46 Tahun "Moncong Putih", Riwayatmoe Doeloe

Kamis, 10 Januari 2019 | 09:08 WIB
1
1062
46  Tahun "Moncong Putih",  Riwayatmoe Doeloe

Bukan sebuah kebetulan, pada 10 Januari Partai berlambang moncong putih genap berusia 46 tahun. Bagi pecinta motor GP, angka 46 tentu sudah tidak asing lagi sebab cerita tentang kehebatan Valentino Rossie sedemikian menyita perhatian saat ajang pertarungan motor GP berlangsung. 

Demikian halnya dengan partai merah yang dinakhkodai oleh "mbak' Mega yang bernama lengkap Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri ini.

Begitu lekat  pemilu 2004 dalam ingatan saya. Istilah moncong putih kala itu menjadi tagline yang begitu mudah  diingat. Anak-anak kecil hingga orang tua yang berusia lanjut dengan mudahnya mengucap: "Coblos Moncong Putih!".

Ya, pemilu tahun 2004 menjadi satu titimangsa pertarungan politik yang sedemikian keras atas kemunculan Megawati yang kala itu menjabat sebagai Presiden Indonesia kelima. 

Moncong putih seolah menjadi istilah yang membuka ruang penyegaran atas rentetan sejarah panjang PDI Perjuangan yang semula hanya dikenal sebagai PDI. 

Sejarah mencatat  pada 10 Januari 1973 terjadi fusi  5 Partai yakni  PNI, Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai Katholik, IPKI (ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) dan Murba  (gabungan Partai Rakyat, Partai Rakyat Jelata dan Partai Indonesia Buruh Merdeka). Kelima partai tersebut meleburkan diri menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Sistem demokrasi dibawah pemerintahan orde baru hanya memberi ruang bagi 3 partai politik kala itu. Tak hanya PDI yang lahir dari gabungan beberapa partai. Partai berhaluan Islam pun difusikan hingga lahir PPP alias Partai Persatuan Pembangunan. Praktis perjalanan sistem politik nasional tak ubahnya lampu lalu lintas diperempatan jalan. Hanya ada tiga warna masing-masing Merah, Kuning dan Hijau.

Suka tidak suka, warna merah kala Orba sedemikian menjadi momok politik. Kejayaan Partai Nasional Indonesia (PNI) besutan sekaligus kekuatan yang menopang pemerintahan Soekarno dan turut melebur menjadi PDI senantiasa dalam pengawasan. Campur tangan Orde baru melalui tangan "sospol"-nya begitu terlihat sejak kongres I tahun 1976. 

Mekanisme pemilihan ketua umum PDI diintervensi dengan memplot sebuah nama utusan pemerintah yakni Sanusi Hardjadinata. Terang saja, terpilihnya Sanusi sebagai ketua mengundang konflik antar pengurus yang sebelumnya sudah berproses secara internal. Dua tahun setelah kongres, Soeharto tak segan-segan melibatkan BAKIN (Badan Koordinasi Intelejen Negara, sekarang BIN) untuk menyelesaikan konflik di tubuh DPP PDI.

Benih konflik sengaja ditanam sejak awal kongres. Tak ayal, pada kongres-kongres berikutnya PDI tumbuh dalam pusaran konflik internal sehingga semakin mudah untuk diintervensi pemerintah di segala lini.

Konflik internal PDI memanas saat kongres IV tahun 1993 di Medan dinyatakan gagal. Kemelut panjang yang ditanam di tubuh PDI memasuki fase klimaks dengan digelarnya Kongres Luar Biasa pada 2-3 Desember 1993 di asrama Haji Sukolilo - Surabaya. Di situlah momentum munculnya Megawati Soekarno Putri yang sejak tahun 1987 menjabat  sebagai anggota DPR RI Komisi IV. 

Jiwa kepemimpinan politik Megawati diawali dengan menjabat sebagai ketua DPC PDI Jakarta Pusat era itu. Meski secara bilogis Megawati adalah anak dari Soekarno, namun kepemimpinan politik Megawati bukanlah warisan semata. Terpilih sebagai ketua umum PDI melalui mekanisme Kongres Luar Biasa di Surabaya tahun 1993, justru menjadi titik dimulainya kawah candra dimuka bagi seorang Mega.

Orde baru tidak tinggal diam dengan kemunculan putri Bung Karno memimpin PDI. Upaya inskonstitusional dilakukan oleh orde baru untuk menggagalkan laju kepemimpinan PDI dibawah komando Megawati periode 1993-1998.

Melalu menteri Dalam negeri kala itu, Orde baru seakan memberi sinyal bahwa Mega harus disingkirkan. Upaya itu kian kentara saat tahun 1996 muncul  kelompok Fatimah Achmad yang memaksa diselenggarakannya kongres di Medan yang menjadikan Soerjadi sebagai ketua PDI untuk menandingi Megawati.

Awal kemunculan Megawati sebagai sosok pemimpin PDI terus dihantam. Beruntung empat orang deklarator fusi PDI yakni Mh Isnaeni, Sabam Sirait, Abdul Madjid dan Beng Mang Reng Say mengadakan jumpa pres menolak Kongres pada 5 Juni 1996. Mega pun mendapat support dari para pelaku sejarah awal berdirinya PDI saat diberlakukan fusi. 

Tak puas dengan mekanisme organisasi yang dirasa gagal mendongkel Mega. Kelompok PDI yang berafiliasi terhadap Orde baru tak segan memancing keributan dengan upaya merebut paksa kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro. Sebelumnya bahkan dikenal pula insiden Gambir berdarah 20 Juni 1996 dimana pendukung Mega yang berorasi menentang kelompok Fatimah Achman berakhir bentrok dengan aparat.

