Dalam pidato bertajuk "Pidato Kebangsaan Indonesia Menang" di JCC, Jakarta, Senin malam 14 Januari 2019 lalu, Prabowo Subianto menyampaikan beberapa kritik kepada pemerintah saat ini. Di antaranya, Prabowo mengatakan bahwa kekuatan TNI kita saat ini lemah.
Prabowo mengatakan bahwa pemerintah terlalu menganakemaskan Polri saat ini. Secara kekuatan prajurit dan alutsista, TNI masuk dalam peringkat ke-15 di dunia, peringkat ke-7 di Asia dan peringkat ke-1 di Asia Tenggara.
Sungguh ironi, seorang mantan prajurit yang melemahkan kekuatan bekas institusinya di masa lalu yang bertolak belakang dengan catatan prestasi yang dimiliki oleh institusi tersebut. Ditambah lagi, Prabowo menuding pemerintah telah menganakemaskan Polri ketimbang TNI yang cenderung provokatif, bisa memicu kecemburuan di kalangan TNI dan rasa kesenjangan antara TNI dan Polri.
Tak hanya itu, Prabowo mengatakan bahwa tingkat kesejahteraan rakyat semakin terkikis hingga dokter pun banyak yang gajinya lebih kecil dari tukang parkir. Disayangkan, dalam pidato yang bertajuk hebat seperti itu, ucapan sang capres tidak dilampirkan dengan data yang akurat.
Prabowo juga mengatakan soal krisis air bersih yang dialami kabupaten Sragen saat ini. "Di Sragen, satu jam dari kota Solo, rakyat kesulitan air. Mereka menyampaikan ke saya, jangan kirim kaos, baliho dan spanduk, tolong kirim tangki-tangki air," ucapnya.
Prabowo mengatakan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meramalkan bahwa seluruh dunia pada tahun 2025 mendatang akan mengalami krisis air bersih. Ia mengaitkan krisis air bersih di Sragen yang sudah berlangsung lama dengan kota Solo yang notabene adalah kampung halaman petahana, sang rivalnya.
Kota Solo dan kabupaten Sragen jelas terpisah secara administratif. Jika kritikan disampaikan ke pemerintah pun harusnya melalui pemerintah daerah terkecil dulu yaitu bupati dan wakil bupati Sragen yang ternyata adalah kader Gerindra dan PKS. Kenapa tidak beliau sampaikan langsung?
Pola komunikasi kubu Prabowo Sandi sudah mulai membuat politisi lainnya jengah. Padahal, Amien Rais, salah satu tokoh senior di kubu mereka di salah satu ceramahnya mendikotomikan dua kubu pilpres saat ini sebagai koalisi partai Allah dan koalisi partai setan.
Berawal dari ijtima ulama yang dihelat untuk melekatkan label islami pada pasangan calon yang mereka gadang, meskipun akhirnya sang calon wakil presiden sebenarnya bukan nama yang mereka pilih, mereka terus menghembuskan bahwa jalan kebenaran ada pada kubu mereka.
PDIP sebagai salah satu bagian dari koalisi petahana sudah kenyang dengan berbagai tudingan yang dilemparkan ke arah mereka mulai dari isu PKI, isu anti Islam, mengusung capres boneka dan lain-lain. Pada akhirnya semua tuduhan itu tak berbukti dan akhirnya senyap. Tapi amunisi koalisi "partai Allah" ini tak pernah habis.
Pada sebuah orasi Neno Warisman dalam kampanye lapangan gerakan #2019GantiPresiden, disebut bahwa Jokowi dan pemerintahannya adalah pro LGBT, pelawan sunatullah, yang bisa mengancam degradasi moral penerus bangsa. Lagi-lagi tudingan itu tidak berbukti, hanya kutipan-kutipan ucapan yang disambung secara dipaksakan, dianalogikan dan diasumsikan seenak jidat mereka saja.
Sejak kampanye di pilpres sebelumnya, Jokowi dituding berpura-pura sebagai muslim yang diragukan kemampuan shalat dan mengajinya. Bahkan, pengucapan salam dan shalawat Jokowi secara Islam acap kali ditertawakan dan dianggap memaksakan diri. Padahal, Jokowi memang asli putra pribumi Jawa dengan logat kentalnya yang tak bisa dilepaskan dalam setiap pelafalan kata.
Kini, senjata makan tuan. Setelah pengakuan La Nyalla Mattaliti yang merupakan orang dekat Prabowo sejak lama membongkar bahwa keislaman Prabowo diragukan karena mengaji dan shalat saja tidak bisa, semua pihak pun geger menyoroti bagaimana ibadah Prabowo. Padahal, untuk soal ini saya kurang setuju.
Ibadah adalah urusan pribadi kita dengan sang khalik yang tidak pantas jadi konsumsi publik apalagi komoditas politik.
Ikatan Da'i Aceh pun mengirimkan undangan uji baca Al-Qur'an kepada kedua paslon Capres dan Cawapres. Wajar saja, mereka hidup bernafaskan Syariah Islam, apapun peraturan dalam ranah hokum, adat istiadat, kemasyarakatan bahkan Pendidikan semua dilandaskan aturan Islam.
Segala pertimbangan keputusan mereka ditimbang atas ridho Allah. Bukan hal aneh jika mereka mau memilih calon pemimpin negeri yang islami dengan mantap tanpa keraguan.
