Pemilu Serentak ini perlu dievaluasi dengan baik, sehingga pesta demokrasi lima tahunan ini benar-benar memberikan kegembiraan kepada seluruh rakyat.
Pemilihan umum yang dilangsungkan secara serentak pada Rabu, 17 April 2019 menyisakan cerita yang begitu memilukan. Bagaimana tidak? Selain untuk pertama kalinya kita menggelar secara serentak pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR dan DPRD, juga anggota DPD, sejarah baru ini juga menyisakan banyak duka.
Setidaknya, sudah lebih dari 300 orang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia menjelang maupun saat penghitungan suara berlangsung, termasuk ribuan anggota KPPS yang jatuh sakit.
Sebagian besar para pejuang demokrasi itu meninggal dunia akibat kelelahan usai bekerja selama 24 jam non-stop, mulai dari menyiapkan, melaksanakan, dan menghitung suara yang telah masuk.
Kejadian duka ini tentu saja harus menjadi perhatian kita semua. Pesta demokrasi seharusnya memberikan kegembiraan bagi semua rakyat, dan tidak justru berujung duka.
Pemilu serentak ini kedepannya bisa saja dikaji ulang, bisa dengan dilakukan secara terpisah, misalnya pemilihan presiden tidak dibarengi dengan pemilihan anggota DPR/DPRD dan DPD. Setidaknya, selain mengurangi beban kerja para anggota KPPS, pemisahan ini juga memberikan keuntungan bagi partai politik.
Hal lainnya yang membuat hati kita begitu miris, adanya tudingan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan kecurangan yang menguntungkan salah satu pasangan Pilpres 2019. Tentu saja, hal ini bukan hanya menyakiti jajaran KPU dan Bawaslu, melainkan juga keluarga anggota KPPS yang sakit dan meninggal dunia.
Bahkan, bisa jadi, tudingan kecurangan ini juga mengabaikan amanat reformasi bahwa KPU dan Bawaslu saat ini yang dilahirkan dari semangat reformasi. KPU dan Bawaslu saat ini adalah lembaga independen yang anggotanya dipilih dan diseleksi secara independen pula. Hal ini jelas berbeda dengan KPU di masa Orde Baru yang keberadaanya di bawah Kementerian Dalam Negeri.
Bagaimanapun sistem pemilu serentak antara Pilpres dan Pileg perlu untuk dievaluasi, sehingga kedepannya pesta demokrasi benar-benar memberikan kegembiraan bagi semua rakyat. Untuk itu, sebaiknya Pemerintah mulai mempertimbangkan kembali sistem pemungutan suara elektronik (e-voting) dan penghitungan suara elektronik (e-counting).
Dengan menerapkan sistem e-voting dan e-counting, negara dapat menghemat tenaga dan biaya hingga triliunan rupiah, yaitu dengan tidak diperlukannya lagi kotak suara, surat suara, tinta, bilik suara, petugas, saksi, maupun pengawas TPS yang jumlah hingga jutaan.
Namun, sistem e-Voting dan e-Counting bukan tanpa kendala. Menurut Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md, saat ini Indonesia belum siap untuk menerapkan e-Voting, karena masih banyaknya masyarakat terutama di pedesaan yang belum siap terkait penerapan sistem tersebut.
"Saya bukan orang IT, tapi (e-Voting untuk saat ini di Indonesia) agak rumit. Karena banyak orang di pedesaan yang buta huruf," katanya, usai mengisi kuliah umum di Kampus ITB, Kota Bandung, Rabu (24/4/2019).
Begitu pula ketika terjadi perselisihan terkait hasil pemilu, pembuktiannya akan terlalu sulit, hal ini terkait dengan data atau hasil suara berbentuk digital, sehingga dikhawatirkan menimbulkan polemik.
Saya menilai, apa yang dikatakan Prof. Mahfud MD sangat beralasan. Mengapa? Karena dengan sistem yang saat ini digunakan KPU, tudingan adanya kecurangan dari sistem IT KPU sudah tak terkira, apalagi ketika sistem pemilihannya benar-benar dilakukan secara elektronik. Tudingan kecurangan bis semakin menggila!
Apapun namanya, Pemilu Serentak ini perlu dievaluasi dengan baik, sehingga pesta demokrasi lima tahunan ini benar-benar memberikan kegembiraan kepada seluruh rakyat, dan bukan justru menuai duka dan nestapa.
Salam dan terima kasih!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews