Tritunggal Antipolitik

Tritunggal anti-politik adalah ancaman nyata dunia saat ini. Persoalan-persoalan global, mulai dari kemiskinan, kesenjangan, tak akan selesai karena terkaman anti-politik ini.

Rabu, 24 Juli 2019 | 10:43 WIB
0
297
Tritunggal Antipolitik
Ilustrasi politik (Foto: Rumahfilsafat.com)

Kekuasaan. Ia memang sangat menggoda. Orang memimpikannya, dan kerap melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Yang telah memilikinya sulit untuk melepasnya, ketika waktunya tiba.

Di tangan orang bermoral busuk, kekuasaan menjadi bencana. Daya rusaknya menjadi sedemikian besar, bahkan dirasakan lintas generasi. Namun, di tangan seorang ksatria, kekuasaan menjadi berkah. Ia membawa kebaikan bersama, tidak hanya untuk manusia, tetapi untuk seluruh kehidupan.

Sayangnya, di abad 21 ini, kita menyaksikan di berbagai negara hadirnya para penguasa busuk yang miskin integritas. Yang dipikirkan hanya kepentingan sempit diri dan kelompoknya. Kebaikan bersama (common good) menjadi kata yang tak pernah terpikirkan. Tak heran, berbagai kerja sama global, mulai dari pemberantasan kemiskinan, pengurangan senjata nuklir sampai dengan pelestarian lingkungan hidup, kini mengalami kebuntuan.

Feodalisme dan Politik Dinasti

Ada tiga sebab utama dari krisis politik ini, yakni feodalisme, oligarki dan banalitas kejahatan. Ketiganya adalah satu, dan bisa disebut sebagai sebagai tritunggal anti-politik. Dalam arti ini, anti politik adalah kehendak untuk menghancurkan kebaikan bersama melalui cara-cara korup dan licik. Anti politik adalah ancaman terbesar dunia saat ini.

Feodalisme, salah satu pilar anti politik, adalah paham yang menempatkan manusia ke dalam ukuran-ukuran buatan penguasa. Ada kelas bangsawan dengan segala hak-haknya yang semu. Ada kelompok rakyat jelata yang hidup dalam kemiskinan dan ketidakadilan. Feodalisme membelah masyarakat secara tak adil dan biadab, serta mengancam keutuhan hidup bersama.

Feodalisme melihat keadaan tak adil ini sebagai sesuatu yang alami. Bahkan, agama kerap digunakan untuk membenarkan keadaan yang busuk ini. Tak heran, di masyarakat feodal, agama menjadi sedemikian penting, bahkan mengaburkan akal sehat. Ketidakadilan, kemiskinan dan kebodohan begitu tersebar berbarengan dengan mewahnya rumah-rumah ibadah, sekaligus kayanya para pemuka agama.

Feodalisme melahirkan penyebab kedua, yakni politik dinasti. Politik dinasti terfokus pada tokoh-tokoh tertentu di dalam keluarga yang sama untuk memegang kekuasaan. Seperti pada masa kerajaan, kekuasaan politik dan ekonomi diturunkan dari orang tua ke anak. Feodalisme amat merusak dalam dua hal.

Pertama, politik dinasti membunuh meritokrasi. Meritokrasi menekankan kemampuan orang untuk menduduki posisi yang tepat, baik di dalam politik maupun bisnis. Hubungan keluarga dan pertemanan tak menjadi acuan utama. Meritokrasi adalah kunci kemajuan sebuah organisasi, baik di dalam bisnis maupun politik.

Lebih dari itu, feodalisme dan politik dinasti melindas rasa keadilan. Orang memperoleh kemudahan, hanya karena ia lahir di keluarga tertentu. Usaha tak menjadi ukuran. Di sisi lain, begitu banyak orang berusaha keras, namun gagal, hanya karena mereka dilahirkan di keluarga yang salah.

Secara keseluruhan, feodalisme dan politik dinasti menghambat kinerja organisasi. Korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi tersebar. Keputusan baik untuk sebanyak mungkin orang pun semakin sulit tercipta. Berbagai data menujukkan, negara dengan tingkat feodalisme dan politik dinasti yang tinggi cenderung terbelakang dalam soal kemajuan kesejahteraan rakyat, teknologi dan kebudayaan.

