Pijakan Berpikir Pendukung Petahana, Oposisi dan Golput

Perbedaan biarlah hadir sejauh tidak membuat saling membenci dan saling membunuh karena manusia memang diciptakan berbeda antara satu dengan yang lain.

Selasa, 30 April 2019 | 21:17 WIB
0
302
Pijakan Berpikir Pendukung Petahana, Oposisi dan Golput
Ilustrasi Golput (Foto: Medium.com)

Negeri ini ternyata mempunyai galaksi yang tidak satu titik sentral dalam hal pengaruh politik. Ada semacam pembelahan. Yang sangat setia dengan pemerintah walaupun dengan carut marut kelemahan yang belum bisa diatasi tetap setia mendukung. Kedua kritikus sekaligus oposan pemerintah yang selalu melihat kejelekan pemerintah tanpa mau memuji sekalipun upaya baik pemerintah.

Bagi mereka apa yang dilakukan pemerintah selalu salah. Yang ketiga adalah kaum Golput yang tidak bisa melihat sisi positif dari oposisi dan pemerintah.

Titik Pijak Pendukung Pemerintah

Para pendukung pemerintah tentu mempunyai pijakan pemikiran kenapa sampai sekarang mereka masih mendukung upaya pemerintah. Mereka maklum tidak ada pemerintah yang sempurna. Mereka masih melihat ada semangat bekerja secara tulus yang dilakukan pemimpin pemerintah, dalam hal ini presiden.

Perlawanan Oposisi

Menjadi manusia, menjadi publik figur bagaimanapun tidak pernah bisa memuaskan banyak pihak. Ketika gaya sederhana diperlihatkan untuk menumbuhkan pengaruh positif dengan keteladanan pemimpinnya, tetap saja ada yang berpikir bahwa yang dilakukan pemimpin tersebut hanyalah pencitraan. Upaya politis untuk mendapat simpati publik.

Menjadi populis itu akan menjadi titik sasaran bagi mereka yang lebih suka politik identitas, yang mengidolakan watak pemimpin keras dan berwibawa dan sejumlah sematan diktatorial ala militer. Pemimpin merakyat, dekat dan wajah sederhana cenderung mendapat cibiran oleh orang- orang yang terbiasa dalam balutan aturan protokoler yang menjauhkan mereka dari kedekatan dengan rakyat.

Orang orang seperti Fadli Zon, Fahri Hamzah, Amien Rais tentu gerah dengan gaya merakyat Jokowi. Biasanya idealnya seorang presiden adalah yang terbiasa memasang wajah berwibawa, dengan aturan protokoler yang ketat. Ketegasan yang diperlihatkan adalah ketegasan militer yang cenderung kaku.

Jokowi bagaimanapun baiknya di mata rakyat tidak akan bisa menarik semua rakyat untuk mendukungnya. Di negeri ini ada banyak kriteria yang beredar dalam pikiran rakyat dan tidak bisa mengubahnya hanya dengan rayuan – rayuan politik. Tetapi anehnya ulama, pemuka agama yang fungsinya untuk menyebarkan kebaikan ikut- ikutan menjadi corong bagi munculnya politik identitas. Partisipasi ulama dalam politik begitu kental sehingga partai politik, politisi begitu antusias mendekat dan memanfaatkan ulama untuk mendulang suara masyarakat.

Kekuasaan memang menggiurkan. Para elite politik memanfaatkan ulama, masyarakat untuk mendukungnya masuk dalam lingkaran kekuasaan. Setelah duduk manis dalam pusat kekuasaan penyakit amnesia kambuh dan mereka meninggalkan masyarakat.

Ketika ada pemimpin yang sudah habis- habisan mengabdi dan total bekerjapun masih dicurigai sebagai upaya penggiringan ideologi kiri yang jejaknya saja sudah susah dicari.

Masyarakat dengan politik identitas jelas menginginkan perubahan. Upaya masif pembangunan yang dilakukan pemerintah tidak akan mendapat pujian dan acungan jempol.

Bagi mereka sia- sia upaya pemerintah membangun jalan tol infrastruktur karena tidak bisa dimakan. Sudut pandang tentu berbeda dengan pendukung pemerintah yang merasakan ada perubahan setelah kerja keras pemimpinnya membangun secara masif infrastruktur.

Golput dan Alasan Abstain

Lain lagi dengan pandangan para Golput. Mereka adalah para pengamat yang berusaha netral, tidak ingin terlibat dalam hiruk pikuk politik. Mereka belum menemukan sisi kebaikan dua blok (petahana dan oposisi). Apatisme mereka dipicu oleh tidak adanya figur yang cocok untuk mereka idolakan. Kaum Golput lahir dari orang rasional. Tapi kadang sangat sinis dengan keberadaan pemerintah yang abai dan cenderung menjadi pengusaha daripada upaya tulus memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Pemikiran para Golputer tentu dimaklumi tetapi banyak yang menyayangkan karena sebagai warga negara partisipasi politik amat diperlukan tidak terkecuali. Sebagai warga yang baik seharusnya mau terlibat dan menyumbang kepedulian untuk mendukung dan mengkritik apa yang dilihat, bukan apatis, masa bodoh dan tidak peduli pada apapun yang sedang terjadi di sebuah negara demokrasi.

Karena Tidak ada Manusia yang Seragam dalam Berpikir

Pijakan berpikir pendukung, oposisi dan golput akan selalu hadir selama negara ada. Tidak ada yang terpuaskan. Manusia selalu mencari titik pemikiran sendiri sehingga selalu ada perbedaan berpikir. Yang baik bagi saya belum tentu baik bagi anda. Saya pendukung 01 dan anda 02 sedangkan dia golput. Saya meyakini pilihan saya, anda akan berusaha mencari titik kebaikan pemimpin anda meskipun di mata saya pilihan anda itu aneh, norak.

Dari titik ini kita berbeda dan akan membangun faksi yang selalu membuat anda dan saya selalu berbeda titik pandang dalam hal politik dan pilihan kriteria pemimpin yang ideal. Beda lagi dengan dia yang apatis dan tidak mau berpartisipasi untuk mendukung pemimpin kita. Golput tidak menemukan kebaikan pemimpin yang sama- sama kita idolakan. Jokowi lemah, Prabowo terlalu naif. Itu pandangan golput maka mereka memutuskan tidak memilih kedua- duanya.

Selama demokrasi ada maka manusia akan terpolarisasi dalam perbedaan pandangan politik. Lalu siapa yang lebih baik. Tidak bisa dijawab hanya dengan salah satu sudut pandang. Kompleksitas manusia, alur pikiran manusia merdeka akan selalu terkotak- kotak, tidak ada yang seragam. Kalau ada kesamaan tentu karena ada visi yang membuat manusia sepakat dalam beberapa hal.

Tetapi tentu tidak semuanya. Perbedaan biarlah hadir sejauh tidak membuat saling membenci dan saling membunuh karena manusia memang diciptakan berbeda antara satu dengan yang lain. Jika karena perbedaan politik lalu mncul wacana people power atau terperangkap dalam perang fisik dan non fisik maka manusia telah terkena bujuk rayu setan untuk saling melenyapkan.

Perbedaan  terbiasa bagi yang suka kontemplasi, belajar tentang manusia, belajar tentang kompleksitas dunia manusia itu sebuah permakluman. Akan lebih sunyi dan membosankan jika semua manusia seragam dalam pemikiran. Salam Damai.

***