Soal Quick Count, Pilpres 2019 Lebih Baik dari Pilpres Sebelumnya

Publikasi quick count yang ditayangkan setelah pemungutan suara di zona waktu WIB berakhir tidak mempengaruhi pilihan masyarakat.

Minggu, 21 April 2019 | 21:27 WIB
0
297
Soal Quick Count, Pilpres 2019 Lebih Baik dari Pilpres Sebelumnya
Ilustrasi Quick Count (Foto: BBC.com)

Hasil hitung cepat atau quick count Pilpres 2019 sudah hampir final. Sejumlah lembaga survey tanah air telah memproses lebih dari 90 persen data yang diterimanya. Litbang Kompas, misalnya, sudah merilis 99.95 persen data yang diprosesnya. Hasilnya, Jokowi-Amin Ma’ruf berhasil meraih 54,43 persen suara, sementara Prabowo Subianto-Sandiaga Uno hanya mampu meraup 45,57 persen suara.

Hasil hitung cepat versi Litbang Kompas ini bisa dibilang sebelas-dua belas dengan hasil quick count sejumlah lembaga survey lainnya.

Karuan saja, rilis hitung cepat yang menempatkan pasangan nomor urut 01 sebagai pemenang Pilpres 2019 tersebut membuat berang kubu lawannya. Ujung-ujungnya, Koalisi Aktivis Masyarakat Anti Korupsi & Hoaks (KAMAKH) melaporkan enam lembaga survei yang merilis quick count hasil Pilpres 2019 ke Bareskrim Polri. Keenamnya adalah Indo Barometer, CSIS, Charta Politika, Poltracking, SMRC dan LSI Denny JA.

Alasannya, menurut KAMAKH, keenam lembaga survey tersebut diduga melakukan tindak pidana kebohongan publik dan melanggar Pasal 28 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Kisruh hasil survey, termasuk rilis quick count, sebenarnya sudah terjadi sejak Pemilu 2009.  Ketika itu quick count sudah  ditayangkan TV One pada pukul 10.45 WIB atau pukul 12.45 WIT. Sementara, di waktu hampir bersamaan, Metro TV menyiarkan exit poll.

Tapi, tayangan di kedua stasiun berita tersebut kemudian dihentikan sekitar pukul 11.15 WIB atau hanya beberapa menit setelah penayangannya. Penghentian itu dilakukansetelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) meminta agar stasiun televise menunda penayangannya tujuannya agar opini publik tidak terpengaruhi.

Permintaan penghentian oleh KPU tersebut tersebut dilayangkan setelah tayangan quick count dan exit poll tersebut dikecam banyak pihak. Seniman Sujiwo Tejo yang menjadi narasumber di acara itu menyatakan bahwa lebih banyak bebek dibandingkan elang. Jadi dikhawatirkan quick count akan mempengaruhi perilaku pemilih yang hendak mencontreng alias jadi membebek.

Prabowo Subianto yang ketika itu maju sebagai cawapres pendamping capres Megawati Soekarnoputri menyebut hasil quick count tidak valid dan tidak bisa dijadikan acuan hasil pilpres.

"Hasil quick count itu tidak valid. Semua saksi agar tidak terpengaruh pembentukan opini secara dini. Baru satu jam sudah ada yang menang, ini skenario untuk menyesatkan Pemilu. Kami menyayangkan stasiun TV yang berpihak. Kami mengingatkan pada para pemilik stasiun TV hal ini tidak bertanggung jawab," kecam Prabowo.

Tayangan hitung cepat selagi waktu pencoblosan masih berlangsung memang merupakan bentuk kejahatan besar dalam demokrasi. Sebab, tayangan tersebut bisa diartikan sebagai propaganda kepada calon pemilih yang belum nyoblos.

Bentuk propaganda tersebut terkait erat dengan kampanye ”Pilpres Satu Putaran Saja” yang digelar digelar CEO Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA beberapa bulan sebelum hari H Pilpres 2009.

”Pilpres Satu Pu­taran Saja” lewat aneka aneka me­dia, seperti koran, TV, dan radio, ditambah lagi dengan span­duk, pos­ter dan stiker jelas merupakan bentuk kampanye untuk memenangkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.

Tetapi, sebenarnya tidak ada yang salah dengan tayangan quick count ataupun exit poll pada Pilpres 2009. Sebab, exit poll memang sudah bisa dirlis hanya sekitar setengah jam setelah TPS dibuka. Sementara, hitung cepat sudah dibisa diumumkan setelah TPS sampel ditutup.

