Mimpi-mimpi 2045 terasa makin menjauh. Apalagi kalau kita percaya pernyataan Presiden, bahwa bangsa yang menguasai AI akan menguasai dunia.
Belum lama lalu, para pekerja dunia hiburan, event organiser kesenian dan para artis, kemudian disusul para insan film, berkirim surat pada Presiden. Perihal keluhan yang sebetulnya dialami hampir semua warga masyarakat Indonesia. Tiada kecuali. Soal ‘terdampak’ pandemi Covid-19.
Para penggiat hiburan, mencoba meyakinkan, bahwa mereka selama ini telah bekerja dengan memperhatikan protokol keselamatan penonton. Sudah terbukti. Dan untuk itu, harapannya, mereka diijinkan untuk memulai kembali pekerjaannya. Dan berjanji akan memenuhi prokes.
Dalam kesempatan terpisah, sineas Joko Anwar menyatakan gedung bioskop tak pernah terbukti sebagai kluster penyebaran Covid-19. Ia mengajak masyarakat kembali ke bioskop. Karena meski ada platform auvinet, yang mudah dan murah, dirasa tidak memadai. Padal, banyak lembaga pemerintah kini mengandalkan medsos, terutama youtube.
Senyampang itu, di tengah berbagai upaya Pemerintah, Presiden berpidato; "Siapa yang menguasai AI (artificial intelegence) akan menguasai dunia." Kita tahu penjelasannya, meski normatif. Tetapi menyandingkan keluhan penggiat seni-hiburan dengan pernyataan Presiden soal AI, terasa ngeri-ngeri sedap.
Yang paling mengherankan, dalam situasi pandemi di jaman auvinet dan generasi 4.0., kita (setidaknya saya), sama sekali tak melihat tawaran gerak baru dari dunia kreatif.
Bahkan, dalam sebuah diskusi beberapa anak kemarin sore (mangsudnya generasi milenial) yang ingin membuat gallery virtual, malah jadi cibiran seniornya generasi analog.
Yogyakarta dengan danaisnya yang membanggakan, dengan kundha kabudayannya pun, tidak membuat terobosan apapun. Kecuali pola bantuan dana dengan cara dan penamaan yang sedikit agak panjang. Namun bukan tanpa masalah, kelak dikemudian tahun.
Dalam masa pandemi ini, yang jauh lebih banyak berkibar adalah acara webinar, atau zoom. Selebihnya live-streaming melalui platform medsos seperti youtube. Istilahnya saja terdengar keren. Namun adakah konsep atau pemikiran baru? Quo-vadis TVRI dan RRI?
Karena tagline ‘menguasai AI sebagai menguasai dunia’ itu bukan tanpa syarat dan ketentuan. Menurut Seth Earley, CEO of Earley Information Science, ahli dalam proses pengetahuan, arsitektur data perusahaan, AI tak mungkin jalan tanpa IA (IEEE Software Magazin, 2021).
Di Indonesia, IA sangat lemah. Information Architecture atau kemampuan pendataan kita, bahkan masih bisa bercampur dengan kehendak koruptif dan manipulatif. E-KTP saja, hingga saat ini, hanya ngomdo meski dananya sudah dikorupsi beberapa tahun lampau.
Meskipun AI memiliki banyak visibilitas, fakta bahwa teknologi ini membutuhkan beberapa elemen rekayasa pengetahuan, arsitektur informasi, dan sumber data berkualitas tinggi. Itu masih belum banyak diketahui di negara kita. Dan akibatnya banyak. Apalagi dalam situasi menghadapi pandemi selama setahunan ini.
Di situ saya teringat apa yang dilakukan di desa kecil Panggungharjo (Bantul), dengan lurahnya bernama Wahyudi Anggoro Hadi. Hanya butuh waktu sebulan, ia melakukan antisipasi, dengan membentuk gugus tugas tanggap Covid yang berbasis data.
Virus Corona yang mendekonstruksi semua teori-teori sosial, ekonomi, politik, dan budaya, disikapi secara proporsional di Panggungharjo. Karena senyampang itu, sesungguhnya itulah kesempatan emas.
Untuk memulai dari nol, mengenai apa yang acap disebut new-era atau new-normal. Sekali pun yang bernama era dan normal itu, sebenarnya juga belum kita tahu jenis, bentuk, dan kriterianya.
Sementara di sisi lain, para senior kita, menghadap Jokowi untuk menyelesaikan kasus FPI saja, kudu mengutip-kutip ayat-ayat agama, untuk mendesak Pemerintah berlaku adil.
Mengancam-ancam dengan neraka jahanam kayak lagu Godbless. Para politikus, masih saja merecoki pemerintah, ketika mereka sendiri sama sekali tak bisa membantu bangsa dan negara ini menghadapi tantangan jaman. Di Indonesia, hukum baru dianggap di atas politik ketika para politikus kebingungan mengatasi kebodohannya sendiri.
Di situ Indonesia 2024 kadang bikin miris. Apalagi dalam situasi Indonesia Transition ini, harus balik lagi ke soehartoisme?
Mimpi-mimpi 2045 terasa makin menjauh. Apalagi kalau kita percaya pernyataan Presiden, bahwa bangsa yang menguasai AI akan menguasai dunia.
Sementara menguasai diri sendiri pun, kita acap tak kuasa. Apalagi menguasai IA.
@sunardianwirodono
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews