Kebenaran yang tidak terorganisir, bisa dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir, demikian ungkapan populer Ali bin Abi Talib. Kalimat ini tepat dalam menggambarkan fenomena radikalisme saat ini. Radikalisme sebagai representasi dari kebatilan bisa mengalahkan kedamaian sebagai perwujudan dari kebenaran.
Merupakan sebuah fakta, bahwa orang-orang radikal itu sejatinya hanya segelintir orang, tetapi mereka terorganisir. Sedikit, tetapi kompak. Sebaliknya, pihak yang mendambakan perdamaian berada dalam jumlah yang banyak, tetapi tidak bisa berjamaah. Mayoritas, tetapi diam.
Gemerlap kamajuan informasi dan teknologi ditambah penetrasi dari media sosial membuat manusia bisa mencukupi dirinya sendiri. Apa-apa yang diinginkannya tinggal klik, sudah tersedia di depan mata.
Efek paling nyata adalah pudarnya budaya gotong royong di tengah-tengah masyarakat. Budaya gotong royong adalah sendi dari kehidupan dalam mewujudkan kenyamanan dan kedamaian.
Di lain pihak, tumbuhnya keegoisan di tengah mayarakat ini dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk membuat teror dan menciptakan dis-harmoni.
Keegoisan ini bisa dilihat dari adanya anggapan bahwa tugas memberantas dan mencegah terorisme hanya tugas pemerintah saja. Atau ada sikap yang masih bersimpati terhadap mereka yang didakwa sebagai terorisme.
Akar Radikalisme
Akar dari radikalisme yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan aksi terorisme adalah sikap intoleransi. Sikap intoleransi secara sederhana adalah sikap yang tidak mau menghargai pendapat, pemahaman, keyakinan orang lain. Entitas apapun yang berasal dari lisan tidak dihargai dan sekuat tenaga ditolak.
Sikap seperti ini menjadikan seseorang jadi eksklusif, menutup diri, dan menegasikan yang lain. Intoleransi pada akhirnya menjadikan seseorang tidak mempercayai orang lain, dan kebenaran sejati hanya pada "aku atau kelompok-ku".
Mengapa seseorang bisa bersikap intoleran? Jawabannya tentu banyak. Akan tetapi, dari sekian faktor itu, agama menjadi salah satu penyebab yang rentan dijadikan alasan.
Kita tidak bisa mengatakan, bahwa hanya agama sematalah yang menyebabkan seseorang terkena virus radikalisme. Agama hanya salah satu dari sekian banyak faktor.
Menuju Toleransi
Nilai ke-Indonesia-an yang toleran, welas asih, dan guyub, menjadi modal yang sangat pas dalam menangkal sikap intoleransi.
Dengan demikian, melawan radikalisme perlu dari akarnya, yaitu mencegah sikap intoleransi dengan cara-cara mengakar tentunya. Cara-cara mengakar itu lebih mengutamakan pencegahan yang berbasis pada lintas disiplin, pendekatan, strategi, partisipasi, dan keaktifan dari semua kalangan.
Sikap toleransi sudah tertanam di hati masyarakat Indonesia dengan beragam budaya dan dibangun oleh sejarah pluralisme. Hanya butuh semangat kebersamaan untuk memantik api toleransi dan semangat kebangsaan di sanubari masyarakat Nusantara.
Maka dari itu menangkal radikalisme harus dilakukan secara bersama-sama antar elemen warganet dan masyarakat. Menangkal virus radikalisme membutuhkan kerja kolektif dengan jiwa gotong-royong dan semangat Bhinneka Tunggal Ika menciptakan toleransi dan nasionalisme serta optimisme terhadap bangsa dan negara.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews