Menguak "NKRI Bersyariah" dan Jejak Radikalisme

Kamis, 17 Januari 2019 | 08:03 WIB
0
542
Menguak "NKRI Bersyariah" dan Jejak Radikalisme
Demo mendukung khilafah (Foto: VOA Indonesia)

Saya mulai dengan pertanyaan, Apakah kita mau jika Indonesia ini diubah menjadi khilafah? Tidak ada bukti yang valid di era digital, negara khilafah dengan kehidupan yang berbeda SARA bisa hidup rukun.

Hanya di zaman Rasulullah. Kenapa? Ya karena hanya Rasul yang bisa bersikap adil tanpa memandang apapun. Manusia biasa? Adil bagi rokok aja gak bisa, apalagi adil poligami.

Karena merasa manusia jauh dari rasa itulah dibentuk sebuah pemerintahan demokrasi. Asasnya Pancasila. Tidak ada satu kepentingan yang mendominasi disana. Itulah semangat Pancasila.

Jelas mayoritas kita tidak mau jika Indonesia dirubah menjadi khilafah. Untuk itu paham Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin apalagi ISIS tidak bisa diterima di Indonesia.

Ikhwanul Muslimin mungkin masih bisa diterima karena mengakomodir asas demokrasi. IM konsentrasi pada politik dakwah, namun tetap saja cara ini memunculkan eksklusifitas sendiri. Terbukti PKS tidak pernah mencapai suara yang klimaks di Indonesia.

Jadi, untuk apa FPI memperjuangkan syariah Islam atau kekhalifaan? Pasti percuma, dan FPI tahu itu. Yang tidak tahu tentu yang ndompleng. IM juga ndompleng, tapi karena berada di Parlemen, jadi paham seluk beluk.

Jadi, yang tidak paham siapa? Hizbut Tahrir (Menjadi Hizbut Tahrir Indonesia). HTI tidak menjelma menjadi apapun di Indonesia, HTI itu ‘telanjang’, polos. Muncul kalo ada rame-rame, lalu senyap, dan kemudian malah dibubarkan.

FPI paham betul, sehingga jauh-jauh hari sudah menyiapkan konsep plan B: NKRI Bersyariah. Sebagai pengganti kekhalifaan yang pasti ditolak. FPI mencontoh cara Sunan-sunan menyebarkan Islam; berbaur, jangan menolak apalagi mengganti.

Maka, harus ada embel-embel NKRI. NKRI harga mati, namun ditambahkan, Bersyariah. Bagaimana konsepnya?

Mari kita simak pidato Habib Rizieq Shihab (HRS), pada video saat reuni 212 tahun 2017:

  1. Beragama, bukan atheis atau komunis; berketuhanan yang Maha Esa, tunduk kepada hukum Allah SWT.
  2. Mengimplementasikan kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
  3. Menolak neolib sosialis maupun neolib kapitalis untuk mewujudkan keadilan sosial.
  4. Menjamin semua umat beragama untuk menjalankan ibadah dan syariat agamanya masing-masing
  5. Melindungi rakyat dari segala maksiat, menghadirkan pejabat yang amanah dan tidak khianat.
  6. Melindungi umat Islam agar segala yang dikonsumsinya adalah produk halal.
  7. Menghormati dan mencintai para ulama dan santri, bukan mengkriminalisasi atau menterorisasi mereka.
  8. Menjadikan pribumi sebagai tuan di negeri sendiri.
  9. Menghargai dan melindungi madrasah dan pesantren, bukan memarjinalkan dan mencurigainya
  10. Antikorupsi, antimiras, antinarkoba, antijudi, antipornografi, antiprostitusi, anti LGBT, antiteroris, antiseparatis, antifitnah, antikebohongan, antikemungkaran, antikezaliman.
  11. Didasarkan pada Pancasila dan UUD 18 Agustus 1945 asli yang dijiwai Piagam Jakarta 1945.

Dari 11 point tersebut, amat mungkin untuk dijadikan kajian bersama. FPI fokus pada perbaikan tatanan nasional. Bahasa ilmiahnya: Di dialog-kan. Konsep ini bisa menjadi ranah dialogis, namun tetap saja dialog yang terbatas, mengapa:

Pertama, dialog yang terjadi hanya pada satu arah. Dialog keislaman. Bahkan sangat cenderung melindungi diri sendiri, tampak pada point 7. Jika ada ulama yang bersalah, maka proses hukumnya akan dianggap sebagai kriminalisasi.

Pun begitu dengan pasal-pasal lain, bahasanya terasa tendensius untuk melindungi satu pihak. Tidak ada ruang bagi agama lain di Indonesia untuk berdialog. Semua mengarah pada satu agama saja. Ini yang di awal masa perjuangan di hindari oleh elit pejuang negeri ini.

Kedua, sangat mungkin terjadi konflik horizontal antar golongan. Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin memang tidak bisa bicara apapun saat ini, karena memiliki kepentingan yang sama.

Namun perbedaan prinsip mendasar ada disini. HTI tidak mentolerir adanya demokrasi, adanya pemilu, tidak menganut trias politica, tidak ada pasal permusyawaratan perwakilan. Maka jelas akan timbul perselisihan mengenai pelaksanaan Undang-Undang nantinya.

Toh, sejak awal, jagoan HT dan IM bukan ISIS atau FPI tapi Free Syrian Army (FSA) dan Jabhah Al Nusra. Di Suriah sendiri, Jabhah Al-Nusra, HT, IM, ISIS dan FSA saling mengkafirkan. Saya mengalami sendiri di Timur Tengah tulisan dari Dina Sulaeman sehingga sedikit banyak bisa menulis ulang dengan fakta.

Ketiga, Ekstrimisme. Ini yang jadi banyak pertanyaan dari rekan-rekan sejak tulisan pertama. Jika Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir condong pada penyebaran faham ketimbang kekerasan (radikalisme), lantas kenapa yang muncul ke permukaan adalah tindakan-tindakan radikal?

Begini, ektrimisme bukanlah tindakan, tapi sikap. Menurut Dr. Yusuf Qardawi, sikap ekstrim yang paling mencolok adalah fanatik pada suatu pendapat dengan fanatisme yang keterlaluan, sehingga tidak mau mengakui keberadaan pendapat lain. (Islam Ekstrem: Analisis dan Pemecahannya, hlm. 32)

IM dan HT bermain di ranah ini. Mereka berdua punya konsep Islam ekstrim kanan. Islam yang betul-betul murni tanpa ada intervensi jaman. Mereka bermahzab Hambali.

Namun IM dan HT memiliki cara berbeda. IM membaur dalam demokrasi dan politik, sedang HT tidak. Jadi, jika melihat level fanatisme, HT lebih fanatis ketimbang IM. Namun keduanya sama, sama-sama tidak bisa menerima perbedaan dalam agama.

Itu yang saya rasakan sendiri ketika di Timur Tengah. Bahkan perkara warna jilbab bisa menjadi masalah buat mereka. HT mendukung teror? Ya, tapi untuk perang secara langsung, nanti dulu.

Seperti di Libya dan di Suriah, HT adalah sebagai cheerleader yang memprovokasi jihad dan penggulingan kekuasaan. Beberapa sumber menyatakan HT berkompromi dengan NATO untuk menggulingkan pemerintahan Khadafi di Libya.

Dan di Suriah, media internasional justru jarang menyebut soal HT dan IM. HT hanya sebagai genderang perang Jabhah Al Nusra di Suriah, bahkan berbaiat dan meng-endorse saudara Al Nusra, kelompok Ahrar Al-Sham yang mengerikan.

Seperti itu kira-kira perilaku IM dan HT. Pola memaksakan kehendakr. Untuk supaya eksis, HT terlihat merongrong pemerintah Indonesia lewat demonstrasi dan mobilisasi massa.

Tetapi tidak untuk teror di Indonesia, karena kembali lagi, IM membaur dalam demokrasi sedangkan HT tidak memiliki jaringan khusus. Jadi siapa?

Jaringan terorisme radikal di Indonesia itu adalah Jamaah Islamiyah (JI) yang terafiliasi dengan Al Qaeda, saudara jauh ISIS dan saudara dekat Al Nusra, didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir. Dari JI inilah muncul para pelaku bom Bali: Imam Samudra, Amrozi, Mukhlas dan Noordin Top.

Lalu Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), pecahan dari JI. Karena anggota JI yang lebih muda menganggap kepemimpinan Ba’asyir terlalu lemah dan mudah di pengaruhi. Termasuk ucapan terima kasih Ba’asyir ke Megawati yang menolak mengekstradisi Ba’asyir ke Guantanamo. Ba’asyir keluar dari JI dan mendirikan MMI.

Dan terakhir adalah Laskar Jihad (LD), didirikan oleh Ja’far Umat Thalib, ex mujahidin di Afghanistan. Dua teratas inilah yang kerap meneror massa dengan bom, sedangkan LD lebih kepada provokasi dan ikut serta dalam konflik Ambon.

Jadi sudah jelas, mereka memiliki peran masing-masing. IM di politik demokrasi, HT sebagai penabuh genderang, JI dan MMI sebagai eksekutor. Keterlibatan mereka masih ada lagi, yaitu penyambung lidah dan pembawa serta anggota langsung ke sumbernya: ISIS dan induknya, Al-Qaeda.

Bagi mereka harus ada teror di Indonesia, agar mereka terlihat eksis. Maka yang terlihat memang aksi radikalisme. Mereka membawa pesan, ini jihad sesungguhnya. Pesan itu agar masuk ke otak para mujahid yang disiapkan. Baik disiapkan untuk ke Suriah ataupun disiapkan untuk revolusi di Indonesia.

Lalu bagaimana dengan NKRI Bersyariah tadi? Itu adalah skema manipulasi. Itu adalah pintu gerbang bagi ekstrimis, jihadis dan radikalisme masuk lebih dalam ke Indonesia. Mereka harus masuk ke pemerintahan, tidak ada cara lain.

Kenapa begitu? Begini, saya justru ditanya heran oleh beberapa kawan, kenapa di pemerintahan Jokowi, HTI dan FPI malah ngomong anti-radikalisme? Terus terang mereka heran.

Dan saya tertawa, jujur saya belum tahu jawaban itu. Di tanah Arab, justru mereka bisa menjungkirkan pemerintahan sah yang bertahun-tahun berkuasa.

Analisa saya sederhana. Pertama, di Libya misal, Khadafi sudah terlalu lama menguasai Libya, di Mesir, Husni Mubarak pun sudah sangat lama. Tunisia pun begitu. Mereka berkuasa lebih dari 20 tahun. Rakyat mereka bosan, mereka butuh pembaruan, demikian juga Amerika. So, pergerakan Arab-Spring lebih leluasa. Didukung rakyat.

Polanya sama, sehingga wajar jika Asaad menyebut invasi ini by design, digerakkan oleh “terorisme yang didukung pihak asing”. Terlepas itu perang Sunni vs Syiah. Bashar Asaad sendiri menggantikan ayahnya Hafez Assad untuk memerintah di Suriah, Klan Assad.

Di Indonesia? Belum tentu. Tidak ada pemicu di Indonesia. Justru Indonesia sedang menikmati saat-saat demokrasi yang indah, lepas dari cengkraman orde baru.

Jadi ketika para ekstrimis tersebut masuk ke Indonesia, justru penolakan yang ada. Hanya segelintir orang yang terpengaruh paham radikal. Mereka adalah fan-boy tulisan Baa’syir dan juga korban propaganda anti-Zionis yang melenceng.

Bahkan HRS pernah di tahan di era SBY. Di era Jokowi justru HTI dibubarkan. Ini menunjukkan Pancasila masih sangat kuat. Untuk tetap bertahan, organisasi ini harus mengikuti dulu tuan rumah, mereka pun berbondong-bondong mengatakan pro-NKRI dan anti-radikalisme. Lucu ya? Lucu banget.

Tapi kembali ke paragraf atas, mereka belum menyerah, pro-NKRI dan anti-radikalisme hanyalah kedok. Harus ada pengganti pemerintahan yang sah yang bisa mereka dompleng.

Ikut oposisi? Well, lihat lah dimana dan kemana sekarang mereka berada.

Jika kita sudah tahu posisi IM, HTI, JI dan MMI. Lantas dimana posisi FPI?

Pertama, FPI memilih sebagai pembuka pintu gerbang ke pemerintah, dengan melihat kegagalan Ikhwanul Muslimin di dalam diri PKS. Dari sejarah, FPI-lah yang paling dekat dengan Polisi, paling dekat dengan TNI. Bahkan HRS pernah menyebut bahwa FPI seperti suami-istri dengan Polisi di Poso.

Jadi, FPI-lah yang paling mumpuni untuk masuk, untuk mendobrak tatanan demokrasi Pancasila. Gagal dengan konsep Negara Islam, mereka ganti dengan NKRI Bersyariah. Kemana FPI berkiblat? Yang pasti bukan ke IM atau HT.

Dari tulisan pertama saya, anda bisa simpulkan sendiri.

Kedua, jangan diremehkan pergerakan Muhamamad Al Khaththath, ex-Hizbut Tahrir asli, ketua HTI dan FUI. Menurut Tirto.id mengutip dari Setara Institute, Al Khaththath adalah ahli lobi, dari sinilah dia mulai memainkan peran ke dalam MUI, sebagai pengurus dan juga memasukkan personel HTI & FUI kedalam MUI.

Jadi, pergerakan radikalisme dan ekstrimisme bukan hanya di permukaan, namun juga masuk kedalam organisasi resmi pemerintah. Bayangkan jika mereka berkuasa, di Suriah sendiri saja mereka saling mengkafirkan, apalagi di Indonesia, bisa-bisa mereka bentrok sendiri seperti di Suriah, rakyat yang jadi korban.

Beragam kepentingan bisa ada disini. Tanpa ada asas demokrasi yang jelas.

Jadiii, bener yaa Indonesia bakal jadi target Arab Spring berikutnya? Sayangnya, ya.

***