Ngapain Rekonsiliasi!?

Kalah dua kali berturut, sebenarnya menjelaskan kualitas Prabowo. Generasi Orba yang akan makin out of date.

Sabtu, 6 Juli 2019 | 13:18 WIB
0
237
Ngapain Rekonsiliasi!?
Prabowo dan Jokowi (Foto: Waspada)

Menurut Rudiantara, produksi hoax kini turun 17%. Tapi apakah ia ikut merasakan yang kita hadapi di bawah? Meski pada akhirnya kita juga tahu, sumber pokok percekcokkan kita adalah; orang-orang kalah yang kalap.

Apalagi ketika membawa ilusi agama, yang bersumber wacana yang dibangun ‘imam besar’ Rizieq Shihab dan gerombolan, beserta pihak yang membiayai. Coba googling jejak digitalnya. Mulai dari Ijtima Ulama, PA-212, hingga Rocky Gerung, dan sejenis-jenis itu. Termasuk para yang tertipu.

Agama terus saja dibawa kelompok ini. Mereka menghina-dina sistem ketatanegaraan kita, yang dibangun dengan nalar dan adab kemanusiaan. Dengan ilmu pengetahuan. Dengan nurani keadilan dan azas kebersamaan.

Baca Juga: Rekonsiliasi dan Kesesatan Logika Rocky Gerung

Mereka menghina sistem peradilan dan konstitusi kita, dengan kata-kata curang seenak perut. Mereka menuding yang tak disetujuinya sebagai wakil setan, laknatullah, bakal mendapat azab Allah, thagut. Segala macam bentuk umpatan yang menunjukkan kesewenangan.

Pidato 1 Juni 1945 Bung Karno sudah menjelaskan. Bahkan hilangnya 7 kata dalam Pembukaan UUD 1945, seperti ditulis dalam memoar Hatta, juga menjelaskan pilihan dasar negara kita. Namun frasa itu terus diproduksi. Hingga muncul beberapa hari lalu, di sebuah SD Negeri Gunung Kidul, Yogyakarta. Mewajibkan busana muslim bagi siswa barunya. Tak peduli pemeluk atau bukan (meski telah dianulir).

Sebagai negara sekuler, bukan berarti Indonesia negara najis, kafir, thagut. Apalagi menuding presiden komunis, China, antek aseng, setan, curang, bohong, dajjal.

Justeru para penuding menunjukkan barbarianisme dengan nyata. Tak menghargai hukum. Memaksakan nilai-nilai keillahian secara serampangan dari segi dalil dan nalar.

Ketika Prabowo kalah, Novel Bamukmin dan Abdullah Hehamahua turun ke jalan sembari bilang, “Ini bukan demi Prabowo...” Lantas demi siapa? NKRI? Halah, gambis!

Jika Jokowi tidak akan punya beban lagi, tuntutannya sederhana; Tegakkan hukum. Yang melanggar hukum dihukum! Tak peduli ASN, Guru, ustadz, istri Polisi, dosen, mak-emak yang mulutnya penuh sumpah-serapah, doktor komunikasi, atau bekas tentara.

Juga fesbuker atau mereka yang terus gerilya dari medsos ke medsos, WAG ke WAG. Demikian juga, tak peduli pada nilai tantrum pihak yang kalah, apalagi dengan tuntutan ganti rugi sebesar Rp 30 trilyun! Tolak rekonsiliasi berbayar gitu!

Baca Juga: Moeldoko: Rekonsiliasi Bukan Negosiasi

Kalah dua kali berturut, sebenarnya menjelaskan kualitas Prabowo. Generasi Orba yang akan makin out of date. Bahwa kini mendapat 44,50%, tetapi itu artinya tidak mendapat 55,50%. Sebenarnya jalan terbaik adalah maju lagi kelak, 2024. Apalagi Jokowi tak bakal nyapres. Pesaing terberat tak ada lagi.

Sekiranya ada keajaiban, dalam arti tak ada generasi yang lebih fresh dan lebih up to date sesuai jamannya, siapa tahu minimal dapat 51% suara. Kemudian jadi presiden. Berkuasa. CLBK dengan Titiek Soeharto. Membangun rumah tangga yang sakinah mawadah warrohmah.

***