Patriotisme Angkatan Kami, Patriotisme Bagong

Bisakah, tanpa berandai-andai, generasi kami mendapat kesempatan merumus ulang apa dan bagaimana patriotisme? Kami sudah terlalu lelah dengan prosedur dan formalitas yang bertele-tele.

Selasa, 1 September 2020 | 16:48 WIB
0
336
Patriotisme Angkatan Kami, Patriotisme Bagong
Wayang Punakawan, Bagong

Kenangan apakah yang paling membekas dalam diri Anda semasa SMA? Tentu ada banyak dan beragam. Seperti saya yang kini duduk di kelas akhir sebuah SMA negeri bereputasi di kota saya. Pergantian semester yang baru berjalan satu setengah bulan ini, sedikitnya memberi saya kesempatan melakukan kilas balik sekaligus merefleksikan pengalaman langka menghabiskan tahun senior SMA di tengah badai pandemi Covid-19.

Ada banyak perubahan. Sesungguhnya yang paling mencolok bukan pada kegiatan belajar monoton yang bercirikan penugasan sepihak itu, melainkan luruhnya rupa-rupa formalitas dan prosedural yang selama ini diagul-agulkan sebagai kawah penggemblengan nilai. Upacara hari Senin, misalnya, praktis tak saya alami selama berbulan-bulan. Pramuka dan Pasukan Pengibar Bendera sudah tidak berlatih dalam waktu sama. Apalagi klub debat konstitusi (sekolah saya punya itu) yang melatih pesertanya mengkhatamkan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 sampai kejang lidah. Yang terakhir ini, kiranya agak melegakan anggota-anggota klub itu.

Bukan semata tentang prosedur yang vakum sementara itu yang dikhawatirkan segelintir guru saya, melainkan memudarnya nilai-nilai patriotisme dan cinta tanah air yang dalam hemat mereka hanya bisa diperoleh lewat kegiatan upacara bendera yang menjemukan itu.

Tidak hanya soal nilai patriotisme yang dikhawatirkan, melainkan juga pelbagai “nilai-nilai” lain yang dianggap mutlak hanya bisa didapat melalui prosedur-prosedur semata: kesopanan, kedisiplinan, akhlak mulia, dan lain sebagainya. Lewat pendekatan pars pro toto, mulailah saya mencoba memetakan bagaimana krisis pendidikan nilai telah mengakar tunjang dan berakibat pada kelangsungan proses pemiskinan nilai yang terus-menerus terjadi.

Segelintir orang khawatir angkatan kami akan menjadi generasi penerus yang tidak cakap. Mereka khawatir kami tidak patriotis, tidak mencintai tanah air, pro-globalisasi, dan “kebarat-baratan”. Apa pengertian dari “kebarat-baratan” itu? Mode yang berasal dari luar negeri. Musik, pakaian, gaya hidup, makanan, ideologi, standar hidup, pola pergaulan, dan lain-lain.

Pendek kata, semua kebaruan yang tidak sesuai nilai-nilai bangsa dipukul rata adalah gejala pudarnya patriotisme dalam generasi kami. Seiring kekhawatiran itu, prosedur pendidikan nilai bergaya indoktrinatif-normatif khas Orde Baru digencarkan kembali. Upacara Bendera dibuat rutin; porsi Pendidikan Pancasila diperbanyak; sampai pelatihan semi-militer seperti Pasukan Pengibar Bendera dikampanyekan sebagai penawar yang mujarab buat racun “kebarat-baratan” itu.

Akan tetapi, seimbangkah prosedur yang masif dan galak itu dengan output yang diharap-kan? Nyatanya tidak. Teman-teman saya nyaris semuanya penghayat tekun InstaGram, TikTok, dan penikmat budaya Barat yang cenderung keranjingan. Mendengar Miley Cyrus akan konser lebih menarik daripada menyimak ekspedisi pedalaman Kalimantan dan Sulawesi. Kekaguman teman-teman wanita saya kepada para oppa pemusik Korea Selatan jauh lebih besar daripada para bapa-bangsa—ada yang tidak hafal nama-nama mereka! Aneh, padahal semua penawar yang tanggung manjur sudah dikerahkan. Ini salah siapa?

Patriostim is the last refuge of a scoundrel,” kata Samuel Johnson, penulis besar Inggris, pada 1775. “Patriotisme adalah pelarian terakhir seorang bangsat”. Kata bersayap ini mulanya ditujukan untuk William Pitt, Perdana Menteri Inggris ketika itu yang kerap menyalahgunakan makna patriotisme untuk menyerang lawan-lawan politiknya, serta mengklaim sepihak bahwa dirinya adalah seorang patriot. Akan tetapi, terlebih menyikapi kebuntuan pikir seperti dialami sebagian besar guru-guru saya secara khusus dan orang-orang tua kami secara umum, frasa ini cocok merumus-ulangkan pandangan angkatan kami mengenai patriotisme.

**

Generasi kami (menurut terma sosiologi dikategorikan “Generasi Z”, artinya lahir di antara tahun 1995-2010) adalah generasi pertama dalam transisi manusia memasuki milenium ketiga. Industrialisasi berkembang, disrupsi terjadi di berbagai lini, digitalisasi, serta masalah klasik di dalam eksploitasi kelas pekerja dan meruncingnya konflik horizontal ialah milieu di mana kami bertumbuh. Seiring dengannya, gejala apolitis pun tumbuh subur.

Konsentrasi kami melulu diarahkan pada pencapaian-pencapaian jangka pendek (dari SMA, ke kuliah; kuliah lanjut kerja; kerja lalu berkeluarga, dst). Isu-isu domestik tentang tanah air disisihkan oleh orang tua serta ditabukan. Tetapi secara paradoksal, orang tua kami menilai kecintaan generasi kami kepada tanah air memudar. Ditambah dengan konservatisme yang menjadi mindset sebagian besar mereka tidak mengizinkan kami merumusulangkan apa patriotisme itu.

Berbeda dengan tabiat Orde Baru yang memproduksi kerangkeng anti-komunisme dan mengeliminasi ekspresi politik melalui “Pembangunan adalah Panglima”, maka generasi pasca-Reformasi seperti kami ditumbuhkembangkan tanpa panglima, selain apa-apa yang dibenarkan pandangan sebagian besar orang tua. Mengkritik masalah politik ditabukan; mengoreksi sejarah dianggap tak menghargai pendahulu; tetapi sekadar mengonstruksi masa depan yang terus melaju dalam skala global pun kami tak sanggup. Akhirnya, kami dipaksa menikmati hidup di dalam kurungan prosedural dan formalitas rutin, dan berakibat pada krisis nilai yang semakin terperosok dalam jurang.

Dalam merumus ulang patriotisme, saya mengarahkan diri untuk bersikap seperti Bagong. Menurut tradisi pewayangan Jawa, Bagong adalah salah satu tokoh barisan Punakawan atau pengiring yang dalam pentas bertugas melemparkan gojegan (candaan) yang alegoris. Selain Bagong, anggota Punakawan antara lain adalah Semar, Gareng, dan Petruk. Akan tetapi, dalam berbagai kesempatan, yang kerap dan cenderung menonjol adalah Bagong selain Semar.

Bagong divisualisasikan bertubuh bulat mirip Semar, ayahnya. Matanya besar dengan bibir tebal yang membentuk gestur mencibir. Karakter Bagong identik dengan pengabaian terhadap semua bentuk tatakrama formal; bicaranya nylekit (tajam) serta doyan melempar kritik, terutama pada rupa-rupa ketidakadilan; namun tetap berpegang teguh pada ajaran Semar, ayahnya.

Kepribadian Bagong secara kontekstual adalah manifestasi pemikiran kromo, rakyat kecil, yang meski berkedudukan sebagai pembantu atau malah objek kekuasaan, tetapi mempunyai rasa gundah terhadap ketidakberesan yang terjadi. Mata Bagong yang besar dan bibirnya yang tebal dan mencibir itu adalah refleksi mata dan bibir rakyat yang tak lelah mengamati, mengkritik, dan mengomentari para pemangku kepentingan—walau dinilai saru dan melanggar tatakrama formalitas.  

Meneladan Bagong, patriotisme atau semangat mencintai tanah air bukanlah mengulang-ulang berbagai prosedur dan formalitas yang hanya menghasilkan gambaran semu mengenai tanah air yang sesungguhnya. Kecintaan pada tanah air harus dimulai dengan terlebih dulu berpayah-payah menelusuri apa arti tanah air itu sendiri. Barulah sesudahnya, karena kesadaran ihwal masalah-masalah kolektif yang ditemukan, “mimpi yang mengganggu tidur” akan timbul. Dari sanalah jalan merumusulangkan patriotisme itu mulai dilangkahi.

Akan tetapi, tak selamanya jalan merumus ulang patriotisme itu terwujud dengan mudah. Seperti yang saya singgung di atas, kritik terhadap proses pemiskinan nilai yang terus-menerus belum lagi dimiliki sebagian besar generasi kami. Dari sini saja, mungkinkah generasi kami mampu bersikap kritis seperti Bagong? Apalagi didikan yang kami terima cenderung tak mengacuhkan argumentasi di samping menanamkan kuat-kuat sikap taklid yang buta, sehingga tiap perlawanan terhadap apa yang menjadi pendapat umum itu kualat dan berpikir beda adalah salah dan bodoh?  