Kesucian partai-partai Allah pun kian lama diragukan. Betapa tidak, nyaris setiap personal koalisi ini pernah menyampaikan pesan kebohongan di muka publik. Tak perlu kita bahas bagaimana Prabowo dan Sandi yang ucapan bohongnya sudah jadi makanan sehari-hari buat media massa.
Yang saya soroti itu tim yang ada di belakangnya, termasuk para ulama yang mereka klaim adalah ulama pengayom mereka. Amien Rais sebagai salah seorang cendikiawan muslim, tokoh sentral organisasi Muhammadiyah, sering melontarkan istilah yang serampangan, terlalu jauh menuduh dan tidak berdasar. Ucapan Amien Rais cenderung membuat gaduh dan jauh dari kesan mendamaikan bangsa terutama pada suhu politik yang sedang panas saat ini.
Amien Rais menyebut jika Pilpres 2019 ini seperti dalam kisah Armagedon atau perang Baratayuda. Armagedon bermakna bencana besar, sementara Baratayuda dalam cerita pewayangan perang saudara.
Sekretaris Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf, Hasto Kristiyanto menilai jika Amien Rais tak paham soal konstitusi karena Indonesia merupakan negara yang cinta kedamaian dan secara gamblang tertuang dalam UUD 1945.
"Kalau ada pemimpin yang katakan demokrasi ini adalah perang, Baratayuda dan sebagainya, berarti dia tidak paham dengan konstitusi kita," kata Hasto. Saat mengkritik UU Migas No. 22/2001, Amien Rais juga menyebut Indonesia sebagai bangsa yang 'pekok' (bodoh).
Lain Amien, lain pula seorang Mardani Ali Sera. Saat menilai struktur Timses Jokowi Ma'ruf, Mardani mengatakan IQ komunal timses Jokowi-Ma'ruf tidak lebih dari 80. Semua hal bergantung kepada ketua, ketua dan ketua. Tudingan dan hinaan itu dengan ringannya diucapkan pimpinan PKS ini.
Suatu ketika Mardani juga pernah mengklaim bahwa Prabowo dan tim Kopassusnya adalah adalah orang pertama dari Indonesia yang mampu menaklukan gunung Everest. Ucapan Mardani ini dengan telak dibantah oleh orang Indonesia pertama penakluk gunung Everest yang sesungguhnya yaitu Clara Sumarwati, yang mendaki gunung Everest hingga puncaknya di tahun 1996.
Seorang ustad yang berada dalam naungan koalisi Prabowo-Sandi kerapkali membuat cuitan yang kontroversial, cenderung melontarkan tuduhan tak berdasar. Salah satu cuitan ustad Tengku Zulkarnain bahkan dilaporkan ke polisi. Itu adalah cuitan mengenai aksara mandarin yang digunakan dalam lembar kampanye seorang calon legislatif bernama Heriandi Lim. Berikut isi cuitan Ustad Tengku Zulkarnain tersebut:
"Ini adalah Lembar Kampanye Calon Legislatif. Pertanyaannya, dari Negara Manakah Para Caleg Ini...? Jika iIni Benar Lembar Kampanye dari NKRI, bagaimana Perasaan Anda Semua...? Senang kah...? Atau jengkel...? Monggo..."
Ternyata aksara Mandarin itu adalah nama sang caleg sendiri dalam tulisan Mandarin. Heriandi Lim sengaja menggunakan aksara mandarin untuk menarik konstituennya yang berasal dari Tionghoa. Sampai hari ini pelaporan kasus cuitan bernada provokatif dari ustad Tengku Zulkarnain ini masih diproses di kepolisian.
Selain ustad Tengku Zulkarnain adapula ustad Haikal Hassan dan ustad Gus Nur yang kini sudah menjadi tersangka sebuah kasus penghinaan terhadap NU. Ustad Haikal Hassan dalam ceramah-ceramahnya juga kerap kali melontarkan tuduhan tanpa bukti nyata.
Sungguh miris, Islam sebenarnya mengajarkan budaya tabayyun atau verifikasi atas setiap informasi yang kita terima. Islam pun tentunya mengharamkan berkata dusta kecuali pada kondisi tertentu yang dibolehkan oleh Rasulullah yang tentunya bukan termasuk untuk mengambil simpati rakyat dan menyerang lawan politik bahkan menjatuhkan nama baik pemimpin di negeri sendiri.
Koalisi partai Allah disangsikan justru menodai ajaran yang diperintahkan Allah. Disayangkan bahwa pendukungnya menutup mata dan telinga akan kebohongan-kebohongan yang disampaikan para politikus berjargon pro ulama ini.
Bahkan, saat ini ulama yang sejak awal vokal menyuarakan dukungan pada koalisi ini sekarang seperti senyap, tak terlihat gemblengan mereka akan anak binaannya yang makin menyimpang dari nilai kejujuran ini.
Saya sebagai muslim tidak rela agama saya hanya jadi kendaraan politik dan justru pengendaranya menodai citra Islam sendiri. Sudahlah, jangan kalian bawa agamaku dalam perang-perangan palsu! Berkontestasilah secara sehat akal nurani...!
"Jangan kau mudah terpesona oleh nama-nama. Kan kau sendiri pernah bercerita padaku: nenek moyang kita menggunakan nama yang hebat-hebat, dan dengannya ingin mengesani dunia dengan kehebatannya-kehebatan dalam kekosongan. Eropa tidak berhebat-hebat dengan nama, dia berhebat-hebat dengan ilmu pengetahuannya. Tapi si penipu tetap penipu, si pembohong tetap pembohong dengan ilmu dan pengetahuannya."
-Pramoedya Ananta Toer-
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews