Pemilu Serentak 2019, Pesta Demokrasi yang Meninggalkan Duka!

Pemilu Serentak ini perlu dievaluasi dengan baik, sehingga pesta demokrasi lima tahunan ini benar-benar memberikan kegembiraan kepada seluruh rakyat.

Rabu, 1 Mei 2019 | 19:23 WIB
0
337
Pemilu Serentak 2019, Pesta Demokrasi yang Meninggalkan Duka!
Petugas KPPS (Foto: Detik.com)

Pemilihan umum  yang dilangsungkan secara serentak pada Rabu, 17 April 2019 menyisakan cerita yang begitu memilukan. Bagaimana tidak? Selain untuk pertama kalinya kita menggelar secara serentak pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR dan DPRD, juga anggota DPD, sejarah baru ini juga menyisakan banyak duka. 

Setidaknya, sudah lebih dari 300 orang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia menjelang maupun saat penghitungan suara berlangsung, termasuk ribuan anggota KPPS yang jatuh sakit. 

Sebagian besar para pejuang demokrasi itu meninggal dunia akibat kelelahan usai bekerja selama 24 jam non-stop, mulai dari menyiapkan, melaksanakan, dan menghitung suara yang telah masuk.

Kejadian duka ini tentu saja harus menjadi perhatian kita semua. Pesta demokrasi seharusnya memberikan kegembiraan bagi semua rakyat, dan tidak justru berujung duka.

Pemilu serentak ini  kedepannya bisa saja dikaji ulang, bisa dengan dilakukan secara terpisah, misalnya  pemilihan presiden tidak dibarengi dengan pemilihan anggota DPR/DPRD dan DPD. Setidaknya, selain mengurangi beban kerja para anggota KPPS, pemisahan ini juga memberikan keuntungan bagi partai politik. 

Hal lainnya yang membuat hati kita begitu miris, adanya tudingan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan kecurangan yang menguntungkan salah satu pasangan Pilpres 2019. Tentu saja, hal ini bukan hanya menyakiti jajaran KPU dan Bawaslu, melainkan juga keluarga anggota KPPS yang sakit dan meninggal dunia.

Bahkan, bisa jadi, tudingan kecurangan ini juga mengabaikan amanat reformasi bahwa KPU dan Bawaslu saat ini yang dilahirkan dari semangat reformasi. KPU dan Bawaslu saat ini adalah lembaga independen yang anggotanya dipilih dan diseleksi secara independen pula. Hal ini jelas berbeda dengan KPU di masa Orde Baru yang keberadaanya di bawah Kementerian Dalam Negeri. 

Bagaimanapun sistem pemilu serentak antara Pilpres dan Pileg perlu untuk dievaluasi, sehingga kedepannya pesta demokrasi benar-benar memberikan kegembiraan bagi semua rakyat. Untuk itu, sebaiknya Pemerintah mulai mempertimbangkan kembali sistem pemungutan suara elektronik (e-voting) dan penghitungan suara elektronik (e-counting).

Dengan menerapkan sistem e-voting dan e-counting, negara dapat menghemat tenaga dan biaya hingga triliunan rupiah, yaitu dengan tidak diperlukannya lagi kotak suara, surat suara, tinta, bilik suara, petugas, saksi, maupun pengawas TPS yang jumlah hingga jutaan.

Namun, sistem e-Voting dan e-Counting bukan tanpa kendala. Menurut Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md, saat ini Indonesia belum siap untuk menerapkan e-Voting, karena masih banyaknya masyarakat terutama di pedesaan yang belum siap terkait penerapan sistem tersebut.

"Saya bukan orang IT, tapi (e-Voting untuk saat ini di Indonesia) agak rumit. Karena banyak orang di pedesaan yang buta huruf," katanya, usai mengisi kuliah umum di Kampus ITB, Kota Bandung, Rabu (24/4/2019).

Begitu pula ketika terjadi perselisihan terkait hasil pemilu, pembuktiannya akan terlalu sulit, hal ini terkait dengan data atau hasil suara berbentuk digital, sehingga dikhawatirkan menimbulkan polemik.

Saya menilai, apa yang dikatakan Prof. Mahfud MD sangat beralasan. Mengapa? Karena dengan sistem yang saat ini digunakan KPU, tudingan adanya kecurangan dari sistem IT KPU sudah tak terkira, apalagi ketika sistem pemilihannya benar-benar dilakukan secara elektronik. Tudingan kecurangan bis semakin menggila!

Apapun namanya, Pemilu Serentak ini perlu dievaluasi dengan baik, sehingga pesta demokrasi lima tahunan ini benar-benar memberikan kegembiraan kepada seluruh rakyat, dan bukan justru menuai duka dan nestapa.

Salam dan terima kasih!

***