Kala Partai Politik Dibesarkan Seorang Ibu

Selasa, 8 Januari 2019 | 06:24 WIB
0
2231
Kala Partai Politik Dibesarkan Seorang Ibu
Megawati mampu memimpin PDI Perjuangan selayaknya ibu yang membesarkan anak-anaknya dengan keringat hingga air mata - Foto: kicknews.today

Dalam hitungan hari, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) akan berulang tahun ke-46. Partai politik yang mampu bertahan hampir setengah abad, tidak bisa dikatakan sebagai suatu hal biasa-biasa saja.

Pasti ada yang tidak biasa, sesuatu yang luar biasa, hingga bisa meraih usia panjang. Dan, mau tidak mau, keberadaan Megawati Soekarnoputri tak bisa dipisahkan dari perjalanan panjang partai tersebut.

Bukan sekadar ada nama Soekarno, terlepas sosok salah satu founding fathers itu masih menjadi nama besar yang tak kunjung meredup di negeri ini. Bukan. Namun mestilah ada sesuatu yang lain, sehingga nama Bung Karno turut terjaga oleh tangan putrinya tersebut, dan Mega sendiri pun tetap berkibar meskipun usianya tidak muda lagi.

Di samping, berkibarnya namanya dan sang ayah, pun berbarengan dengan semakin berkibarnya partai yang dipimpin olehnya.

Sebuah partai politik menjadi besar di tangan perempuan belum pernah tercatat di negeri ini, kecuali di tangan Mega. Ini merupakan fakta yang tak bisa dimungkiri, bahkan oleh lawan-lawan politiknya.

PDIP dapat diibaratkan anak. Sedangkan Megawati sendiri adalah ibu. 

Ia bukanlah ibu yang diuntungkan dengan harta berlimpah ruah. Juga tidak ada warisan yang tidak habis dimakan hingga tujuh keturunan. Ia ibu yang sejak kecil hingga remaja dan dewasa, hampir selalu harus berhadapan dengan banyak pukulan. Ditampar, dihajar, dikhianati, dilukai, namun masih bisa memeluk anaknya, merawat, hingga membesarkannya.

Sebagai perempuan, tidak merintih dan menangis dengan nada mengiba, bukan sesuatu yang mudah. Setidaknya begitulah anggapan sebagian orang, terutama yang masih menganggap bahwa perempuan lebih lemah dibandingkan pria.

Mega yang menjadi ibu memilih menjadi ibu yang tak biasa. Ia lebih memilih menjadi ibu yang lebih sering menyembunyikan lukanya, dan menghapus sendiri air matanya.

Ketika anak-anaknya menemuinya, yang mereka dapati adalah ibu yang tegar dan kuat. Seakan ada pantangan baginya memperlihatkan sisi lemahnya sebagai manusia di depan anak-anaknya. Melalui kata-kata, ucapan, tindakan, ia lebih banyak menegaskan, "Ibumu adalah ibu yang masih cukup kuat untuk menghadapi macan atau ular-ular berbisa yang masih mengintai untuk memangsa kalian. Jangan takut! Kalian lahir bukan untuk menjadi santapan pemangsa. Kalian adalah penakluk semua pemangsa."

Ya, kalau boleh menerjemahkan ungkapan-ungkapan Mega di depan para kadernya, maka kalimat itu rasanya cukup mewakili.

Setidaknya itu juga yang hari ini, Senin 7 Januari 2019, keluar dari mulut sang ibu.

Ia tidak saja berbicara yang hanya tertuju kepada anak-anaknya saja. Bukan cuma kepada kadernya. Tampaknya ia menginginkan pesan kekuatan itu mengalir juga lebih jauh, terutama kepada ibu-ibu lain yang tidak saja memiliki rahim yang menjadi awal kehidupan manusia, namun juga memiliki tangan lemah lembut namun bertenaga hingga bisa membesarkan anak-anaknya.

Itu juga yang diutarakannya, kemarin, saat ia tampil dan membuka sekolah calon anggota legislatif di Kantor DPP PDI Perjuangan. Tidak jauh dari tempat saya bekerja sehari-hari, di Cikini.

Ada mimpi besarnya, selain membesarkan partainya, supaya negerinya pun memiliki lebih banyak perempuan yang bisa membawa pengaruh besar, tidak terkecuali di ranah politik.

Mega bercerita bagaimana perjalanannya ke banyak tempat. Ia kerap menghitung, ada berapa perempuan di sana. Ia mengakui, terkadang ada perasaan kesal, karena hanya ada sedikit perempuan Indonesia yang mau unjuk diri.

"Semakin hari saya merasa kesepian," katanya, karena belum menemukan jumlah perempuan yang berani tampil di medan tempur bernama politik, dalam jumlah semestinya. Setidaknya ketika harus beradu argumen dan memperjuangkan rakyat di ranah politik.

Sebab ia sendiri sudah membuktikan, bahwa sebenarnya perempuan Indonesia bisa berpikir besar dan bisa menciptakan banyak hal menjadi lebih besar. PDI Perjuangan menjadi bukti yang bisa disaksikan siapa saja hingga hari ini, berjuang sejak lama hingga bertarung di saat-saat tersulit era Orde Baru, hingga mencapai masa keemasan hingga berada di puncak kekuasaan.

