Kaidah Moderasi Agama

Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai Islam Wasathiyah itu kaidahnya tiada lain adalah Islam yang dalam ekspresi publiknya menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.

Selasa, 6 Agustus 2019 | 06:44 WIB
0
285
Kaidah Moderasi Agama
Soekarno (Foto: Nusantaranews.com)

Pada pidato kelahiran Pancasila, 1 Juni 1945, Bung Karno menyatakan “Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’.”

Kesadaran bahwa moral ketuhanan harus merembesi dasar negara menyiratkan sikap kejiwaan yang berbeda dengan perkembangan nasionalisme di Eropa. ”Dalam pengalaman Eropa,” tulis Rupert Emerson (1960), ”munculnya nasionalisme (sekular) berbarengan dengan pudarnya pengaruh agama. Di bagian dunia yang lain, seperti Asia, ketika nasionalisme ’bergerak’ dan menyelimuti wilayah-wilayah ini, isu agama juga bergerak maju.”

Dalam lintasan sejarah Nusantara, agama tidak pernah sekadar mengurusi urusan pribadi, tetapi juga terlibat dalam urusan publik. Masyarakat kepulauan ini pun tidak pernah berpengalaman sepahit Eropa dalam hal keterlibatan agama di wilayah politik. Lebih dari itu, penyemaian sekularisasi politik oleh rezim kolonial berjalan secara simultan dengan peran publik agama dalam mengobarkan gerakan perlawanan dan kebangkitan nasional.

Kendati demikian, sejarah Indonesia juga memang menghadirkan aspirasi-aspirasi ideologis yang bersifat ekstrem. Di satu sisi terdapat fundamentalisme religius radikal yang menghendaki Islamisasi negara secara total dalam wujud negara Islam atau bahkan kekhalifahan Islam.

Di sisi lain, ada juga aspirasi sekular radikal yang menghendaki pemusnahan agama dari ruang publik. Namun, kedua arus radikal ini sejauh ini dapat dilunakkan oleh mayoritas tengah yang bersifat hibrid. Keragaman internal dalam agama-agama, khususnya Islam di Tanah Air ini, menyulitkan terbentuknya representasi agama yang monolitik serta memberi mekanisme bawaan bagi proses moderasi.

Namun, dalam perkembangan akhir-akhir ini, tendensi disensus dan konfrontasi di ruang publik cenderung menguat. Memberi kebebasan pada lebah-lebah (individu) untuk terbang tinggi itu ternyata tidak bisa dilakukan dengan jalan membakar sarang lebah. Sejauh apa pun lebah terbang, akan kembali jua ke sarang bersama.

Rumah bersama ini hanya bisa dipertahankan dengan memoderasikan anasir-anasir ekstremitas dengan menguatkan kembali fundamen moral publik sebagai basis konsensus. Bahwa apapun bentuk pengorganisasian politik yang hendak kita jalankan, suatu entitas politik (kebangsaan multikultural) hanya bisa dipertahankan sejauh memiliki modal sosial.

Modal jaringan-jaringan konektivitas dan inklusivitas sosial yang mampu menyatukan keragaman kepingan-kepingan kepentingan pribadi dan kelompok ke dalam suatu komunitas persaudaraan bersama, yang menjadi tumpuan rasa saling percaya (mutual trust).

Untuk menjadi kekuatan kolektif yang kohesif, konektivitas dan inklusivitas ini harus diikat oleh kesamaan basis moralitas (shared values). Dalam konteks
Indonesia, nilai-nilai moral publik sebagai ikatan kebersamaan itu terkristalisasi dalam Pancasila.

Ditinjau dari sudut moral keislaman, kelima nilai Pancasila itu sesungguhnya memiliki semangat moral yang selaras dengan tujuan syariah Islam (maqashid al-syariah), yakni mewujudkan kemaslahatan manusia dengan memuliakan nilai agama (sila pertama), nyawa (sila kedua), keturunan (sila ketiga), akal/kebijaksanaan (sila keempat), dan harta (sila kelima).

Dalam konteks historis kebangsaan Indonesia yang multiagama dan keyakinan, nilai ketuhanan sebagai salah satu landasan moral publik itu masih harus direkonsialiasikan. Tuhan (keyakinan keagamaan) yang berbeda bisa melahirkan keragaman komunitas moral, yang menyulitkan integrasi nasional.

Untuk mengatasinya, dalam Pancasila, nilai ketuhanan itu ditransendensikan dari partikularitas keagamaan (tribal-communal god) menuju nilai universal agama-agama (universal god). Titik temunya ada pada “kaidah emas” (golden rule), yakni ketuhanan yang welas-asih (rahman-rahim), yang memijarkan semangat rahmatan lilalamin.

Dengan kata lain, kehendak untuk bersatu dan harmoni dalam perbedaan bisa diraih manakala kita mampu mengembangkan hubungan welas asih dengan “Yang Mahasuci”, yang memancarkan semangat ketuhanan yang berkebudayaan, lapang dan toleran; welas asih dengan sesama manusia, yang memancarkan semangat kemanusiaan yang adil dan beradab; welas asih dalam hubungan manusia dengan ruang hidup (tanah air) dan pergaulan hidupnya (kebangsaan), yang memancarkan semangat persatuan dalam keragaman bangsa.

Dengan spirit Ketuhanan, kemanusiaan dan persatuan, demokrasi dan pemerintahan dijalankan dengan cita permusyawaratan dan keadilan sosial demi mewujudkan kemaslahatan perikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Singkat kata, pengembangan Pancasila harus berterima kasih kepada kontribusi agama-agama, yang nilai-nilai universalnya menjadi sumber pengisian moral publik. Sebaliknya, nilai Pancasila bisa menjadi ukuran bagaimana moral agama seharusnya dibumikan dalam kenyataan historis masyarakat multiagama.

Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai Islam Wasathiyah itu kaidahnya tiada lain adalah Islam yang dalam ekspresi publiknya menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.

Yudi Latif,
Direktur Sekolah Pancasila

***

Keterangan: Tulisan telah dimuat di Gatra, Edisi Khusus Lebaran 2019