Karenanya, di Indonesia, hasil exit poll sudah bisa dipublikasikan  pukul 05.30 WIB. Sedangkan, rilis quick count sudah bisa disiarkan sekitar pukul 11.30 WIB (dengan asumsi tahap penghitungan suara di TPS sampel di Indonesia Timur selesai pada pukul 13.30 WIT atau 11.30 WIB.

Dari segi hukum pun, tayangan exit poll dan quick count tidak menyalahi aturan. Lantaran, sesuai PUTUSAN Nomor 98/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi (MK) tidak melarang publikasi survei atau jajak pendapat di hari tenang dan pengumuman hasil quick count. Putusan tersebut diambil MK setelah Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia dan Direktur Yayasan Lembaga Survei Nasional melayangkan judicial review atas Pasal 188 UU Nomor 42 tahun 2008.

Isi pasal yang digugat tersebut berbunyi, “Hasil survei atau jajak pendapat tidak boleh diumumkan dan/atau disebarluaskan pada masa tenang”.

Alasan MK mengabulkan judicial review karena menilai Pasal 188 UU Nomor 42 tahun 2008 melanggar Pasal 28 F UUD 1945 yang menegaskan ,“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Pelarangan publikasi segala jenis survei di hari tenang ini juga dinilai MK melanggar kebebasan warga negara untuk menyampaikan pendapatnya mengenai kesiapan pemilih menghadapi pemilu yang dijamin pasal 28E ayat 3 UUD 1945. Pasal ini menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”

MK yang ketika itu diketuai Mahfud MD menyatakan jajak pendapat atau survei maupun quick count hasil pemungutan suara dengan menggunakan metode ilmiah adalah suatu bentuk pendidikan, pengawasan, dan penyeimbang dalam proses penyelenggaran negara termasuk pemilihan umum.

MK memang tidak bisa menolak judicial review tersebut. Terlebih hak masyarakat untuk tahu (rights to know) dan kebebasan untuk memberikan atau menyampaikan informasi (freedom of information) merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM).  

Akan tetapi, apapun itu, seperti yang ditulis dalam artikel “Quick Count Dibebaslepaskan, MK Lupa Buruknya Pemilu 2009” yang ditayangkan pada 4 April 2014  , rilis quick count dan juga exit poll memang harus diatur alias tidak bisa dibebaslepaskan.

Dan, tidak seperti dua pemilu sebelumnya, pada pemilu 2019 ini, MK menguatkan aturan di Undang-undang Pemilu bahwa quick count baru bisa dipublikasikan dua jam setelah pemungutan suara di zona Waktu Indonesia Bagian Barat (WIB) berakhir.

Jadi, jelas pelaksanaan Pemilu 2019 jauh lebih baik dari pemilu-pemilu sebelumnya. Di mana MK tidak lagi membebaskan penayangan hasil quick count mau pun exit poll. Dengan ditayangkannya hasil hitung cepat setelah pemungutan suara di zona waktu WIB berakhir, maka tayangan quick count tidak bisa lagi dicap sebagai propaganda atau mengarahkan pemilih untuk nyoblos pasangan yang oleh rilis quick count dinyatakan sebagai pemenang Pilpres 2019.

Karena sikap MK tersebut, lembaga survei yang menayangkan hasil gaweannya setelah dua jam setelah pemungutan suara di zona Waktu Indonesia Bagian Barat (WIB) berakhir tidak bisa dipidanakan.

Sementara, tuduhan jika lembaga survey melakukan tindak pidana kebohongan publik hanyalah tudingan nyeleneh dan sulit dibuktikan, sebab quick count hasil pemungutan suara menggunakan metode ilmiah yang telah teruji keakuratannya. Kecuali bila pelapor mampu membuktikan adanya penyimpangan atas metodologi quick count yang dilakukan oleh pihak terlapor. Dengan demikian, tudingan keenam lembaga survey tersebut melanggar Pasal 28 UU No. 11/2008 secara otomatis gugur dengan sendirinya.

Singkatnya, terkait penayangan hasil quick count, kualitas Pemilu 2019 jauh lebih baik dari Pemilu 2009 dan Pemilu 2014. Kalaupun ada sejumlah pihak yang mempersoalkannya, sikap tersebut tidak lebih dari luapan kekecewaan yang pastinya tidak didasari oleh nalar sehat.

Lagipula, bagi lembaga survey, rilis quick count merupakan adu gengsi. Jadi sangat tidak masuk akal bila lembaga survey memainkan hasil penelitiannya hanya demi menyenangkan salah satu pasangan calon.

Di luar itu semua, publikasi quick count pada Pemilu 2019 yang ditayangkan setelah pemungutan suara di zona waktu WIB berakhir sama sekali tidak mempengaruhi pilihan masyarakat.

***