Soal Ksatria, Prabowo Harus Belajar ke Fauzi Bowo yang Dikalahkan Jokowi

Untuk mempunyai sifat ksatria tidak harus berlatar belakang militer. Tidak sedikit orang yang berlatar militer yang tidak ksatria dan malah menjadi pecundang.

Senin, 22 April 2019 | 21:31 WIB
0
254
Soal Ksatria, Prabowo Harus Belajar ke Fauzi Bowo yang Dikalahkan Jokowi
Fauzi Bowo (Foto: Kompas.com)

Dalam pilkada atau pilpres terkadang pihak yang kalah tidak bisa menerima kekalahannya. Ada yang secara ksatria mengakui kekalahannya dan ada juga yang menjadi pecundang. Tidak mau mengakui kekalahannya, apalagi mengucapkan selamat kepada pemenang. Sekalipun hanya berdasarkan hitung cepat atau versi quik count.

Tetapi ada pelajaran yang patut diapresiasi dan mendapat acungan jempol, ia kalah dalam putaran kedua pilkada DKI pada tahun 2012 sebagai petahana. Namanya Fauzi Bowo yang saat ini menjabat sebagai duta besar Indonesia untuk Jerman.

Pada waktu itu gubernur petahana Fauzi Bowo menurut hasil quick count atau hitung cepat dari rilis lembaga-lembaga survei dinyatakan kalah melawan Joko Widodo yang saat ini sebagai presiden.

Apa yang dilakukan Fauzi Bowo dalam menyikapi hasil quick count atau hitung cepat yang menyatakan dirinya kalah dalam pilkada DKI Jakarta?

Dengan ksatria dan jantan pada sore harinya langsung melakukan konferensi pers hanya sekali dan tidak berkali-kali seperti capres, mengatakan bahwa dirinya kalah dan mengucapkan kepada pasangan Jokowi sebagai pemenang gubernur DKI Jakarta. Bukan hanya itu. Fauzi Bowo juga tidak membawa masalah atau sengketa pilkada DKI ke MK atau Mahkamah Konstitusi.

Fauzi Bowo yang notabene dari sipil berani secara ksatria mengakui kekalahnnya dan mengucapkan kepada lawan tandingnya dalam perebutan jabatan gubernur DKI Jakarta.

Setelah tidak menjadi gubernur, Fauzi Bowo diberi jabatan sebagai duta besar untuk Jerman oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Karena Fauzi Bowo adalah kader partai Demokrat waktu itu.

Dan Joko Widodo naik menjadi gubenur DKI Jakarta. Menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta kurang lebih dua tahun, Joko Widodo mencalonkan sebagai presiden dan terlipih sebagai presiden Republik Indonesia pada 2014.

Biasanya di negeri ini kalau berganti pimpinan pemerintahan misal berganti kepala daerah atau presiden biasanya akan mengganti pejabat sebelumnya atau loyalis-loyalis pejabat sebelumnya.

Tetapi, setelah Joko Widodo menjadi presiden -ia tidak menerapkan atau mengikuti tradisi seperti itu. Tidak mengganti pejabat-pejabat sebelumnya. Karena presiden Joko Widodo menganut faham untuk meluluhkan seseorang lebih baik dipangku. Ntar juga mikir sendiri atau tahu diri.

Dan itu juga diterapkan kepada mantan gubernur DKI Fauzi Bowo yang menjabat sebagai duta besar Jerman sampai sekarang. Presiden Jokowi tidak mengganti atau menarik Fauzi Bowo sebagai duta besar di Jerman. Justru hubungan keduanya semakin baik dan mesra.

Sepertinya Fauzi Bowo juga nyaman dengan sikap presiden Jokowi ini. Buktinya, Fauzi Bowo tidak mengundurkan diri sebagai duta besar untuk Jerman. Padahal dulu rival dalam perebutan jabatan gubernur DKI Jakarta.

Inilah sikap dua mantan kepala daerah yang harus ditiru dan diapresiasi. Sekalipun pernah menjadi rival tapi tetap saling menghargai dan tetap menjaga hubungan baik.

Untuk mempunyai sifat ksatria  tidak harus berlatar belakang militer. Tidak sedikit orang yang berlatar militer yang tidak ksatria dan malah menjadi pecundang. Tidak siap kalah tapi mau menang sendiri, ngumumin sendiri sebagai presiden entah berantah.

Tirulah putra Betawi Fauzi Bowo yang secara ksatria dan jantan mau mengakui kekalahannya dan tidak memperpanjang masalah.

Jangan mengaku ksatria apalagi patriot kalau kalah dalam perebutan kekuasaan langsung deklarasi berkali-kali.

***