Balada "Operasi Plastik", Pentas Teater yang Mengusir Ratna Sarumpaet dari Panggung

Kamis, 11 Oktober 2018 | 21:55 WIB
0
250
Balada "Operasi Plastik", Pentas Teater yang Mengusir Ratna Sarumpaet dari Panggung

Ratna Sarumpaet (Ratna) bukanlah seorang politisi. Aktivitasnya dari dulu adalah sebagai seniman. Ratna, yang terlahir 16 Juli 1949, di Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara.

Anak kelima dari 9 bersaudara ini, menjadi mualaf dan kemudian menikah dengan seorang pengusaha keturunan Arab, Achmad Fahmy Alhady. Dari hasil pernikahan itu, keduanya dikaruniai 4 anak, Mohammad Iqbal Alhady, Fathom Saulina, Ibrahim Alhady, dan Atiqah Hasiholan.

Ratna lebih memilih kesenian sebagai alat perjuangannya. Keberpihakannya pada orang-orang kecil dan marginal tak bisa diragukan lagi. Setiap karya yang dilahirkannya, selalu mengupas secara terbuka masalah-masalah kemanusiaan, kebenaran dan keadilan,serta mempertanyakannya secara frontal ke hadapan penguasa.

Tak diragukan, jika  dalam lima belas tahun terakhir, di tengah kesibukannya sebagai aktivis HAM dan kemanusiaan, sembilan naskah drama telah dihasilkannya, yang membuatnya dikenal di seantero jagat. Seluruh naskah itu ditulis berdasarkan kegelisahannya menghadapi kekuasaan yang cenderung menindas kaum kecil, dan kelompok minoritas.

 

Ratna Sarumpaet/https://today.line.me

Tak habis pikir, bakal calon presiden nomor urut 02 itu memecat Ratna dari tim pemenangan Prabowo-Sandiaga. Ratna Sarumpaet adalah bagian dari Tim Kampanye Nasional Koalisi Indonesia Adil Makmur yang mengusung Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Pemecatan ini dilakukan karena Ratna dianggap telah berbohong bahwa dirinya dianiaya sekelompok orang tak dikenal di sebuah kawasan bandar udara di Bandung.

 

Seperti diketahui dugaan penganiayaan terhadap Ratna Sarumpaet berawal dari twit akun Fadli Zon (@fadlizon), Rachel Maryam (@cumarachel) yang menampilkan wajah bengkak wanita yang disebut Ratna Sarumpaet. Selain dua akun kader Partai Gerindra tersebut, koordinator Jubir Tim Kampanye Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simanjuntak (@dahnilanzar), juga sibuk menyatakan dugaan penganiayaan itu.

Dari informasi penganiayaan yang viral itu, membuat Prabowo Subianto dan Amien Rais, menemui Ratna di kediamannya, dan dalam konferensi persnya Prabowo menyebut tindakan yang dilakukan terhadap Ratna melanggar HAM. Prabowo meminta aparat Kepolisian segera mengusut kasus tersebut dan menangkap para pelakunya.

 

Fadli Zon jenguk Ratna Sarumpaet/Merdeka.com

Viralnya pesan di media sosial soal penganiayaan tersebut, membuat polisi bergerak cepat. Namun, polisi tidak menemukan saksi yang mendengar langsung pengeroyokan yang disebutkan terjadi di Bandung. Penyelidikan terhadap ponsel Ratna menunjukkan bahwa dirinya ada di sekitar Jakarta dan tengah menjalani perawatan wajah di Rumah Sakit Bina Estetika. Atas kasus ini, polisi mengancam akan menjerat pidana siapapun penyebar berita palsu terkait penganiayaan.

 

Dengan bukti kepolisian yang begitu lengkap dan sulit untuk disangkal, Ratna pun akhirnya mengakui bahwa dirinya berbohong. Sontak pengakuan Ratna  mengagetkan seisi ruang panggung Koalisi Indonesia Adil Makmur. Bahkan, Koalisi ini seakan menganggap Ratna adalah penyusup yang sengaja dimasukkan kubu lawan ke dalam kubu Prabowo-Sandi. Duh!

Kok Begitu Mudahnya Dibohongi? 

Bagaimana sekiranya jika pihak kepolisian tidak melakukan penyelidikan secara serius. Tentu saja, berita penganiayaan yang menimpa aktivis #2019GantiPresiden itu, secara politis  menguntungkan Koalisi Prabowo-Sandi. Dengan kata lain, pihak Pemerintah, dalam hal ini Presiden inkumben Joko Widodo (Jokowi) akan disudutkan dengan viralnya berita penganiayaan wanita berusia 70 tahun itu.

