Penanggulangan Covid-19: Sultan Tuntut Transparansi, GFI Pinta Kontribusi Fadilah Supari

GFI memandang Pandemi Global Covid-19 yang melanda Indonesia, maka fenomena wabah Covid-19 sudah harus dilihat dalam perspektif Perang Biologis antar-negara-negara adikuasa.

Kamis, 2 April 2020 | 19:14 WIB
0
764
Penanggulangan Covid-19: Sultan Tuntut Transparansi, GFI Pinta Kontribusi Fadilah Supari
Raja Belanda Willem Alexander dan Raja Keraton Jogjakarta, Sri Sultan HB X berfoto bersama setelah melakukan pertemuan tertutup di Keraton Jogjakarta, Rabu, 11 Maret 2020. (Foto: Tempo.co)

Gubernur DI Jogjakarta Sri Sultan Hamengku Bowono X menyoroti kebijakan Pemerintah Pusat yang dinilai Sultan belum transparan soal wilayah yang masuk kategori zona merah penyebaran Virus Corona.

Menurut Sultan, Pemerintah Provinsi pun sempat mempertanyakan kepada Presiden Joko Widodo, sebenarnya daerah mana yang masuk zona merah. “Yang kami tahu (zona merah) itu selama ini kan hanya Jakarta dan sekitarnya saja,” ujarnya.

“Pemerintah kan tidak mau memberitahu, padahal (informasi) itu berguna buat pemerintah daerah menyusun kebijakan,” ujar Sultan di Jogjakarta, seperti dilansir Tempo.co, Senin (30 Maret 2020).  

Karena pemerintah pusat masih diam soal peta zona merah sebaran Corona itu, kata Sultan, maka sampai saat ini tidak ada satu pun gubernur di Jawa yang menyatakan menolak para pendatang. Ruang gerak warga dari mana pun praktis masih terbuka lebar untuk ke manapun.

Sultan khawatir, tanpa ada informasi jelas soal zona merah ini, maka penyebaran virus akan makin mudah. Sehingga, upaya memutus mata rantai penularan menjadi lebih sulit dan beban penanggulangan bertumpuk ke daerah.

“Misalnya ada warga dari zona merah (terpapar Corona), masuk wilayah yang sebenarnya zona hijau (belum banyak terpapar Corona), atau sebaliknya dari zona hijau masuk zona merah, lama-lama jadi merah,” ujar Sultan.

Sultan pun berharap minimnya informasi soal zona ini segara disikapi. Misalnya memang suatu daerah dinyatakan zona merah, maka perlu diatur kebijakan yang mendukungnya. Seperti mengatur penggunaan moda transportasi umum dan pribadi.

Jangan sampai, kata dia, sarana transportasi dari zona merah beroperasi masuk ke zona hijau. “Hal begini harus jelas bagi saya kalau untuk memutus penularan virus itu,” ujarnya.  

Sebenarnya bukan hanya soal zona merah yang selama ini tidak “dibuka” Pemerintah Pusat. Tapi, masalah data mana yang harus dipegang rakyat, juga menjadi soal. “Data mana yang dipegang rakyat,” tanya dr. Tifauzia Tyassuma.

Perkuat Imunitas

Menurut Dokter, Peneliti, dan Penulis AHLINA Institute ini, pada hari ke-30 dan seterusnya, sulit bagi kita memegang data laporan kasus yang disampaikan Jubir Convid-19 setiap hari.

Data yang disampaikan Jubir itu berasal dari data kasus yang ditemukan berdasarkan laporan Rumah Sakit dan Daerah, yang tentu kita tahu, jauh lebih sedikit dibandingkan kasus positif yang seharusnya tertapis.

“Dan jauh lebih sedikit lagi dibandingkan kasus riil yang terjadi di lapangan,” ungkap Dokter Tifa. Lalu Data apa yang harus jadi pegangan, supaya kita tahu perkembangan kasus Covid-19 ini?

Mau tak mau, suka atau tidak suka, yang bisa menjadi pegangan valid adalah Model Prediksi Epidemiologi. Di bawah adalah infografik dari BAPPENAS. “Angkanya malah jauh lebih fantastis dari angka yang saya peroleh,” lanjut Dokter Tifa.                                                                                     

Puncak kasus menurut versi Dokter Tifa sebesar 1.240.000 orang dengan jumlah kematian mencapai 104.160 orang.

(Perlu segera siapkan kuburan massal dengan protokol jenazah pandemi yang harus segera disosialisasikan kepada seluruh Daerah).

Puncak kasus menurut versi Bappenas sebesar 2.500.000 dengan jumlah kematian 210.000 (berdasarkan case fatality rate 8,4% realtime).

“Mengapa saya bilang bahwa, setelah kasus ke 1.000+ tercapai, sulit bagi kita mempercayai Data kasus yang dilaporkan oleh Jubir?” tanya Dokter Tifa. Karena:

1. Screening test yang dibeli dari China hanya 500,000 dan itupun tidak terbagi merata, dan hanya orang-orang tertentu, justru dengan risiko minimal, yang mendapat fasilitas Rapid Test.

2. Diagnostic test seperti PCR jumlahnya sangat terbatas, hanya bisa dilakukan di 13 Rumah Sakit di Indonesia dari 3.000 Rumah Sakit yang ada, dan beberapa lembaga tertentu.

3. Tidak adanya mekanisme penyisiran kasus di setiap daerah, akibat dari sangat sedikitnya fasilitas pemeriksaan untuk menapis Covid-19 ini.

Maka percaya atau tidak percaya, kita harus percaya kepada Model Prediksi yang dibuat oleh Para Ahli Epidemiologi.

“Menurut perhitungan saya, hari ini, akhir Maret 2020, kasus tertapis sekitar 6.000 dengan jumlah kasus riil 162.000, di 30 Provinsi dengan 50% kasus di DKI Jakarta,” ungkap Dokter Tifa.

Jadi, sekarang Rakyat Indonesia bergerak menjadi ODP (Orang dalam Pemantauan) dan PTG (Pasien Tanpa Gejala). Dokter Tifa bertanya, “Intervensi apakah yang bisa dilakukan pada titik sekarang untuk – setidaknya – melandaikan grafik?”

Satu usulan Dokter Tifa: Perkuat Imunitas Diri Anda Dan Keluarga. Buat Mikrobiota Usus Anda Menjadi Pabrik Imun. Beri Mereka Makan Banyak Tetumbuhan Sesegar Mungkin. Hayuuk lakukan!

Perlu Fadilah Supari

Ada yang menarik dari Rekam Jejak mantan Menkes Siti Fadilah Supari: Perangi Flu Burung, Melawan Hegemoni WHO, Membongkar Laboratorium Bertujuan Ganda NAMRU-2 AS

Dari Rekam Jejak itulah Global Future Institute (GFI) dalam siaran persnya menyatakan, guna menghadapi Pandemi Global Covid-19 dan Perang Biologis, Indonesia Perlu Hadirkan Kembali Siti Fadilah Supari.

Mengingat gentingnya keadaan terkait Pandemi Global Covid-19, yang disertai dengan gelombang kecemasan dan rasa ketakutan yang kian meluas di berbagai daerah dari berbagai penjuru nusantara, maka bangsa dan negara saat ini bukan saja memerlukan keahlian dan kecakapan teknis di bidang kesehatan maupun kedokteran.

Menyadari kenyataan bahwa meluasnya wabah Pandemi Global virus corona yang bermula dari Wuhan, China, pada perkembangannya tidak saja kita pandang sebagai murni masalah kesehatan.

Melainkan juga meluas lingkupnya pada bidang politik-keamanan, sosial-ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan,­ maka perlu menghadirkan figur-figur bidang kesehatan dan kedokteran, namun tidak terpaku dan terbelenggu pada bidang spesialisasinya.

Melainkan sosok yang berbasis kedokteran dan kesehatan namun punya perspektif Ketahanan Nasional yang mampu mengintegrasikan berbagai sudut pandang keilmuan. Dan mampu mengaitkan satu isu dengan isu lainnya, secara terintegrasi.

Menyadari kenyataan bahwa GFI memandang Pandemi Global Covid-19 yang saat ini juga melanda Indonesia, maka fenomena wabah Covid-19 sudah harus dilihat dalam perspektif Perang Biologis antar-negara-negara adikuasa.

“Sehingga kasus Covid-19 hakekatnya merupakan Perang Nir-militer. Yang mana dampak dan kerusakannya tidak kalah dahsyatnya daripada Perang Militer,” kata Direktur Eksekutif GFI Prof. Hendrajit.

Sosok yang sudah terbukti melalui reputasi maupun rekam jejaknya semasa menjabat sebagai Menkes dalam memerangi flu burung dan flu babi, Siti Fadilah Supari merupakan sosok yang mumpuni untuk kembali dilibatkan dalam menghadapi situasi yang kritis dan pelik terkait Pandemi Global Covid-19 ini.

Maka dari itu, “Kami dari Global Future Institute (GFI), mendesak pemerintah Indonesia untuk memanggil kembali mantan menteri kesehatan Ibu Siti Fadilah Supari, sebagai aset bangsa, untuk ikut berkontribusi memerangi virus Corona,” katanya.

***