Agar kelak kehidupan berbangsa dan bernegara semakin cerah, Indonesia sangat butuh ibu negara yang baik dan penyayang rakyat.
Kita sepertinya terlalu asik mempersoalkan sosok presiden ideal lima tahun mendatang, sampai lupa menimbang posisi calon ibu negara kelak. Keberadaan pendamping hidup sang pemimpin negara terkesan abai dipandang dan tidak menarik ditimbang, padahal pengaruhnya amat sentral karena turut pula mengarahkan navigasi bangsa ini.
Masih ingat sinetron komedi (sitkom) "Suami-suami Takut Istri" yang sempat eksis tayang di stasiun televisi beberapa tahun yang lalu?
Tayangan sitkom tersebut pernah membuat geli mata dan mengocok perut para penonton di rumah akibat ulah kocak para pemainnya. Sitkom berseri ini mengisahkan bagaimana para suami lebih tunduk pada perintah dan pengaruh isteri-isteri mereka.
Meski sitkom yang dilakoni oleh Otis Pamutih, Aty Fathiyah, Marissa, Irfan Penyok, Putty Noor, Amel Carla, Yanda Djaitov, Asri Pramawati, Ozzol Ramdan dan Melvy Noviza di atas beraliran jenaka, namun aksi-aksi yang diperankan sesungguhnya cukup menggambarkan fakta relasi kehidupan berkeluarga, di mana di dalamnya muncul pula kritik sosial.
Ya, suami dan segala tindakannya tidak akan pernah terlepas dari peranan sang isteri. Itu takdir sekaligus komitmen. Tidak ada keputusan yang diambil suami tanpa pengaruh dan persetujuan isteri. Betul?
Kalau memang betul, maka kita mulai membahas seberapa pentingnya keberadaan ibu negara terhadap bangsa ini, setidaknya lima tahun ke depan.
Di atas saya mengatakan bahwa kita lupa dan terkesan abai menimbang posisi sentral calon ibu negara. Kita hanya larut membahas sosok yang layak memimpin negara, yaitu presiden.
Tentu hampir semua publik yakin, posisi penting urutan kedua di sebuah negara adalah wakil presiden. Dan jika diteruskan ke urutan ketiga, maka yang menempati posisi itu perdana menteri atau di Indonesia setingkat Monkopolhukam.
Namun menurut saya, urutan nomor dua sebenarnya bukanlah wakil presiden, tetapi ibu negara, isteri presiden. Meskipun di beberapa negara terungkap bahwa ada juga pemimpin yang pernah tidak memiliki pasangan hidup entah sejak awal ataupun karena berakhir di tengah jalan, misalnya di Botswana (Ian Khama, presiden ke-5), Belanda (Mark Rutte, perdana menteri), Filipina (Benigno Aquiono III, presiden ke-15) dan Russia (Vladimir Putin, presiden ke-2).
Wah, ternyata Pak Putin masih menjomblo, toh? Ada yang mau jadi calon pendampingnya? Kalau ada, sila coba kirim lamaran kepada beliau. Siapa tahu beliau berkenan.
Apa pun alasan para pemimpin negara di atas terkait status dan pilihan hidupnya, itu urusan mereka. Jangan bayangkan bagaimana mereka menjalani hidup dalam kondisi sepi, kurang perhatian, labil dan sebagainya. Mereka punya cara sendiri untuk mengatasinya.
Mengapa saya mengatakan posisi isteri seorang presiden tidak boleh diremehkan dan seharusnya menjadi faktor penting untuk ditimbang selama menyongsong pilpres mendatang?
Mudah-mudahan para pembaca adalah orang-orang yang sedang bersuami atau beristri. Pandangan saya melalui artikel ini cocok dijadikan bahasan bersama, karena saya juga seorang suami dan seorang ayah.
Apakah ada di antara Anda yang pernah menonton sitkom "Suami-suami Takut Istri"? Apakah tayangan tersebut hanya membuat Anda tertawa terbahak-bahak, kemudian lekas pergi berebah untuk istirahat tanpa merasa terusik setelahnya? Atau jangan-jangan ada yang memetik hikmah dari tayangan tersebut?
Dengan berstatus sebagai seorang suami atau isteri tanpa menyandang label orang penting di tengah masyarakat, segala tindak-tanduk seseorang jelas tidak mungkin terpisah dari pengaruh, anjuran dan barangkali sedikit tekanan dari pasangannya.
Apalagi jika selanjutnya mendapat status tambahan sebagai seorang presiden. Betapa rumitnya pertimbangan yang diambil sebelum memutuskan sesuatu bagi kepentingan orang banyak.
Ada ungkapan yang mengatakan bahwa di balik seorang suami hebat, ada seorang isteri cerdas. Itu betul. Kemudian, di balik sosok presiden penuh amanah, pasti ada ibu negara yang cinta rakyat. Dan ini seratus persen betul.
Selama lima tahun ke depan, Indonesia diharapkan bisa dipimpin oleh presiden ideal. Dan kita tahu bahwa setiap detik dalam hidupnya pasti selalu diwarnai oleh pengaruh, anjuran dan nasihat isterinya.
Oleh karena itu, agar kelak kehidupan berbangsa dan bernegara semakin cerah, Indonesia sangat butuh ibu negara yang baik, penyayang rakyat, serta tidak berniat menjerumuskan sang presiden ke dalam jurang korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Kalau saya sendiri, saya tidak akan memilih calon presiden yang mempunyai isteri (calon ibu negara) maruk, rakus dan punya potensi KKN. Saya lebih suka ibu negara yang bersahaja dan penuh perhatian kepada rakyat.
Sejauh ini, saya sudah mengenal sosok Iriana Jokowi, sedangkan Titiek Soeharto belum. Kalian sudah kenal keduanya?
Sila idamkan presidennya dan jangan abai menimbang posisi penting ibu negara.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews