Kita Membiayai Para Teroris

Jangan sampai sedekah kita berubah menjadi biaya yang menghancurkan kehidupan kita sendiri. Benar-benar cilaka.

Sabtu, 5 Desember 2020 | 12:45 WIB
0
168
Kita Membiayai Para Teroris
Ilustrasi teroris (Foto: detik.com)

Ada yang menarik. Polisi baru saja menemukan fakta bahwa gerombolan teroris Jemaah Islamiyah dibiayai dari berbagai kotak amal yang tersebar di Mini Market dan berbagai toko sembako di Indonesia.

Ironis. Mereka hadir untuk membunuhi rakyat. Tapi minta sumbangan dari masyarakat. Uangnya digunakan untuk membeli senjata yang nanti untuk memotong leher masyarakat. Betapa celakanya kita.

Memang kalau kita masuk minimarket, di depan kasir biasanya berserakan kotak-kotak amal yang entah dari mana. Uang kembalian kadang iseng kita masukin kesana. Berharap balasan dari sedekah kita. Iya, sekadar uang kecil.
Tapi jika jutaan orang berbuat yang sama, uang kecil itu akan menjadi besar juga.

Sialnya ada kotak amal yang diletakkan teroris. Mereka berharap bantuan dari masyarakat, untuk membiayai aksi mereka membunuhi rakyat. Dan kita gak tahu kotak amal yang mana.

Dulu saat terorisme Suriah sedang di puncaknya, sebuah lembaga amal rajin jualan isu Suriah. Mereka mamakai tagar Save Aleppo, seolah mau membantu rakyat Suriah.

Tapi bukti menunjukan dana lembaga amal itu disalurkan buat para teroris. Saat pembebeasan Aleppo dari gerombolan biadab di markas teroris banyak kardus sumbangan dari Indonesia.

Artinya lembaga penjaja Save Aleppo itu meminta sumbangan dari kita. Dikirim ke teroris Suriah. Agar para teroris itu bisa membunuhi rakyat Suriah. Akibat sumbangan kita, mungkin, jutaan anak di sana kehilangan gedung sekolah. Rumah Sakit hancur. Perempuan diperkosa. Ratusan kepala terpenggal.

Dan sebagian aksi mereka lancar, karena kebaikan hati masyarakat Indonesia. Kita ditipu oleh lembaga amal untuk membantu kebiadaban.

Herannya Save Aleppo diteriakkan ketika teroris terdesak. Namun saat teroris sedang melakukan aksi brutalnya di Aleppo, lembaga-lembaga amal itu boro-boro teriak Save Aleppo. Mereka seperti menyetujui kerusakan di Suriah.

Rakyat Indonesia memang baik hati. Kita selalu tergerak untuk membantu orang kesusahan. Kita selalu miris melihat masjid yang mangkrak karena gak ada biaya. Kita selalu ingin rezeki kita menjadi kendaraan untuk berjumpa dengan Tuhan.

Tapi kebaikan hati kita itu. Semangat bersedekah itu dimanfaatkan secara keji oleh gerombolan biadab ini.

Mungkin sudah saatnya kita berhati-hati dengan ulah mereka ini. Kita memang patut terus menyebarkan kebaikan hati. Tapi jangan sampai kebaikan hati kita justru menjadi alat bantu kehancuran kemanusiaan. Karena sedekah kita salah sasaran.

Kita gak tahu, kotak amal mana yang digunakan teroris di mini market. Memakai nama apa. Tapi melihat dari longgarnya aturan soal mengumpulan dana publik ini rasa-rasanya kita perlu semakin hati-hati.

Teruslah bersedekah. Tapi usahakan kita tahu pasti kemana uang kita disalurkan. Pilihlah bersedekah ke orang atau lembaga yang kita kenal. Hindari sedekah ke lembaga yang kita gak tahu juntrungannya. Bukan karena kita pelit. Tapi kita gak mau sedekah kita digunakan teroris untuk membunuh orang lain.

Saatnya lembaga seperti Baznas atau MUI mengekuarkan aturan jelas mengenai pengumpulan sedekah model begini. Hanya lembaga-lembaga yang terdaftar saja yang boleh mengumpulkan duit sedekah. Jangan biarkan gerombolan ini memanfaatkan kebaikan hati kita menjalankan aksinya.

Mulailah lebih cerdas bersedekah tanpa mengurangi semangat kita mendistribusi rezeki. Kita tahu, setiap sen uang yang kita sedekahkan akan menjadi ladang pahala. Jangan sampai justru menjadi ladang mudharat.

Jika bisa memilih, saya lebih suka bersedekah langsung kepada orang yang kita kenal. Orang-orang di sekitar kita. Kepada keluarga, lingkungan, teman. Pokoknya kita tahu, sedekah kita berguna buat hidupnya. Atau jika mau menyumbang rumah ibadah, ya rumah ibadah yang kita tahu. Atau setidaknya dapat rekomendasi dari orang yang kita percaya.

Jangan sampai sedekah kita berubah menjadi biaya yang menghancurkan kehidupan kita sendiri. Benar-benar cilaka.


Eko Kuntadhi

***