Emosi Demokrasi

Yang kita butuhkan adalah demokrasi yang waras. Emosi jelas diberi ruang. Namun, emosi keras yang meletup menjadi konflik berkepanjangan jelas harus dicegah.

Senin, 30 September 2019 | 09:13 WIB
0
229
Emosi Demokrasi
Ilustrasi (Foto: Rumahfilsafat.com)

Minggu-minggu terakhir September 2019, banyak mahasiswa kerap bertanya. Bagaimana pandangan bapak soal demonstrasi mahasiswa di berbagai kota belakangan ini? Komentar saya sederhana.

Isu yang diperjuangkan kali ini sangat berbobot. Mahasiswa harus punya pengalaman berdemo, dan kali ini, kalian harus aktif terlibat. Namun, hati-hati, karena banyak pihak busuk yang menunggangi demo, mulai dari preman pesanan, sampai dengan kepentingan asing berbau radikalisme agama.

Mereka pun merasa bersemangat, dan bertanya soal macam-macam hal, mulai dari politik nasional sampai dengan kesehatan mental. Satu hal yang menjadi kunci demonstrasi mahasiswa belakangan ini adalah soal keadilan. Mereka merasa, banyak undang-undang baru merusak rasa keadilan, baik di ranah publik sampai dengan ranah privat. Sebaliknya, undang-undang yang mendesak justru lambat untuk diresmikan.

Memang bukan rahasia lagi, bahwa parlemen Indonesia merupakan salah satu lembaga yang paling bermasalah sekarang ini. Anggota dan staffnya dipenuhi korupsi, kolusi dan nepotisme, bahkan sejak masa kampanye serta pemilihan. Mutu mereka pun jauh dari memadai. Tak heran, undang-undang yang keluar pun bermutu amat rendah.

Di kesempatan lain di minggu yang sama, saya ikut serta dalam acara internasional yang melibatkan empat negara termakmur di dunia (Denmark, Swedia, Finlandia dan Norwegia). Mereka adalah simbol keberhasilan pemerintah mengelola sumber daya yang ada, sehingga bisa mencapai keadilan dan kemakmuran untuk warganya. Mereka adalah negara demokrasi dengan tata kelola yang hampir sempurna. Saya pun menyempatkan diri untuk membaca sejarah negara-negara tersebut.

Keadilan dan kemakmuran yang mereka rasakan sekarang adalah hasil perjuangan panjang. Kelas pekerja mendesak parlemen dan penguasa untuk bersikap solider dan adil dalam semua hal. Partai buruh menjadi begitu kuat, dan menguasai parlemen untuk waktu yang lama. Kebijakan yang mereka keluarkan pun bersifat terbuka, yakni untuk kepentingan semua warga, dan bukan kepentingan segelintir orang semata.

Acara sore itu sempat tercoreng. Seorang pejabat tinggi Indonesia memberikan pidato pendek. Isinya data statistik dan permohonan untuk investasi lebih banyak di Indonesia. Walaupun pejabat tinggi, namun mental pengemis tetap tak bisa dihapus begitu saja.

Keadilan dan Kemakmuran

Perjalanan tata kelola politik adalah perjalanan untuk mewujukan keadilan dan kemakmuran untuk semua. Untuk mencapai itu, semua negara harus berhadapan dengan mafia busuk yang berkedok politikus, pemerintah, ataupun wakil rakyat. Itu adalah fase penting yang amat menentukan masa depan sebuah bangsa. Jika gagal, maka negara tersebut akan menjadi negara gagal (failed state).

Indonesia kini berada di fase itu. Masa depan kita sebagai bangsa dipertaruhkan. Apakah kita akan menjadi negara gagal yang tak mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan pada rakyatnya? Atau, kita bisa mewujudkan tata politik yang baik dan adil untuk semua warga? Apakah kita akan menjadi negara yang miskin dan terbelakang, atau makmur dan terbuka?

Demokrasi memainkan peranan penting dalam proses ini. Ia adalah sistem pemerintahan yang paling mungkin untuk membawa sebuah negara menuju keadilan dan kemakmuran.

Demokrasi jelas tak sempurna, karena memang tak ada sistem politik yang sempurna. Namun, bentuk pemerintahan yang lain, seperti monarki, justru berpeluang amat besar untuk disalahgunakan.

Demokrasi membutuhkan kesabaran. Demokrasi membutuhkan kepemimpinan dan keterampilan berorganisasi. Yang menjadi sasaran demokrasi memang legitimasi dan keadilan, bukan efisiensi buta yang kerap melahirkan ketidakadilan. Keduanya berakar pada keterlibatan aktif dari semua kelompok masyarakat.

Kesabaran inilah yang kiranya kurang dewasa ini. Kita memang hidup di jaman serba cepat. Semua hal mau dikerjakan dengan cepat, kerap dengan hasil seadanya. Tak heran, demokrasi kini mengundang banyak emosi.

Emosi Demokrasi

Ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan. Pertama, emosi meluap di dalam demokrasi akan mendorong konflik. Rakyat akan berkonflik dengan pemerintah. Kelompok yang satu akan berkonflik dengan kelompok yang lainnya. Hidup bersama pun akan terasa menyiksa.

Dua, konflik yang keras dan berkepanjangan jelas buruk untuk ekonomi. Jalur transportasi dan komunikasi terhalang. Proses produksi juga terhambat. Konflik yang keras dan berkepanjangan juga buruk untuk hubungan ekonomi dengan negara lain.

Tiga, ini yang kerap terjadi di Indonesia. Konflik ditunggangi pihak asing untuk memecah belah bangsa. Pengaruh asing dari Timur Tengah dan Barat kerap memperpanas keadaan.  Perang di Suriah menjadi contoh nyata, bagaimana pengaruh asing melahirkan perang saudara yang berdarah dan berkepanjangan.

Empat, emosi yang meletup berkepanjangan di dalam demokrasi akan melahirkan anarki. Tatanan hancur. Manusia pun melorot ke sikap-sikap barbarnya yang rakus dan merusak. Indonesia sudah kenyang dengan pengalaman kekacauan semacam ini. Tak ada yang menginginkan kekacauan berkepanjangan di dalam hidup bersama.

Mewujudkan Demokrasi yang Waras

Yang kita butuhkan adalah demokrasi yang waras. Emosi jelas diberi ruang. Namun, emosi keras yang meletup menjadi konflik berkepanjangan jelas harus dicegah. Jangan sampai emosi menutupi kewarasan, dan merugikan semua pihak.

Pertama, Indonesia harus belajar berpolitik dengan melampaui kepentingan sempit. Partai-partai politik punya kepentingan. Militer dan polisi punya kepentingan. Pebisnis juga punya kepentingan. Semuanya harus dikelola dengan tepat, sambil tetap memperhatikan rasa keadilan dan kesejahateran masyarakat luas.

Dua, Indonesia tak boleh menjadi banci investasi. Kita menjadi pelacur yang mengemis negara lain untuk investasi, sambil melupakan kemampuan kita sendiri, serta berbagai resiko yang bisa terjadi, mulai dari kerusakan alam, pelanggaran HAM dan sebagainya. Investasi punya resiko politik yang luas. Jangan sampai kedaulatasn, keadilan dan kemakmuran dijual demi investasi yang kerap kali hanya dikorupsi oleh mafia-mafia busuk.

Tiga, sebagai bagian dari tata kelola pemerintahan yang baik, prestasi nyata harus lebih tinggi daripada kedekatan pribadi. Sudah terlalu lama budaya organisasi di Indonesia, baik politik ataupun swasta, tenggelam dalam kolusi dan nepotisme. Ini tidak hanya menghambat kinerja berbagai organisasi, tetapi juga menganggu rasa keadilan. Budaya semacam ini tak akan menghasilkan kinerja bermutu yang dibutuhkan untuk kemajuan.

Empat, tentang pengaruh asing dan pengaruh radikalisme, institusi keamanan di Indonesia harus cepat tanggap. Paradigma reaktif harus berubah menjadi responsif. Artinya, semua gejala dipantau sedini mungkin, lalu ditindak segesit mungkin. Jika ancaman keamanan dibiarkan terlalu lama, maka ia akan berkembang dengan daya rusak yang lebih besar.

Pada akhirnya, demokrasi memang tak lepas dari emosi. Dorongan untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran bersama kerap bermuara pada frustasi. Namun, harapan sebenarnya selalu ada, selama rakyat masih peduli, dan mau terlibat dengan berbagai cara. Demokrasi dibalut dengan emosi, namun dikelola dengan sikap waras, kiranya akan berbuah manis di kemudian hari.

***

Reza AA Wattimena