Apa Perlunya Debat Capres?

Minggu, 20 Januari 2019 | 16:21 WIB
0
174
Apa Perlunya Debat Capres?
Rob Allyn (Foto: Facebook.com)

Melihat Debat Capres 2019 pertama antara capres 01 dan 02, dan beberapa menonton ulangannya, yang terasa (pada saya, tentunya); Ini debat (para) calon Presiden, atau ruang evaluasi Presiden yang sedang memerintah (yang kebetulan menjadi capres pertahana) oleh capres penantang?

Beberapa yang diperdebatkan lebih berkait hal yang dilakukan oleh Jokowi selaku Presiden. Sedikit sekali pedebatan mengenai visi dan misi keduanya, kecuali yang disampaikan dalam pengantar masing-masing capres. Bandingkan dengan Debat Capres 2014, dengan pelakon sama, dan juga dengan posisi sesama capres.

Namun apa manfaat debat ini? Beberapa pengamat politik dan lembaga survei meyakini, debat menjadi momen penting menaikkan elektabilitas. Sementara, dalam berbagai analisis mereka, tingkat elektabilitas kedua capres stagnan (Jokowi di atas 50% dan kompetitornya mendapatkan sekitar 30-an persen), masih tersisa sekitar 20% belum menentukan pilihan, yang menjadi bagian penting untuk diperebutkan.

Sementara itu masing-masing pihak hanya berbekal pemilih konvensional mereka yang fanatik? Jadi, pilpres ini hanya memperebutkan sekitar 20% swing-voter dari 180 juta pemilik kartu suara? Lantas kenapa mesti dirayakan sedemikian rupa, dengan biaya mencapai puluhan milyar?

Sementara secara teknis, penyelenggaraan debat tak memberikan ruang eksplorasi. Pembagian segmentasi untuk jeda iklan (saya kurang tahu bagaimana bentuk kerja sama antara KPU dengan media yang menyiarkan acara itu secara live), menjadi sesuatu yang mengganggu. Memberi kesan acara memilih presiden ini, dengan level kepentingan bangsa dan negara, ditunggangi kepentingan komersial yang tak seberapa nilainya (dari segi keuntungan finansial).

Belum pula kehadiran host (sesenior apapun Imam Priyono dan Ira Kusno), juga tak memberi bobot apapun. Bisa jadi framing ‘sakralitas’ acara menjadi kendala keduanya. Kedua host yang disebut sebagai senior itu, tak lebih sebagai ‘master of ceremony’ sebagaimana biasa. Hanya tampak dalam konteks mereka bisa mengatasi faktor tekanan bobot acara, tapi tidak dalam konteks menambah bobot acara.

Dibandingkan model Debat Pilkada, Debat Capres sama sekali tak memberi ruang penajaman masing-masing kandidat, baik dalam bertanya maupun menjawab. Lantas, apakah hanya mereka yang beruntung saja, yang dalam waktu dua jam bisa mendapatkan loop-hole, bola muntah, kemudian mendadak elektabilitasnya naik?

Apakah dengan hal itu maka reputasi kandidat, dengan segala rekam jejaknya, bisa dihapus begitu saja? Dihapuskan oleh hasil pelatihan singkat menghadapi acara debat, sekalipun masing-masing kandidat dilatih, dimentori, disimulasi para ahlinya, bahkan dari luar negeri segala?

Kita lihat apakah teori komunikasi bisa dicabut dari aspek-aspek humanitasnya. Hingga kemenangan Donald Trump pun seolah bisa dijadikan role model di mana-mana? Hingga seorang capres yang sok anti asing bisa mensubya-subya konsultan asing?

***