Belajar Jadi Oposisi kepada Megawati

Senin, 7 Januari 2019 | 07:21 WIB
0
1473
Belajar Jadi Oposisi kepada Megawati
PDIP masih menjadi partai paling berpengalaman dalam berperan sebagai oposisi - Gbr: Tempo.co

Di antara partai politik yang pernah berperan sebagai oposisi, manakah partai terbaik dalam menjalankan peran mereka sebagai oposisi?

Pertanyaan itu bisa jadi akan berujung jawaban relatif. Namun jika merujuk ke catatan sejarah, Partai Demokrasi Indonesia yang kini dikenal dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), saya pikir menjadi partai yang memang pantas disebut sebagai pemeran oposisi terbaik.

Kenapa begitu?

Alasan paling dekat karena merekalah yang paling lama berperan sebagai oposisi. Selain itu, mereka juga yang pernah berdarah-darah dalam menjalankan peran sebagai oposisi.

Bahkan jika membandingkan dengan oposisi sekarang, tega tidak tega, dapat dikatakan bahwa oposisi hari ini hanyalah sederet partai dengan sederet tokoh yang lebih cocok jadi pemeran sinetron haru biru dan penuh tangisan. Ringkasnya, lebih tepat jadi pemeran sinetron air mata, daripada berkiprah di dunia politik.

Soal ini bisa ditanyakan langsung kepada Megawati Soekarnoputri sebagai otak PDIP, atau Hasto Kristiyanto yang kini menjadi Sekretaris Jenderal partai tersebut.

Jika tidak, tanyakanlah kepada mereka yang hari ini berstatus sebagai kader PDIP, atau jika sempat tanyakan kepada siapa saja yang pernah menghabiskan waktu lama di partai tersebut.

Atau, kalau ingin merujuk buku, maka buku seperti "Megawati dalam Catatan Wartawan: Menangis & Tertawa Bersama Rakyat" yang rilis pada 2015.

Di buku itu ada banyak pandangan dan catatan tentang bagaimana perjalanan seorang perempuan dalam memimpin sebuah partai, yang harus berada di seberang Pemerintahan Soeharto yang terkenal bertangan besi. Bukan catatan "kalangan sendiri" seperti kegemaran beberapa partai lain. Buku tersebut adalah catatan
dari para wartawan yang umumnya tidak berstatus sebagai kader partai tersebut.

Kristin Samah--yang juga editor buku tersebut--di bab "Jangan Menangis Lagi ..." merekam bagaimana sosok Megawati yang notabene perempuan, dan bagaimana ia memperlihatkan kelebihan perempuan.

"Tidak mudah mengikis ketakutan yang selama masa Orde Baru dibungkam, tak boleh disuarakan," tulis Kristin di sana. Dan, itulah yang diperlihatkan sosok Megawati dalam perjalanannya memperjuangkan partai tersebut.

Hasto yang kini Sekjen PDIP pun tak menampik itu. "Bahkan saat Bu Mega makan di restoran, ia diminta untuk cepat-cepat keluar, hanya karena pemilik restoran takut kepada aparat karena kehadiran beliau di sana," katanya dengan mata berkaca-kaca, saat penulis bersua dengannya, dan ia bercerita bagaimana beratnya perjalanan PDIP saat menjalankan peran sebagai oposisi dan berhadapan dengan kekuatan tangan besi Soeharto.

Kekuatannya tidak cuma terekam dari bagaimana ia tersingkir dari partainya sendiri karena campur tangan pemerintah yang saat itu hanya "ramah" kepada partai yang taat. Tidak juga karena kantor DPP PDI saat itu menjadi sasaran serbuan. Kekuatan itu mampu ia perlihatkan ketika ia memilih untuk tidak dendam.

Itu juga dicatat di buku "Menangis & Tertawa Bersama Rakyat" oleh Osman Sosiawan, jurnalis yang juga pernah mewawancarai Megawati di saat-saat sulit.

"Saya tidak mau terjebak pada persoalan dendam sejarah," kata Megawati, seperti dikutip Osman di artikel bertajuk Menghindari Dendam Sejarah.

Sebab, Mega menegaskan jika ayahnya, Ir. Soekarno mengajarkannya untuk tidak menjadi pendendam. "Bapak (Soekarno) mengajarkan anak-anaknya untuk tidak menjadi pendendam. Kamu harus tahu, rakyatlah yang akan menjadi korban dendam sejarah. Jadi, hubungan kami (dengan Cendana) baik-baik saja."

Di artikel Osman itu juga dijelaskan, alih-alih membeberkan borok-borok Orde Lama, Mega lebih melihat dari sisi sejauh mana nilai dijalankan pendiri negara ini dengan sikap Soeharto.

"Kalau ada yang kurang, mungkin, adalah Pak Harto tidak menjalankan ajaran Bung Karno sesuai Pancasila secara sungguh-sungguh," kata Mega kepada Osman.

Tidak ada cerita panjang lebar bahwa sejak ayahnya terdepak dari istana, sampai tak bisa ke mana-mana, dan anak-anak Bung Karno seperti dia dan adik-adiknya dikucilkan hingga tersisih.

Tidak ada juga cerita dibuat-buat dramatis, mengungkit-ungkit kepahitan luar biasa, walaupun siapa saja yang pernah hidup di era Orde Baru melihat bagaimana sikap pemerintah saat itu terhadap partai dan kadernya.

Mega pernah jadi oposisi. PDI/PDIP pernah berperan sebagai oposisi. Mereka pernah dikucilkan hingga puluhan tahun. Tidak ada ratapan. Tidak ada kalimat berbau drama atau cerita-cerita yang dibuat mengharu-biru.

Ia perempuan. Partainya ditegakkan di bawah kepemimpinan seorang perempuan. Namun saat berperan sebagai oposisi ia mampu menegaskan, bahwa perempuan bisa lebih kuat dibandingkan laki-laki.

Kenapa saya mengatakan begini, lha hari ini oposisi terlalu berbau laki-laki, tapi sebentar-sebentar menjerit. Mereka sebentar-sebentar meronta. Bahkan mereka terkesan memaksa agar jeritan mereka yang ingin kembali berkuasa menjadi jeritan rakyat satu negara.

Maka kenapa, saat saya merenung-renung antara oposisi era PDIP dengan oposisi hari ini, kok saya terpikir lebih baik politikus oposan hari ini ganti profesi saja: jadi pemain sinetron, dan memilih sinetron penuh air mata, supaya drama mereka semakin sempurna. Bagaimana?