Krisis pendidikan nilai yang masif tidak bisa semata-mata dijadikan kambing hitam. Dalam dialektika berpikir mengenai ragangan persoalan generasi “tidak patriotis” ini, krisis nilai hanya salah satu cara memanipulasi keadaan sehingga produk pendidikan sesedikit mungkin berpikir kritis sehingga berani mendobrak bahkan membongkar segi-segi kemapanan dan kebuntuan berpikir. Mereka ini ditengarai menjadi idaman banyak orang. Tentu, dalam arti “ogah ribet”— hasil buaian budaya instan.

Pertanyaan kritis “Mengapa ini terus terjadi?” tentu dapat dijawab mudah: sikap taklid dan stagnasi dibutuhkan untuk mengekalkan struktur ekonomi neo-liberalisme dan karenanya tiap produk pendidikan akhirnya akan menjadi buruh; apapun nama dan titelnya; sehingga praktik eksploitasi dengan dalih “memajukan bangsa dan negara” disengaja untuk menciptakan suatu nuansa semu “cinta tanah air”. Pendeknya, memudarnya patriotisme bukanlah hasil kegagalan atau kesalahan orang-per-orang maupun sistem pendidikan, melainkan bagian dari proses yang tercipta dan (anehnya) sengaja kita ikuti.

Persoalan pun kembali mendasar pada politik kelas yang segregatif dan saling kontradiksi. Sejumlah orang yang berseru-seru “NKRI Harga Mati!” tak jarang justru menutup mata ihwal pelanggaran hak-hak asasi manusia, kesenjangan sosial, serta diskriminasi yang terjadi secara merata-rata. Lain orang berseru tentang keadilan sosial, sembari santai menikmati tayangan pameran kekayaan figur publik cum borjuasi di televisi. Sebagian orang gagal lalu memilih berpaling karena sikap ibu Pertiwi dianggapnya pilih kasih. Keterasingan mengenai hakikat tanah air justru terjadi simultan dengan gema keras semboyan cinta tanah air.

**

Meski terus-menerus terjadi, ada sesuatu yang saya kira menjadi keniscayaan: krisis nilai—dan secara koheren proses pemiskinan nilai—itu ada batasnya. Ketika mencapai batas itu, akan timbul suatu titik balik menentukan (deterministic turning point) yang menjadi bumerang bagi pelakunya sendiri. Tidak percaya? Indonesia sudah mengalaminya di tahun 1998. Orde Baru dan tabiat pemiskinan nilai yang dibangun dengan pondasi rumah kartu selama tiga dekade lebih, ambruk begitu saja diamuk mahasiswa dalam waktu kurang dari satu semester.

Seperti halnya kertas penuh coret yang disobek, fase kebebasan multidimensional yang tiba-tiba dihadapkan pada sebagian besar masyarakat Indonesia juga sempat membuat kebingungan (dan ternyata sesudah dua puluh tahun tetap limbung) memilih “panglima” yang mau diikuti: Pancasila dasar negara, kah? Agama dan dasar religius, kah? Ideologi trans-nasional beraliran kanan-kiri, kah?

Lama-kelamaan saya tercenung juga. Agustus ini, Proklamasi Kemerdekaan diperingati ke-75 tahun. Artinya hanya seperempat abad dari sekarang, generasi saya yang diklaim “Indonesia Emas 2045” sudah harus naik pentas percaturan, memegang kendali atas tanah air Indonesia, sedangkan kini untuk menentukan apa dan bagaimana patriotisme itu, kami masih meraba dan mencari-cari. Dijebak dalam rutinitas dan prosedur ternyata bukan membuat generasi kami ini mengerti hakikat patriotisme, tetapi makin terperosok dalam arus persaingan global yang kini makin menggila.  

Bisakah, tanpa berandai-andai, generasi kami mendapat kesempatan merumus ulang apa dan bagaimana patriotisme itu? Kami sudah terlalu lelah dengan prosedur dan formalitas yang bertele-tele. Bolehkah kami menjadi Bagong yang dinilai “kurang ajar”, “urakan”, dan “waton-sulaya”, namun sesungguhnya menelanjangi rupa-rupa kemunafikan yang selama ini (terus) dijunjung? Bolehkah kami memahami cinta-tanah-air yang bukan rasa cinta seorang bangsat mencari tempat perlindungan diri?

Saya tersentak dan sadar. Tanah air saya sekarang bukan milik saya lagi. Tanah saya harus mendapat sertifikat dulu sebelum diakui. Iuran air harus saya bayar berkala apabila tidak mau disetop PDAM. Ah, saya tiba-tiba malah ingat perkataan seorang sersan-mayor Belanda dalam roman Burung-Burung Manyar karya YB. Mangunwijaya: “Dengan tanah nenek moyangku, aku juga sudah tidak begitu punya pertalian emosi. Tanah-air adalah di mana ada kesayangan dan saling tolong menolong. Tanah-tanah milik ayah makin lama semakin dicaplok pabrik-pabrik. Ya sudah, selamat tinggal. Gampang, tokh?

***