Meski Penggeraknya Bilang Damai, Aksi 22 Mei Potensial Mengarah ke Rusuh

Karena sudah pasti tuntutan memenangkan Prabowo-Sandiaga tidak mungkin dipenuhi dan mereka tidak mau ke MK, apa yang diharapkan dari mobilisasi massa ke KPU?

Senin, 20 Mei 2019 | 03:22 WIB
0
680
Meski Penggeraknya Bilang Damai, Aksi 22 Mei Potensial Mengarah ke Rusuh
Riots, ilustrasi [ft.com]

Aksi 22 Mei, jika terjadi alamiah karena ketidakpuasan rakyat, tidak akan berkembang menjadi huru-hara sebab tidak banyak yang terlibat. Cerita jadi lain jika ada keterlibatan dana besar-besaran untuk memobilisasi massa dan pengkondisian huru-hara di ibu kota.

Sebuah video di grup whatsapp menayangkan, di markas para pendukung Prabowo, seorang pensiunan jendral Polri berorasi. Ia mengklaim Prabowo memenangkan pilpres dan telah dicurangi sehingga kalah. Ia mengajak pendukung Prabowo berunjukrasa.

Si pensiunan jenderal itu meyakinkan para pendukung Prabowo yang hadir agar jangan takut terlibat di dalam unjukrasa 22 Mei asalkan melakukannya dengan damai. Ia menjamin, senjata yang digenggam pasukan polri yang menjaga unjukrasa bukan untuk menembak pengunjukrasa. Berunjukrasa adalah hak asasi.

Saya terharu mendengar orasi bekas petinggi Polri ini. Betapa berubah dirinya kini, menjadi orang yang menghargai hak-hak sipil warga negara. Ah, rupanya ketika pensiun, orang-orang berubah paham demokrasi dan konstitusi.

Tetapi si pensiunan jenderal Polri ini tampaknya terlalu lugu. Begitu saya sangka. Saya singkirkan dugaan ia sedang membohongi rakyat. Bagaimana ia bisa sedemikian yakin unjukrasa nanti akan berlangsung damai? Tidakkah ia paham jika damai atau tidaknya sebuah unjukrasa itu bergantung intensinya?

Unjukrasa yang bertujuan mengkampanyekan isu atau tuntutan biasanya bersifat damai, seberapapun besarnya masa yang terlibat. Jika pun ada sedikit benturan antara pengunjukrasa dengan aparat, aksidental saja sifatnya. Biasanya karena aparat reaksioner.

Ketika unjukrasa bertujuan mengkampanyekan suatu tuntutan, yang ditargetkan adalah merebut ruang wacana, publikasi. Harapannya akan lebih banyak orang mengerti apa yang dituntut, mendukung, dan kelak bersama-sama berjuang dalam barisan massa lebih besar dan lebih besar lagi.

Pada ujungnya, dalam jangka panjang, diharapkan otorita (pemerintah atau DPR) terpaksa menerbitkan kebijakan yang dituntut massa atau membatalkan kebijakan yang ditolak.

Aksi-aksi unjukrasa yang bersifat karnival atau parade, seperti unjukrasa Hari Hak Asasi Manusia (10 Desember), Hari Perempuan Internasional (8 Maret), Hari Tani (24 September), dan Hari Buruh (1 Mei) biasanya bertujuan mengkampanyekan tuntutan-tuntutan. Para penggeraknya paham bahwa butuh rangkaian unjukrasa  dalam waktu panjang untuk mempengaruhi sikap pengambil kebijakan.

Banyak pula unjukrasa yang diadakan dengan target tuntutan harus terpenuhi saat itu juga, dalam waktu sesingkat-singkatnya. Unjukrasa yang seperti ini sering di-setting agak keras. Banyak metode untuk itu, misalnya bakar ban, menjebol gerbang gedung DPR, blokade jalan raya, dan pendudukan gedung pemerintahan. Contohnya unjukrasa menolak pengurangan subsidi harga BBM di masa lampau.

Aksi-aksi keras seperti ini memang sengaja dibuat agar pemerintah mau menuruti kehendak rakyat. Jikapun terjadi bentrokan, sifatnya terbatas, tidak meluas dan mudah reda.

Yang terakhir adalah unjukrasa yang memang ditujukan untuk mengambilalih kekuasaan. Karena tujuannya kekuasaan dan peralihan kekuasaan itu melalui desakan rakyat, disebutlah unjukrasa yang demikian sebagai people power. Rakyat yang punya kuasa menurunkan pemerintahan yang sedang berkuasa.

Unjukrasa yang berkonteks people power dalam sejarah selalu berpuncak pada riots. Saya gunakan istilah riots  untuk hura-hara sosial berlatarbelakang protes politik.

Saat riots meletus, bukan cuma pengunjukrasa dan aparat keamanan yang berbenturan di lapangan. Riots senantiasa diwarnai aksi-aksi tak terpimpin, anarkis, menyeret serta rakyat luas yang melakukan pembakaran dan penjarahan, baik fasilitas publik, pun—yang disayangkan—properti pribadi milik golongan masyarakat yang dipandang diuntungkan oleh kekuasaan yang ada.

Di Indonesia riots terjadi pada 1998, kemudian dikenal sebagai kerusuhan Mei 1998, 13-15 Mei.

Aksi protes keputusan KPU 22 Mei 2019 nanti  sangat mungkin berkembang menjadi riots. Bahkan logisnya memang di-setting menjadi riots.

Mengapa begitu?

Sebab ini bukan aksi protes biasa; bukan dilaksanakan agar otoritas terkait mau mendengar dan mempertimbangkan tuntutan pengunjukrasa.