Pun di tengah kekuasaan, ia menolak melihat pencapaian sebagai alasan untuk sekadar menikmati kebanggaan. Namun ia memilih menjadikan itu sebagai kesempatan besar untuk dapat menghadirkan sesuatu kepada rakyat, yang juga menjadi anak-anaknya.

Bahwa sebagai tokoh politik, hingga hari ini pun ia masih sering menjadi sasaran peluru-peluru fitnah, namun ia lagi-lagi mampu membuktikan tidak ada "peluru" yang mampu membunuhnya, apalagi anak-anaknya yang dibesarkannya di partai asuhannya.

Dalam acara Megawati Bercerita yang berlangsung di markas PDI Perjuangan, Cikini, Jakarta, Senin (7/1), ia sempat menyinggung hal itu.

Ia tak menampik bahwa pemandangan politik di mana yang menang dipuja dan yang kalah dijatuhkan, bukanlah cerita baru, dan sudah dihadapinya sejak lama. Ia sendiri kerap harus berhadapan dengan realita di mana pergerakannya dibatasi, partainya diacak-acak oleh pemerintah yang berkuasa kala itu, hingga ia sendiri dikucilkan.

Namun ia menegaskan, ia tak ingin tradisi buruk itu berlanjut. "(Kebiasaan itu) bukanlah tradisi yang baik untuk diteruskan," katanya, saat bercerita tentang perjalanannya sebagai ibu bagi partainya.

Mega menguatkan hal itu dengan pengalamannya sejak kecil. Ia juga melihat bagaimana nasib ayahnya, Bung Karno, yang dijatuhkan dengan cara terbilang keji, sarat intrik, dan diikuti berbagai hasutan dan fitnah yang merusak nama sang ayah, namun ia menolak dendam.

Bahkan hingga hari ini ia kerap menegaskan, "Jangan hujat Pak Harto!"

Walaupun semua tahu, salah satu aktor utama di balik tumbangnya Bung Karno, dan tersingkirnya sang Pahlawan Proklamasi dari Istana, tidak lepas dari sosok yang terkenal sebagai otak Orde Baru.

Mega merekam semua perlakuan lawan politik ayahnya, dan mengingat siapa saja yang menjadi pelakunya. Namun bukan untuk mendendam. Terlepas begitu sang ayah harus meninggalkan kursi kekuasaan yang direbut dengan intrik-intrik licik, sempat harus hidup sebagai tahanan di tempat bernama Wisma Yasoo, Jakarta.

Wisma Yasoo, tempat yang kini berubah menjadi Museum Satria Mandala menjadi saksi bisu bagaimana seorang pemimpin yang disegani dunia merasakan diperlakukan semena-mena. Tak leluasa bergerak atau sekadar berbicara di negeri yang pernah dibela mati-matian sejak mudanya.

Saat Bung Karno ditahan di sana, para penjaga hampir tak membiarkannya bergerak ke mana-mana. Bahkan ada banyak catatan bagaimana di hampir setiap tempat, orang-orang Soeharto memasang alat penyadap. Ia yang turut berperan penting merebut kemerdekaan, justru terenggut kemerdekaannya di negerinya sendiri.

Ia terluka. Luka itu juga menular hingga kepada anak-anaknya. Namun mereka menolak mendendam. Mereka seolah mengiyakan, seseorang takkan lagi bisa menangis justru ketika mereka sudah di puncak sakitnya siksa.

Inilah perjalanan panjang yang tidak hanya melekat kepada Bung Karno. Ini juga perjalanan seorang Mega, perempuan yang pernah menjadi anak kesayangan, namun harus melupakan kesenangan, dan harus menjalani pertarungan. Bukan pertarungan pendek yang berhenti dalam hitungan tahun, melainkan ia bertarung hingga puluhan tahun.

Ia memiliki napas yang panjang untuk tidak terkapar dengan berbagai pukulan. Ia juga memiliki kaki yang cukup tangguh hingga tidak memilih berhenti ketika banyak pemberani di kalangan lelaki justru pelan-pelan kehilangan nyali.

Di samping, dia pun tidak sekadar memiliki mata yang indah di masa gadisnya, namun juga memiliki mata yang mampu melihat jauh ke depan, bahwa jalan penuh duri yang pernah ditapakinya akan membawanya ke sebuah tempat yang jauh lebih tinggi.

Maka itu, umur panjang sebuah partai bernama PDI Perjuangan, bukan lagi sekadar prestasi sebuah partai politik yang kenyang makan asam garam pertarungan di kancah yang memang penuh intrik. Namun partai ini juga menjadi semacam prasasti bukti, bahwa ada partai yang berada di tangan perempuan, bisa tumbuh ibarat anak yang tidak cuma kuat, namun juga mampu melewati berbagai rintangan zaman. 

Bahkan, mereka pun telah menjadi anak-anak yang mampu memenuhi panggilan zaman. Tidak sekadar menjaga nama ibu, sekaligus membuktikan bagaimana kekuatan anak-anak yang diasuh oleh tangan ibu yang tangguh.

Sambil merawat harapan, supaya negeri yang menjadi rumah mereka pun menjadi rumah yang tangguh dengan penghuni yang bisa mewarnai dunia.

***