Begitukah cara Koalisi Prabowo-Sandi melepas tanggung jawabnya atas penyebaran hoax? Bukankah berita hoax merek sendiri yang menyebarluaskannya?  Ratna Sarumpaet sendiri tidak mengatakan soal penganiayaan itu ke media. Seteah Ratna dipecat, Koalisi Prabowo-Sandi pun mempersilahkan Kepolisian untuk melakukan pengusutan lebih lanjut. 

Tak ada sedikitpun empati terhadap wanita tua berusia 70 tahunan itu yang sedari dulu mendukung perjuangan Prabowo melawan Jokowi. Bukankah antara Prabowo dan Ratna Sarumpaet, ayahnya sama-sama pernah menjadi menteri dalam Pemerintahan PRRI/Permesta yang pernah memberontak pada Pemerintahan Republik Indonesia dibawah Presiden Sukarno dan PM Djuanda.

Jika kita mau berandai-andai. Bisa jadi, Ratna enggan mengatakan dirinya telah melakukan operasi plastik di RS Bina Estetika. Mungkin, karena merasa sudah tua, jadi merasa malu jika harus berterus terang. Apalagi jika suaminya yang bertanya. Karen itu, RAtna juga tidak melaporkannya ke pihak Kepolisian, karena memang tidak ada yang harus dilaporkan.

Nah, masalahnya, kenapa berita soal wajahnya yang lebam harus disebarluaskan di sosial media, tanpa menanyakan lebih lanjut, atau bahkan memeriksanya lebih teliti. 

Semua orang tahu, Ratna Sarumpaet, adalah sosok pemberani, tegas, bahkan kalau berdebat tidak mudah untuk dikalahkan. Sebagai sosok yang keras, apa mungkin dia tidak melakukan perlawanan ketika dianiaya? Setidaknya, ada bagian tubuh lain yang terluka, misal tangan atau bagian tubuh lainnya. Di zaman Orba saja, Ratna berani menentang penguasa otoriter rezim Suharto, apa lagi sekarang! 

 

Cuitan Rachel Maryam/Tempo.co

Sangat mengherankan jika Prabowo tidak bisa membedakan antara lebam akibat pukulan dan lebam akibat operasi plastik. Bahkan, Hanum Rais yang seorang dokter, juga tidak bisa membedakannya. Dalam kicauan Twitternya, putri Amien Rais itu menyebut kapasitasnya sebagai dokter, meyakini Ratna Sarumpaet sebagai korban pemukulan.

 

Kita jadi ingat dengan Pilpres 2014 lalu, dimana ketika itu ada Tabloid Obor Rakyat yang sengaja disebar di beberapa wilayah  yang menjadi kantong-kantong pendukung Jokowi-JK. Isi berita Obor Rakyat cenderung mendiskreditkan bakal calon presiden Jokowi, dan cenderung fitnah atau hoax. Secara struktural, keberadaan Obor Rakyat bukan bagian dari Koalisi Prabowo-Hatta. Namun, akhirnya terbuka, bahwa Tabloid itu memang  diterbitkan untuk membantu koalisi Prabowo-Hatta. Belakangan yang muncul setelah Jokowi berkuasa, ada pabrik hoax Saracen, yang isi-isi pemberitaannya cenderung fitnah (black campaign) pada sosok Jokowi, dan ada lagi nama yang mengakui sebagai MCA (Muslim Cyber Army). Semuanya pun dijerat oleh pihak Kepolisian.

Jadi, jika kita kaitkan dengan Pilpres 2014 lalu, sepertinya koalsisi yang dibngun Prabowo tidak bisa dilepaskan dengan hoax. Selalu ada hoax yang digunakan untuk menyerang lawan politiknya, baik langsung maupun tidak langsung. 

Bayangkan, ketika Jokowi tengah disibukkan dengan aktivitas yang tak henti-hentinya, mulai dari Asian Games, gempa di Lombok, dan kini gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, rival politiknya bukannya memperlihatkan rasa empatinya, tapi justru melakukan hal-hal yang jauh dari yang diharapkan. Bahkan, ketika Dollar naik atas Rupiah, tak sedikit elite kubu Prabowo-Sandi ikut mempolitisasinya.  

Sekali lagi, Ratna Sarumpaet adalah seorang seniman. Jadi, dia tidak fasih untuk berbohong. Kebohongannya akan mudah tercium. Sikap pembelaannya pada masyarakat kecil mungkin yang membuat dirinya mau mendukung Koalisi Indonesia Adil Makmur yang mengusung Prabowo-Sandi. Namun, sepertinya dengan apa yang terjadi pada dirinya, koalisi ini yang seakan lepas tangan begitu saja, membuat dirinya berpikir bahwa koalisi Prabowo Sandi ini ibarat koalisi pembohong, tak punya empati. Koalisi yang tak menghargai perjuangan nenek 70-an tahun ini. Apalagi, koalisi ini terbentuknya tak bisa dilepaskan dengan isu kardus berisi uang untuk dua partai pendukung. 

Sumber: KOMPASIANA