Satu Bulan lebih Tujuh hari pasca "Gambir Berdarah", menyusul terjadinya "Kudatuli" (kerusuhan dua puluh tujuh Juli) atau dikenal pula dengan sebutan Peristiwa Sabtu Kelabu.

Dukungan terhadap kepemimpinan Mega terus menguat. Gerakan Pro-Mega muncul dimana mana. Hingga saat pemilu terakhir sebelum jatuhnya Orba, PDI pimpinan Soerjadi harus puas dengan hasil perolehan suara yang merosot tajam. 

Tahun 1998 menjadi babak baru PDI kepemimpinan Megawati. Sesaat setelah Soeharto lengser, Pada tanggal 8-10 Oktober 1998 PDI menggelar Kongres ke-V di Denpasar Bali yang secara Aklamasi mendaulat kembali Megawati sebagai ketua umum PDi periode 1998-2003.

Kongres rakyat, begitu warga PDI menyebut konsolidasi partai dengan penuh suka cita. Meski demikian, pemerintah masih tetap mengakui Soerjadi sebagai ketua PDI yang sah.

 PDI Menjadi PDI Perjuangan 

Pemilu tahun 1999 menjadi peluang emas bagi PDI kepemimpinan Megawati untuk menunjukkan kekuatan riil dukungan massa arus bawah. Megawati mengambil langkah mengubah  nama PDI menjadi PDI Perjuangan pada tanggal 1 Februari 1999. Disahkan oleh Notaris Rakhmat Syamsul Rizal.

Dideklarasikan di Istora Senayan Jakarta pada tanggal 14 Februari 1999.Sekedar pengingat, Meski kerap orang menyebut PDIP, namun sejatinya dalam AD/ART Penyebutan partai moncong putih ini secara lafal dan penulisan haruslah tetap PDI Perjuangan.

Sejumlah 48 partai politik tercatat sebagai peserta pemilu 1999. PDI Perjuangan dengan nomor urut 11. Sementara PDI Soerjadi bernomor urut 32. Setelah mengalami nestapa politik era orde baru, PDI Perjuangan dengan gemilang keluar sebagai pemenang pemilu 199 dengan perolehan suara sebanyak 35.689.073 (33,74%).

Berhasil meraih 153 kursi DPR RI. Sementara Golkar berada di posisi kedua dengan perolehan suara 23.741.749 (22,44%) dengan 120 kursi DPR RI. PPP diurutan ketiga dengan suara sebesar 11.329.905 (12,55%). 

Sementara kemunculan Partai baru seperti PKB meraih 13.336.982 (12,61%), PAN 7.528.956 (7,12%), PBB 2.049.708 (1,94%), Partai Keadilan 1.436.565 (1, 36%), Partai keadilan dan Persatuan 1.065.686 (1,01%) dan partai politik lain hanya memperoleh suara dibawa 1 % saja.

Nama PDI Perjuangan seakan menjadi berkah bagi jajaran PDI. Menyusul terpilihnya Megawati sebagai Wakil Presidn RI mendampingai KH. Abdurrahman Wachid (Gus Dur).

Sebuah kebijakan organisasi yang menghendaki mekanisme konstitusional pun ditempuh oleh PDI Perjuangan. KOngres I pasca perubahan nama menjadi PDI Pejuangan dilaksanakan di Semarang JAwa tengah tahun 2000. sekaligus sebagai ajang konsolidasi.

Dinamika internal masih kuat terasa dengan munculnya nama pesaing Mega antara lain Dimyati Hartono dan Eros Djarot. Namun Massa arus bawah tetap menghendaki Megawati menjabat sebagai Ketua Umum sehingga kali kedua terpilih lagi melalui kongres I PDi Perjuangan.

Kongres ke II PDI Perjuangan tahun 2005 yang digelar di Bali tidak kalah seru. Kembali PDI Perjuangan diuji soliditasnya pasca meraih peluang di lingkar pemerintahan. Sesaat setelah pemilu 2004 yang menjadi momentum turunnya peringkat PDI Perjuangan keposisi kedua, Partai Moncong putihpun harus rela membuka lembaran baru sebagai partai oposisi.

Meski beruntung, riak-riak kecil pasca kongres II yang memunculkan Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP). Sebuah sempalan baru dibawah kepemimpinan Roy B.B Janis. Tak lama kemudian PDP karam akibat perpecahan antara Roy Janis dan Laksamana Sukardi.

PDI Perjuangan kini sudah 4 kali menyelengarakan kongres dan Megawati tetap bertahan dengan kepemimpinan yang belum terbantahkan.Megawati kini tidak lagi sendiri dalam mengelola partai.Terlebih  Setelah berhasil menorehkan sejarah sebagai Presiden Perempuan pertama Indonesia.

Megawati pun kian mantap menakhkodai partai yang telah banyak makan asam garam politik. Meski jika ditanya tentang rasa, ada pahit getir yang turut mewarnai pasang surut perjalanan PDI Perjuangan dulu hingga kini.

Sejak kongres I PDI Perjuangan, Megawati didampingi oleh pengurus DPP mengarungi biduk politik. Dari belasan pengurus hingga puluhan pengurus Pusat bergotong royong menjalankan laju politik menyesuaikan perkembangan zaman. Mereka yang pernah tercatat sebagai  anak zaman silih berganti melakukan regenerasi. 

10 Januari 2019

46 tahun Moncong Putih

S**

sumber bacaan AD/ART PDI Perjuangan

wikipedia.com

dan bacaan lain yang relevan dengan tema PDI -PDI Perjuangan