Khittah NU (1): Wapres Itu Setara dengan Kursi Seluruh Menteri!

Melihat itu semua, apakah NU masih tetap ngotot ingin minta jatah jabatan kepada Presiden Jokowi, meski sudah dapat posisi Wapres?

Sabtu, 27 Juli 2019 | 17:31 WIB
0
520
Khittah NU (1): Wapres Itu Setara dengan Kursi Seluruh Menteri!
Muhaimin Iskandar bersama Ma'ruf Amin, mewakili PKB dan NU. (Foto: Tribunnews.com)

Sejumlah Ulama dan Kiai Nahdlatul Ulama (NU) kultural sangat prihatin terkait dengan permintaan “jatah” menteri oleh PBNU kepada Presiden Joko Widodo yang “menang” Pilpres 2019, 17 April 2019. Perlukah Presiden Jokowi kabulkan?

Isu NU meminta jatah menteri ke Presiden Terpilih Jokowi mendapat kritik dari tokoh NU. KH Salahuddin Wahid  alias Gus Solah mengatakan, NU saat ini sudah bermain politik dan sekarang NU sudah terlalu jauh untuk masuk ke dalam kegiatan politik.

“Saya pikir organisasi NU terlalu jauh bermain politik. Bahkan sekarang NU minta jatah politik, itu adalah jatah partai. Kalau begitu NU mending jadi partai politik saja,” kata Gus Solah, seperti dilansir Tribunjateng.com, di Pekalongan, Rabu (17/7/19).

Pernyataan Gus Sholah itu disampaikan saat menghadiri acara Halaqoh Kebangsaan Khittah 1926 di Gedung Koperasi Batik Pekajangan, Pekalongan. Menurutnya, politik NU bukanlah politik kekuasaan melainkan politik kebangsaan, keumatan, dan kemanusiaan.

Oleh karena itu, Halaqoh yang diadakan ini dimaksudkan untuk Ngaji Bareng tentang Khittah NU. “NU itu didirikan untuk melayani umat Islam di Indonesia, bukan untuk menguasai umat, yang dimaksud dangan kembali ke khittoh seperti itu,” jelasnya.

Gus Solah bersama sejumlah tokoh penting NU seperti KH Nasihin, Kiai Thoha, Kiai Rozi dan yang lainnya menghadiri acara Halaqah Komite Khittah Nahdlatul Ulama (NU) 1926 ke-9 digelar di Gedung Koperasi Batik Pekajangan.

Putri Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Yenny Wahid, sendiri sudah mengingatkan petinggi NU tidak terjebak dalam politik praktis, terlebih soal jatah menteri. Hal itu disampaikannya di Silang Monas, ‎Jakarta Pusat, Rabu (10/7/2019).

“Saya mengimbau pada petinggi NU untuk tidak terjebak pada retorika seolah dipahami kita menuntut kursi kabinet dan sebagainya,” katanya, usai menghadiri HUT Bhayangkara ke-73. Yang terpenting bagi NU adalah suara mereka didengar pemerintah.

Apalagi hampir 50% lebih umat Islam mengaku berafiliasi ke NU. “Banyak lembaga survei menunjukkan hampir 50% lebih umat Islam berafiliasi dengan NU. Artinya ketika kader NU ‎ditunjuk di kabinet, ya itu jadi representasi dari sebagian besar umat,” ujarnya.

NU, kata Yenny, tetap menjaga sinergi dengan pemerintah ke depan, baik dengan memiliki kader di kabinet atau tidak. Dia memastikan NU akan tetap memberikan masukan dan kritik yang membangun bagi kemajuan bangsa dan negara.

“Ketika pemerintah siap, NU harus mampu kerja sama dan mampu menjaga jarak sehat,” kata Yenny. Sebelumnya, Wasekjen PKB Daniel Johan minta jatah kursi menteri partainya dengan NU dalam kabinet Koalisi Indonesia Kerja (KIK) jilid II, dipisah porsinya.

“Karena memang PKB itu dilahirkan oleh NU, tapi kan PKB bukan NU, tentu itu suatu yang terpisah,” kata Daniel dalam diskusi Polemik di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (6/7/2019). Baik NU maupun PKB sama-sama bekerja keras dalam kampanye Pilpres 2019.

Sehingga merupakan hal wajar jika keduanya mendapat porsi bagian dalam struktur kabinet Koalisi Indonesia Kerja (KIK) jilid II. “Karena NU juga menjadi bagian yang sangat bekerja keras kemarin sehingga itu dua hal yang berbeda,” ungkap Daniel.

Tapi meski menyarankan jatah kursi PKB dengan NU dipisah, Daniel menyerahkan seluruh keputusan ke tangan Presiden Jokowi yang memiliki hak prerogatif. “Pada akhirnya kita serahkan kepada pak Jokowi,” lanjut Daniel.

“Kami hanya menyediakan Kader terbaik, tapi nanti itu akan melalui hasil pertimbangan mendalam,” tambahnya. Sebelumnya, PKB secara terang-terangan meminta jatah 10 kursi menteri masuk ke dalam komposisi kabinet IKI jilid II periode 2019-2024.

Beberapa pos menteri yang dimintanya: Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Kelautan dan Perikanan, hingga Menteri Pertanian.

Namun, khusus soal kursi Menaker, Daniel menjelaskan belum mendengar pembahasan itu di internal partai. “Mendes mungkin karena memang sudah berjalan. Kalau menaker nggak tahu belum dengar. Mudah-mudahan basis nahdliyin, yaitu petani dan nelayan,” ungkapnya.

Untuk posisi Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), tampaknya PKB tidak berminat lagi. Daniel mempersilakan pos Menporan itu diberikan kepada mereka yang masih dan punya jiwa muda. “(Menpora?) Kasih yang muda saja,” katanya sambil tertawa.

Apakah karena Menpora yang dijabat kader PKB Imam Nahrawi belakangan terseret kasus suap pengucuran dana hibah KONI.

Diketahui, dalam KIK pemerintahan Jokowi saat ini, pos menteri yang diisi oleh kader PKB, diantaranya Menaker Hanif Dhakiri, Menpora Imam Nahrawi, dan Mendes PDTT Eko Putro Sandjojo. Sedangkan Menristekdikti Mohammad Nasir kerap disebut representasi PKB.

Posisi Wapres

Akankah semua permitaan PKB maupun NU itu dipenuhi Presiden Jokowi? Kalau akhirnya format rekonsiliasi Prabowo Subianto yang sudah bertemu Presiden Jokowi dan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri itu terealisasi, rasanya tidak mungkin.  

Jokowi pasti akan memasukkan juga orang-orang yang dipercaya Prabowo untuk masuk juga dalam KIK jilid II Jokowi bersama Wapres Terpilih Ma’ruf Amin. Apalagi, syarat yang telah diajukan itu berdasarkan prosentase perolehan suara Pilpres 2019, 55:44.

Bagi parpol Koalisi Jokowi-Ma’ruf, ajuan tersebut tentu saja tidak bisa diterima. Jatah kursi menteri mereka dapat dipastikan akan berkurang banyak. Ditambah lagi, NU juga meminta jatah kepada Presiden Jokowi. Jelasnya, ini sangat berlebihan.

“NU kan sudah dapat jatah Wapres (Kiai Ma’ruf Amin) yang tokoh ulama-kiai NU ternama. Masa’ masih saja kurang,” ujar ulama NU dari Jatim KH Rozy Shihab kepada Pepnews.com. Jabatan Wapres itu bisa disetarakan dengan semua posisi menteri.

Artinya, posisi Wapres yang bakal dipegang Ma’ruf Amin, setelah dilantik, bisa dianalogikan sama dengan jabatan seluruh menteri dalam KIK. Jadi, sebenarnya NU sudah mendapatkan semua posisi menteri dalam Kabinet Jokowi-Ma’ruf.

Sedangkan posisi Presiden, itu bisa saja dianalogikan sama dengan jabatan Wapres bersama semua posisi menteri. Jadi, NU tidak perlu meminta-minta lagi jabatan kepada Jokowi. Jadi, NU tidak perlu datang dan minta-minta ke Presiden.

“Justru presidenlah yang harus datang ke NU. Karena, sesuai Khittah 1926, NU itu bukanlah partai politik. Ini yang harus dicamkan,” tegas Kiai Rozy Shihab, mengingatkan. Hal serupa disampaikan KH Abdul Malik Madani.

Khittah NU itu politik kebangsaan, bukan politik praktis. NU itu ormas Islam terbesar di Indonesia dengan sejarah panjang mengawal NKRI. “NU itu seharusnya tidak masuk pada tataran politik rendahan, yaitu politik praktis atau politik kekuasaan,” ujarnya.   

Baca Juga: Wapres

Hal itu disampaikan mantan Katib Aam PBNU ini saat menyampaikan pandangan umum soal Khittah NU di Ponpes Tebuireng 8 Serang, Banten. Acara itu merupakan rangkaian Halaqah ke-8 Komite Khittah NU 1926 (KKNU 26).

Dalam kesempatan itu, Kiai Malik menyampaikan pesan dari almarhum KH Ahmad Sahal Mahfudz.

“Dalam Rapat Pleno PBNU di Universitas Ilmu Al-Qur’an (Unsiq) Kelibeber, Wonosobo, Kiai Sahal mewanti-wanti agar NU tidak bermain-main dalam politik rendahan (siyasah safilah) tetapi NU bermain dalam politik tinggi (siyasah aliyah),” ungkapnya.

Yang dimaksud dengan politik tinggi di sini, lanjut Kiai Malik, bahwa NU tidak main pada tatran politik praktis, tetapi menjalankan tiga hal yang merupakan politik tingkat tinggi. Tiga hal itu adalah politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika politik.

“Politik kebangsaan menuntut NU proaktif membentengi NKRI sebagai bentuk final bagi umat Islam,” jelasnya, seperti dikutip dalam catatan “Khittah 1926 Nahdlatul Ulama”.

Sementara itu, politik kerakyatan menuntut NU agar proaktif menyadarkan rakyat atas hak-haknya sebagai rakyat supaya tidak menjadi alat kekuasaan bagi elit politik.

“Sedangkan etika politik, NU aktif menyebarluaskan ajaran Islam tentang etika berpolitik, termasuk menolak politik uang, suap, korupsi, dan lain-lain,” ungkap Kiai Malik.

Kalau NU sudah masuk pada tataran politik kekuasaan, maka di dalamnya sarat dengan kepentingan. Selain itu, juga akan menimbulkan gesekan antara struktural dengan kultural, sehingga tidak akan pernah ada ittifaq (kesepakatan), yang ada hanya ikhtilaf (perselisihan).  

PBNU ketika Pilpres 2019 secara terang-terangan maupun terselubung, memobilisasi warga NU, struktur NU pada tingkatan PW sampai MWC guna mendukung salah satu paslon, penggiringan itu, menurut Kiai Malik, merupakan pelanggaran atas Khittah NU 1926.  

Melihat itu semua, apakah NU masih tetap ngotot ingin minta jatah jabatan kepada Presiden Jokowi, meski sudah dapat posisi Wapres?

Ingat, jabatan Ma’ruf Amin di PBNU adalah Rois Syuriah!

(Bersambung).

***