Indonesia dan "Two-State Solution"

50 persen responden mengatakan kekerasan cara pengakhiran “pendudukan” yang efektif, dan 45 persen menyatakan satu-satunya jalan untuk mengubah status quo adalah perjuangan bersenjata!

Rabu, 19 Februari 2020 | 05:59 WIB
0
243
Indonesia dan "Two-State Solution"
Pejuang Palestina (Foto: okezone.com)

Dalam Sidang Dewan Keamanan (DK) PBB di New York beberapa hari lalu, Indonesia mengingatkan bahwa PBB, terutama DK PBB memiliki utang kepada rakyat Palestina. Yakni, untuk menemukan solusi damai—mengakhiri konflik berbilang tahun antara Israel dan Palestina-- berkelanjutan atas situasi kemanusiaan rakyat Palestina. 

Indonesia juga menegaskan kembali sikapnya  terhadap penyelesaian konflik Israel-Palestina yakni mendukung sepenuhnya penyelesaian konflik dalam format two-state solution. Oleh karena itu, Indonesia secara tegas mengecam berbagai tindakan Israel yang terus memperluas wilayah pendudukannya di Tepi Barat, yang menghambat terciptanya perdamaian; dan mengurangi wilayah Palestina, sehingga menjadi penghambat tercapainya “solusi dua negara.”

Yang sekarang ini dirasa semakin memperumit situasi justru adalah usulan damai yang diajukan oleh Presiden AS Donald Trump, yang disebut Deal of the Century. Meski, rincian usulan itu belum dibuka sepenuhnya, akan tetapi dari hal-hal yang sudah terungkap tergambar jelas bahwa keberpihakan AS pada Israel semakin kuat. Usulan damai Deal of the Century justru tidak menjiwai semangat Resolusi No.242/1967  DK PBB yang menyerukan terciptanya “perdamaian yang adil dan kekal.”

Misalkan, dalam Deal of the Year Washington tidak lagi menggambarkan wilayah Lembah Yordan, Tepi Barat Palestina (dan juga Dataran Tinggi Golan) sebagai wilayah “yang diduduki” Israel, wilayah pendudukan yang direbut dalam Perang 1967. Dengan demikian, Washington hendak mengakui wilayah pendudukan itu sebagai wilayah Israel. Tentu, hal tersebut bertentangan dengan semangat damai, misalnya, seperti yang dijelaskan Kesepakatan Oslo.

Oleh karena itu, sangat tidak mengherankan kalau, menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Palestinian Center for Policy and Survey Research di Ramallah (The Jerusalem Post, 13/2/2020), rakyat Palestina sepenuhnya menolak usulan Trump tersebut. Studi itu mengungkapkan, dalam survei yang dilakukan di Jalur Gaza, Jerusalem Timur, dan Tepi Barat, 94 persen responden menolak usulan Trump itu.

Adalah sangat menarik, menurut studi itu, 58 persen orang Palestina yakin bahwa rencana usulan Trump itu hanya memiliki peluang 0 persen (nol persen) bagi pengakhiran “pendudukan Israel”; dengan sekitar 21 persen responden mengatakan rancangan damai Trump hanya memiliki peluang kurang dari 50 persen untuk menyelesaikan konflik.

Yang sungguh mengagetkan sekaligus memberikan kekelaman akan masa depan perdamaian adalah 64 persen responden merasa bahwa kekerasan adalah jawaban yang paling baik terhadap rencana damai Trump. Sebanyak 50 persen responden mengatakan kekerasan adalah cara pengakhiran “pendudukan” yang efektif, dan 45 persen menyatakan satu-satunya jalan untuk mengubah status quo adalah perjuangan bersenjata!

Lalu, bagaimana masa depan two-state solution? Apakah solusi, yang selama ini dianggap paling masuk akal tersebut, bisa diwujudkan?

Sejarah Panjang

Sebenarnya, two-state solution memiliki sejarah panjang, atau bahkan sudah muncul sejak konflik antara Israel-Arab (Palestina) bermula.

Sejarah mencatat bahwa two-state solution mula pertama merupakan rekomendasi yang disodorkan oleh Komisi Peel (1937)—sebuah komisi yang dibentuk oleh pemerintah Inggris sebagai pemegang mandat atas Palestina (Mandat Inggris), pada tahun 1939, untuk menginvestigasi penyebab terjadinya kerusuhan antara orang-orang Palestina dan Yahudi. Komisi dipimpin oleh Lord Robert Peel. Maka itu, disebut Komisi Peel. Komisi tersebut mengusulkan   pembagian menjadi dua atas wilayah Palestina untuk mengakhiri kerusuhan.

Lalu, pada tahun 1947, Majelis Umum (MU) PBB menerbitkan Resolusi 181 yang disebut sebagai “Partition Plan”, Rencana Pembagian. Yakni, membagi Palestina menjadi dua: negara Yahudi dan negara Arab, dengan menyatakan Jerusalem sebagai corpus separatum (entitas terpisah) dan menjadi kota internasional di bawah pengawasan PBB.

Wakil Yahudi di Palestina ("the Jewish Agency") secara taktis menerima rancangan tersebut—meskipun dengan rasa berat—karena rancangan tersebut berimpliksi pengakuan inernasional terhadap tujuan mereka mendirikan sebuah negara. Tetapi, negara mereka lebih dibandingkan bayangan dan harapan mereka berdasarkan pandangan legal dan hak historis (versi mereka).

Padahal, menurut Resolusi 181 tersebut, wilayah yang akan mereka terima lebih luas dari yang akan diterima orang Arab (Palestina). Negara Yahudi akan mencakup 56,47 persen wilayah Mandat Inggris (Mandat Palestina), tidak termasuk Jerusalem, dengan penduduk 498.000 Yahudi dan 325.000 Arab. Sementara, luas Negara Arab hanya mencakup 43,53 persen, juga tidak termasuk Jerusalem, dengan penduduk 807.000 Arab, dan 10.000 Yahudi.

Pihak Palestina dan Arab, secara tegas menolak Resolusi 181 tersebut. Sebab, menurut mereka, resolusi tersebut tidak adil, mengabaikan hak-hak mayoritas rakyat Palestina. Jumlah mereka lebih banyak, tetapi hanya mendapatkan wilayah yang lebih kecil. Apalagi, mereka lebih dahulu tinggal di wilayah tersebut. Liga Arab dan institusi-institusi Palestina menolak Resolusi "Partition Plan” tersebut.

Resolusi menghadapi jalan buntu. Situasi bertambah buruk karena pada tahun 1948, Israel menyatakan kemerdekaannya. Dan, kemudian pecahlah Perang Arab-Israel Pertama. Perang ini menghasilkan, yang oleh orang Palestina disebut Nakba, bencana kemanusiaan. Oleh karena hampir 50 persen desa-desa Palestina dihancurkan tentara Yahudi dan banyak kota dibersihkan dari penduduk Palestina termasuk antara lain, Akka, Bir Al-Saba’, Bisan, Lod, Al-Majdal, Nazareth, Haifa, Tabaria, Yaffa, dan Jerusalem-Barat.

Pasukan Israel diperkirakan membunuh 13.000 orang Palestina dan memaksa 520.000 orang Palestina (sumber Israel) hingga  726.000 orang (800.000 orang, sumber Arab) Palestina (sumber PBB), mengungsi.  Lima ratus tiga puluh satu kampung Palestina dikosongkan dan dihancurkan (al-awda.org).

Tragedi kedua terjadi menyusul Perang Enam Hari 1967. Israel merebut dan menduduki Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem-Timur, Sinai (Mesir), dan Golan (Suriah). Bukan hanya itu, untuk kedua kalinya orang-orang Palestina harus meninggalkan kampung halamannya: menjadi pengungsi. Mereka mengungsi ke antara lain Yordania, Suriah, Lebanon, dan Mesir.

Sejak itu, tidak pernah ada yang namanya damai dan perdamaian. Berbagai dan berkali-kali usaha perdamaian dilakukan, namun selalu menemui jalan buntu. Pada tahun 1993, Israel dan Palestina dalam perundingan rahasia di Oslo, Norwegia menyepakati apa yang kemudian disebut Kesepakatan Oslo (Deklarasi Prinsip-prinsip). Kesepakatan itu antara lain menyatakan, bahwa Palestina memperoleh pemerintahan sendiri yang terbatas di bawah entitas yang disebut Otoritas Palestina. Selain itu, juga disebut tentang formula penyelesaian dua negara, two-state solution.

Selama beberapa dekade, formula ini diyakini akan menyelesaikan konflik, dan dianggap sebagai yang paling realistik. Formula ini mendasarkan pada pembentukan dua negara terpisah: Israel dan  Palestina, yang hidup berdampingan secara damai di tanah antara Tepi Barat dan Laut Mediterania. Wilayah ini akan dibagi menjadi dua sesuai dengan situasi dan kondisi sebelum perang; mengikuti garis batas sebelum tercapai gencatan senjata. Jerusalem, yang diinginkan oleh kedua pihak sebagai ibu kota, akan digunakan bersama, dibagi.

Kalau hal itu bisa diwujudkan, adalah sangat ideal. Akan, tetapi ternyata tidak mudah mewujudkan hal itu. Selalu ada ada tantangan dari kedua belah pihak. Sekurang-kurangnya ada empat  hambatan untuk mewujudkan two-state solution itu: perbatasan, keamanan, status Jerusalem, dan pengungsi. Selain juga desakan untuk diakui sebagai “Negara Yahudi” dan perpecahan politik serta geografik antara Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Tak Pernah Usang

Apakah perjuangan negara-negara pencinta damai—tentu dalam hal ini termasuk Indonesia yang sangat konsisten mendukung perjuangan rakyat Palestina—akan menjadi kenyataan, yakni tercapai kesepakatan two-state solution? Tentu, tidak akan serta merta hal tersebut akan terwujud. Akan tetapi, format two-state solution tidak akan pernah usang, karena tidak tidak alternatif lainnya dalam menyelesaikan konflik berlintas tahun dan abad antara Israel dan Palestina itu.

Kalaupun ada alternatif lain—selain two-state solution—sampai sekarang alternatif lain tersebut belumlah muncul, belumlah terlihat. Memang, pernah pula dilemparkan usul one-state solution. Artinya menggabungkan Israel, Tepi Barat, dan Jalur Gaza menjadi sebuah negara besar. Inilah yang disebut sebagai “Israel Raya” seperti yang diisyaratkan Trump dalam Deal of the Century.

Tetapi, tentang ide one-state solution pun, sekurang-kurangnya ada dua versi. Pertama, versi yang didukung oleh kelompok kiri dan Palestina yakni dibentuk sebuah negara demokratis. Dari sisi jumlah penduduk, di negeri ini nanti jumlah orang Arab Muslim akan melebihi orang Yahudi, yang ujungnya akan mengakhiri Israel sebagai negara Yahudi.

Tentu, versi pertama ini ditentang orang-orang Israel, yang mengusulkan versi kedua. Yakni—didukung oleh kelompok kanan dan Israel—akan mendorong Israel menganeksasi Tepi Barat dan memaksa orang-orang Palestina atau tidak memberikan hak kepada orang Palestina untuk memilih. Tentu, versi kedua ini yang ditentang oleh negara-negara pencinta damai dan pembela hak-hak asasi manusia, termasuk Indonesia. Dengan kata lain, usul versi kedua (dan juga pertama) tidak diterima.

Selain itu, Deklarasi Kemerdekaan 1948 menetapkan Israel sebagai "negara Yahudi." Ini tentu menjadi penghalang terbesar bagi gagasan one-state solution, satu negara — bagaimana bisa orang Yahudi dan, jika orang non-Yahudi memberikan suara untuk “negara Yahudi.” Hal yang juga menjadi penghalang besar adalah bahwa pada tahap awal konsep "Yahudi" lebih sipil dan budaya. Saat ini konsep tersebut memiliki interpretasi berbeda yang lebih religius dan nasionalistis. Akibatnya, Israel secara de facto memiliki dua sumber otoritas: yang demokratis dan yang teokratis, saling bertabrakan dan saling bertentangan secara terus-menerus (Majalah Prospect, August 17, 2018).

Sementara itu, harus diakui bahwa memperjuangkan two-state solution, tidaklah mudah. Ibarat kata, hal itu tidak akan terjadi dalam waktu semalam. Oleh karena, sekurang-kurangnya, situasi di lapangan sudah sangat berbeda. Misalnya, menyangkut perluasan wilayah Israel lewat pembangunan permukiman baru di Tepi Barat. Ini menjadi persoalan pelik. Situasi politik di antara bangsa Palestina sendiri juga kurang mendukung, terutama belum benar-benar terwujudnya persatuan nasional di antara mereka: antara kekuatan Fatah dan Hamas. Hal itu, kini ditambah lagi, sikap Trump yang lebih memihak Israel.

Melihat situasi saat ini, sepertinya, rute ke masa depan yang damai sudah kehabisan jalan. Perdamaian juga rasanya benar-benar tidak sudi singgah di Bumi Palestina. Walaupun demikian, Indonesia (juga mengajak dan mendorong negara-negara lain, terutama negara-negara anggota tetap DK PBB) perlu terus mengupayakan, meneriakkan, dan mendorong  two-state solution lewat forum DK PBB dan fora lainnya, perlu terus dilakukan. Perjuangan itu, tidak mudah memang. Harus diakui, para pemimpin, zaman kini, baik dari Israel maupun Palestina, telah gagal mewujudkan perdamaian.

Apakah perdamaian itu baru akan diwujudkan oleh generasi mendatang? Kalaupun demikian, sejarah akan tetap mencatat bahwa Indonesia telah secara konsisten terus mendukung perjuangan bangsa Palestina dengan berbagai macam cara.  Oleh karena, perdamaian tidak pernah usang, demikian pula two-state solution, solusi dua negara juga tidak pernah usang. Pada suatu masa, perdamaian akan menemukan jalannya sendiri, keluar dari rawa dan hutan kebencian serta permusuhan yang telah beranak-pinak, melewati zaman.

Trias Kuncahyono

***