Politisasi Agama, Rawan Menimbulkan Konflik Sosial

Minggu, 20 Januari 2019 | 10:45 WIB
0
131
Politisasi Agama, Rawan Menimbulkan Konflik  Sosial
Ilustrasi (Foto: Katariau.com)

Indonesia merupakan negara dengan etnis yang beragam, kebhinekaan merupakan ideologi yang digadang oleh founding father bangsa Indonesia sejak dulu, namun kali ini zaman seolah berubah, dunia politik kian mengalami cedera parah, para elit politik menghalalkan segala cara untuk mendapatkan tahta dan kekuasaan.

Politisasi Agama memang racun dalam berdemokrasi, namun hal ini tak bisa dipungkiri bahwa model politik seperti inilah yang dinilai efektif untuk memenangkan seorang calon.
Penggunaan tempat ibadah dalam kampanye terbukti murah dan efisien. Hal ini dikarenakan sang pendamba suara tidak perlu menggiring massa pada suatu tempat.

Tentu kita masih ingat dengan gerakan sholat shubuh berjamaah yang marak digalakkan di berbagai kota di Indonesia, sekilas gerakan ini memang layak diapresiasi, karena sholat berjamaah di masjid merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, tetapi yang menjadi masalah adalah apabila setelah sholat shubuh dilaksanakan, dimana pengkhutbah atau pemberi kultum memberikan ceramah yang destruktif ataupun yag mengarahkan jamaah untuk memilih salah satu kandidat paslon.

Pastinya terdapat perbedaan antara sholat shubuh berjamaah murni dengan gerakan sholat berjamaah yang disisipi unsur politik, perbedaan tersebut terletak pada motif dan tujuan sholat, nyatanya gerakan politik sholat shubuh berjamaah terdapat motif politik yang kental, dimana motif politik tersebut erat kaitannya dengan aksi 212 di monas.

Kegiatan ibadah seperti sholat tidak hanya tindakan ibadah semata, tetapi juga bisa disebut sebagai “aksi politik” apabila dilakukan dengan motif dan tujuan politis tertentu, misal mengkampanyekan suatu partai atau kandidat pemilu.

Dampak yang timbul akibat gerakan sholat shubuh berjamaah tersebut, tentu telah mengurangi kemurnian gerakan ibadah itu sendiri. Adanya embel – embel gerakan bela islam untuk anti terhadap pemimpin non muslim, menjadikan gerakan ini layak disebut sebagai gerakan politik.

Sholat berjamaah di masjid tentu merupakan ajaran yang baik, bagi pemeluk agama Islam tentunya hal ini membawa kebaikan, bukan kemudharatan. Sehingga permasalahan dalam hal ini bukan pada ibadah sholatnya, tetapi kegiatan diluar sholat yang bermasalah jika tidak sesuai dengan tujuan sholat berjamaah itu sendiri.

Namun apabila gerakan mengumpulkan jamaah di tempat ibadah ini dibalut dengan unsur politik, maka akan sangat rawan untuk dimasuki berbagai kepentingan yang dapat menghilangkan kemurnian tujuan dari ibadah itu sendiri, hal ini tentu memerlukan pengkajian ulang dengan lebih seksama.

Ketua Setara Institut Hendardi juga berkomentar, bahwasanya politisasi agama demi kekuasaan tertentu juga dapat menimbulkan kekerasan bernuansa agama. Politisasi agama bisa berbentuk intoleransi, persekusi dan diskriminasi. Dirinya juga menilai bahwasanya gerakan politisasi agama yang marak terjadi merupakan ancaman serius terhadap kebhinekaan.

Penyebab isu politisi agama merupakan cerminan bahwa agama kian diseret jauh pada pilihan dan untuk menentukan pemimpin atas dasar golongan agama tertentu. Konflik horizontal kerap kali terjadi pada beberapa daerah. Ironinya pertimbangan memutuskan dan untuk menentukan pilihan pun mengarah pada latar belakang agama.

Kita tentu bisa berkaca pada pengalaman pilgub DKI Jakarta, dimana saat itu beberapa kelompok islam memanfaatkan isu tersebut untuk menyudutkan gubernur petahana saat itu, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang memiliki darah etnis China dan beragama Non-muslim.

Ketua Bawaslu DKI Jakarta pada saat pemilihan tersebut, Mimah Sumanti, mengaku memang menemukan kencenderungan tersebut walau tidak merujuk pada calon tertentu.
Sentimen ketidaksukaan itu akhirnya memunculkan sentimen agama, dimana saat itu salah satu paslon memang dianggap menistakan agama, sehingga memunculkan gerakan 212 di Monas.

Hal ini tentu lebih berbahaya daripada politik uang, karena isu terkait agama kan sangat cepat menyebar dengan bantuan arus media seperti internet. Liarnya jempol para pengguna smartphone telah mampu menghanguskan sikap toleransi

Akibat yang ditimbulkan oleh politisasi agama di Pilkada DKI Jakarta, sungguh melewati batas toleransi, dimana muncul spanduk larangan mensholatkan jenazah pendukung pemimpin non muslim, tentu bisa dibayangkan, masyarakat dengan begitu mudah menghakimi sesamanya, termasuk perihal masuk surga atau tidak, hanya dari perbedaan pandangan politik yang berbeda.

Hal ini bisa saja terus – menerus terulang, bahkan dengan tingkatan yang lebih keras. Sebab, sebagian mereka yang menggunakan isu agama tersebut merasa bahwa cara tak etis yang dilakukanya berhasil meredam kekuatan politik lain, bahkan mengalahkannya dalam pemilu.
Baik secara terselubung ataupun terbuka, bahkan menjelang pilpres dalil – dalil agama masih sering dipolitisasi untuk menyerang lawan politiknya. Tentu hal ini sangat bertentangan dengan aturan perundang – undangan.

Pastinya politik identitas yang menonjolkan isu berkaitan dengan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) diperkirakan kembali menggejala terutama pada pemilu presiden 2019. Langkah antisipasi haruslah dioptimalkan, termasuk dengan menyempurnakan regulasi terkait dengan penggunaan isu SARA

Elite politiklah yang sering kali mengaduk–aduk emosi rakyat pemilih melalui politisasi rakyat pemilih melalui politisasi agama. Regulasi dengan definisi yang tegas tentang politisasi agama menjadi penting untuk membuat jera elite yang tunamoral.

Politisasi SARA utamaya politisasi agama juga dapat memnbuaat masyarakat teralihkan dari yang seharusnya melihat kualitas serta program kandidat menjadi sekadar menengok identitas – identitas primordial yang melekat pada diri sang kandidat.

Padahal tidak ada jaminan apabila kandidat penganut agama tertentu atau berasal dari etnik tertentu pasti merupakan pemimpin hebat dan kredibel.

Indonesia dikenal dengan negara yang menjunjung tinggi keberagaman.Tentunya para politisi harus memaknai kebhinekaan yang mengingatkan kepada kita semua agar tidak menggunakan sentimen agama dalam berkampanye, karena dampak dari gerakan tersebut adalah terkoyaknya kohesi sosial.

***