Jika penggerak aksi 22 Mei cuma bermaksud menyampaikan tuntutan agar didengarkan dan dipertimbangkan otoritas, mereka akan mengajukan sengketa pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Dengan begitu aksi unjukrasa berfungsi sebagai tekanan agar MK bertindak adil dalam mengadili sengketa pilpres.

Dengan tidak mengajukan sengketa ke MK, maka unjukrasa 22 Mei memang ditujukan untuk memaksakan kehendak. Karena kehendak menjadikan Prabowo-Sandiaga sebagai Presiden-Wakil Presiden tak berdasar sama sekali, para penggerak unjukrasa 22 Mei seharusnya tahu bahwa tuntutan mereka mustahil dipenuhi dengan cara damai.

Tentu saja tuntutan menjadikan Prabowo-Sandiaga presiden terpilih sama sekali tak berdasar. Hingga saat ini tak ada tuduhan kecurangan signifikan dalam pilpres yang dilontarkan kubu Prabowo-Sandiaga disertai bukti-bukti.. Yang mereka sampaikan hanya kekeliruan input data dalam Situng KPU. Situng tidak berarti apa-apa selain publikasi informasi sementara kepada publik.

Sekalipun dalam Situng tertulis Jokowi-Amin menang 100 persen, tak ada pengaruhnya bagi keputusan rapat pleno rekapitulasi KPU. Itu karena yang digunakan KPU dalam rapat rekapitulasi adalah dokumen fisik hasil perhitungan tingkat TPS, rapat pleno tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga nasional.

Saksi-saksi tim Prabowo-Sandiaga hadir dalam rapat pleno rekapitulasi tiap-tiap tingkatan dan menyetujuinya. Barulah pada beberapa hari terakhir ada gerakan agar saksi-saksi Prabowo tidak turut menandatangani. Itu bukan karena mereka melihat ada kecurangan melainkan karena mendengar instruksi dari pusat agar bertindak demikian.

Jika ada kasus dugaan kecurangan yang tidak bisa diperbaiki dalam tingkatan-tingkatan rapat Pleno, kubu Prabowo-Sandiaga memiliki fasilitas untuk membawa sengketa itu ke MK. Mereka memutuskan tidak membawanya ke MK karena memang tidak cukup bukti bagi tudingan mereka. Mereka tidak memiliki cukup bukti karena memang apa yang mereka tuduhkan itu tidak terjadi.

Alasan mereka bahwa MK tidak bisa dipercaya adalah omong kosong paling lucu. Jika jujur mereka menilai demikian,  seharusnya untuk pileg pun kubu Prabowo-Sandiaga tidak akan membawa sengketa ke MK. Nyatanya Jubir Gerindra Andre Rosiade menginformasikan akan membawa sengketa pemilu di tiga provinsi (kasus 1-2 kecamatan) ke MK.

Baca "Tak Cuma di Koalisi, di Internal Gerindra pun Kalang-kabut "Mbili-mbolot" untuk kejelasan tentang ini.

Sejatinya kubu Prabowo-Sandiaga tahu bahwa Jokowi-Ma’ruf memang memenangkan pilpres. Itu sebabnya PAN dan Partai Demokrat baik secara tegas pun dengan bahasa malu-malu telah menunjukkan penerimaan hasil pilpres. Hanya segelintir orang yang Andi Arief sebut Setan Gundul yang membisiki Prabowo agar mau menempuh langkah-langkah di luar mekanisme undang-undang: menggerakkan massa.

Nah, karena sudah pasti tuntutan memenangkan Prabowo-Sandiaga tidak mungkin dipenuhi, dan kubu Prabowo-Sandiaga tidak mau bersengketa di MK, apa yang diharapkan dari mobilisasi massa ke KPU?

RIOTS! Ya, riots mungkin akan menyebar dari bentrokan antara pengujukrasa dan aparat di halaman KPU. RIOTS yang berkepanjangan dan meluas adalah kondisi force majeure dalam politik dan pemerintahan. Kondisi kahar ini diharapkan bisa mendorong terbentuknya pemerintahan darurat yang bertugas menyelenggarakan pilpres ulang.

Saya tidak senang dan gampang protes jika aparat polisi mudah mencap kritik oposisi sebagai upaya makar. Namun untuk konteks saat ini tidak salah juga sebenarnya jika aparat menuduh unjukrasa 22 Mei ini sebagai skenario makar. Pemerintahan apapun di manapun, sedemokratis apapun, sudah pasti akan mencegah dan menumpas upaya makar.

Sejatinya saya mendukung people power jika itu dilakukan untuk menggulingkan kekuasaan yang lalim dan parlemen tidak bisa diharapkan. Soeharto lalim dan karenanya layak digulingkan dengan people power. Adalah pemuda dan rakyat yang menggulingkannya.

Bagaimana dengan pemerintahan Jokowi?

Jokowi presiden yang dipilih mayoritas rakyat, 2014 pun 2019. Yang coba menggulingkan atau mencegahnya kembali memerintah adalah elit politik dan elit bisnis sisa orde baru yang kalah dalam pemilu.  Maka upaya menggulingkan Jokowi atau mencegah ia kembali memerintah sebenarnya bukan people power melainkan kudeta oleh elit melalui mobilisasi massa pendukung yang akan berujung pada  riots.

Demikian.

Setelah membaca artikel ini, akankah Anda membiarkan kenalan dan kerabat terlibat dalam unjukrasa berujung riots hanya untuk memaksakan kehendak agar elit sisa orde baru kembali berkuasa?

Sebagai kenalan atau kerabat yang baik, Anda wajib sadarkan dirinya; bebaskan ia dari kedunguan; jauhkan ia dari bujuk rayu dan muslihat operator penggerak massa; cegah ia melakukan hal yang akan disesalinya seumur hidup.

***