Oligarki dan Banalitas

Oligarki, sebagaimana diuraikan oleh Aristoteles, adalah pemerintahan oleh orang-orang kaya. Itulah yang banyak terjadi di dunia sekarang ini, terutama di Indonesia. Para pengusaha kaya memperoleh modal mereka dari warisan, dan memasuki politik. Mereka tak peduli pada kebaikan bersama. Tujuan utama mereka adalah melindungi kekayaan ekonomi mereka yang biasanya diperoleh dengan cara-cara yang melanggar hukum.

Perkawinan busuk antara pengusaha dan politik ini disebut juga sebagai neoliberalisme. Dengan kekuatan uang yang begitu besar, para pengusaha memasuki dan mengendalikan politik di berbagai negara. Kebijakan yang lahir dari politik pun tak mencerminkan akal sehat serta kejernihan, melainkan hanya perpanjangan dari kepentingan busuk para pengusaha tersebut.

Pada tingkat global, perusahaan multinasional dengan modal raksasa mengendalikan kebijakan berbagai negara. Sumber daya alam dikeruk. Limbah dan sampah dibuang di negara-negara itu. Negara-negara kecil, dengan kemampuan politik dan ekonomi yang lemah, akan kerap menjadi korban.

Hal semacam ini sudah sering terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Karena begitu sering, maka ia sudah tidak lagi dilihat sebagai kejahatan. Ia telah menjadi banal, yakni telah menjadi bagian dari hidup sehari-hari politik global. Kejahatan telah menjadi bagian dari rutinitas.

Ketika nurani membeku, moralitas menjadi semu. Kata-kata baik digunakan untuk memikat. Namun, penerapannya nyaris tak terdengar. Sikap biadab didiamkan, bahkan dianggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Inilah keadaan politik global saat ini.

Beberapa Langkah

Ada beberapa langkah yang bisa diambil. Pertama, mental feodalisme, yang melahirkan politik dinasti, harus diperangi melalui pendidikan di berbagai bidang. Pendidikan tidak lagi menjadi ajang pelestarian struktur sosial yang tidak adil, melalui pemisahan antara pria dan wanita maupun antara si kaya dan si miskin. Pendidikan menjadi tempat lahirnya manusia-manusia bebas yang berdiri setara satu sama lain.

Dua, politik pun harus menekan untuk lahirnya solidaritas sosial. Politik harus menciptakan sistem, dimana kekayaan bisa terbagi merata ke seluruh penjuru negara. Kompromi busuk untuk kepentingan golongan tertentu, namun merugikan kepentingan bersama, harus disingkirkan dari ranah politik praktis. Ini bisa dilakukan dengan kerja sama seluruh unsur masyarakat yang berniat menciptakan kebaikan bersama.

Tiga, ini mungkin hal terpenting, yakni keberanian berpikir kritis untuk mempertanyakan kebiasaan. Bahwa sesuatu itu sudah dilakukan bukan berarti ia harus atau bahkan boleh untuk terus dilakukan. Berpikir kritis berarti berani mempertanyakan tradisi, sesuci dan seluhur apapun tradisi tersebut. Dengan pola pikir kritis, banalitas kejahatan bisa diatasi. Kejahatan bisa dikenali kembali sebagai kejahatan, sehingga ia bisa dicegah, dan dilampaui.

Tritunggal anti-politik adalah ancaman nyata dunia saat ini. Persoalan-persoalan global, mulai dari kemiskinan, kesenjangan, ancaman perang nuklir sampai dengan masalah lingkungan hidup, tak akan selesai, karena terkaman anti-politik ini. Kerja sama akan berubah menjadi kompromi busuk yang menguntungkan segelintir orang, namun merugikan banyak orang.

Jika tak ditanggapi dengan tepat, anti politik akan menguasai dunia. Dan ini berarti akhir dari dunia, sebagaimana kita kenal.

***