter sejenis.

Lahirnya Partai Berkarya yang terangan-terangan mengusung platform orde baru yang memanfaatkan momentum reformasi justru berpotensi membelokkan semangat serta tujuan reformasi itu sendiri. Pernyataan Titiek Soeharto yang akan mengembalikan Republik Indonesia seperi zaman Soeharto jika Prabowo terpilih jelas merupakan penghianatan terhadap agenda reformasi yang sejatinya lahir sebagai antitesa terhadap orde baru.

Pernyataan Titiek ini tidak dibantah kubu Prabowo, akibatnya lahir kecurigaan pada upaya menghidupkan kembali semangat orde baru lewat kepemimpinan Prabowo.

Ide menghadirkan semangat orde baru atau rezim baru dengan aktor lama bukan hal baru. Jatuhnya rezim otoritarian orde baru tidak dengan sendirinya melahirkan rezim baru dengan aktor baru yang putus hubungan dengan aktor sebelumnya. Desakan sejumlah aktivis, cendekiawan kampus serta tokoh mahasiswa yang menghendaki aktor lama tidak perlu diikutkan dalam pemerintahan transisi menunjukkan upaya memutus rantai kepemimpinan dengan rezim sebelumnya.

Namun tidak bisa dipungkiri penyerahan kekuasaan pada Habibie sebagai pengendali pemerintahan transisional menunjukkan betapa tidak mudahnya memangkas kekuatan aktor lama yang ingin tetap eksis dalam pemerintahan transisional.

Akibatnya, gerbong reformasi disesaki penumpang gelap yang memanfaatkan kebebasan berpolitik untuk mendesakkan kepentingannya. Munculnya jargon kerinduan akan masa lalu seperti "Piye kabare lebih enak jamanku toh," atau kampanye mengagung-agungkan kebijakan orde baru yang dianggap pro rakyat merupakan agenda sistematis menyiapkan jalan lapang kembalinya aktor lama ke pentas politik nasional.

Anehnya, kepentingan mereka bersinergi dengan kelompok-kelompok Islam garis keras yang justru tidak diberi ruang gerak bahkan dikriminalisasi di masa pemerintahan rezim orde baru karena dianggap mengancam stabilitas nasional. Kasus Tanjung Periok, Pembantaian Talangsari, Pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh adalah bukti telanjang kriminalisasi orde baru terhadap kelompok muslim yang dianggap militan dan mengancam stabilitas pembangunan.

Sebaliknya, isu kriminalisasi ulama oleh rezim pemerintahan Jokowi tidak lebih dari upaya provokasi untuk menarik simpati kelompok Islam yang justru tiarap di masa pemerintahan Soeharto.

Namun di balik semua retorika politik panggung depan, sesungguhnya terdapat penyebab makin mengerasnya perseteruan antar rezim pemerintahan Jokowi dengan kubu Prabowo yang berhimpit dengan kepentingan keluarga besar mantan penguasa orde baru.

Adalah kebijakan Jokowi yang berpotensi merugikan dan mengancam perekonomian ahli waris mantan Presiden Soeharto dengan menyetujui eksekusi Yayasan Soeharto sebesar Rp 4,4 Triliun di bulan Oktober 2015. Presiden Jokowi memerintahkan Jaksa Agung kala itu menyita aset mendiang Soeharto yang berdasarkan putusan MA terbukti bocoran dana Supersemar mengalir ke beberapa tempat di antaranya: Bank Duta (Bank Danamon), Sempati Air, PT Kiani Lestari, PT Kalhold Utama, Essam Timber, PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri dan Kosgoro. Kebijakan Presiden Jokowi ini jelas membuat panik ahli waris penguasa 32 tahun orde baru tersebut.

Seakan merespon kebijakan Jokowi, Tommy Soeharto mendeklarasikan partai Berkarya di 33 kabupaten/kota se Sumatera Utara di bulan Desember 2016 dengan mengusung Soeharto sebagai ikon partai dan memastikan akan lolos verifikasi faktual KPU dan ikut pemilu 2019. Parsindo yang merupakan mengusung Tommy Soeharto untuk nyapres di 2019 ikut mengusung Anies-Sandi sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta.

Keterlibatan keluarga besar mantan Presiden Soeharto memberi dukungan pada kubu Anies-Sandi pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta serta berbagai rumor keterlibatan Tommy sebagai donatur aksi 313 menjadi semacam penanda kalau pemilihan Gubernur DKI sebagai titik star pertarungan panjang menjelang Pilpres 2019.

November tahun ini Kejaksaan Agung RI resmi menyita Gedung Granadi sebagai bagian dari denda hukuman Rp4,4 triliun yang harus dibayarkan oleh Yayasan Supersemar kepada negara yang hingga saat ini baru Rp243 miliar nilai aset yang berhasil disita.

Kecemasan pada kemungkinan rezim otoritarian orde baru kembali berkuasa tidak cukup alasan di tengah keterbukaan informasi dan berdayanya masyarakat sipil seperti sekarang. Namun hadirnya rezim yang berpotensi menutup peluang kembalinya aset negara yang masih dikuasai pihak tertentu akibat korupsi bukan hal yang mustahil.

***