Semoga Indonesia menikmati suasana normal lepas dari gegap gempita pesta demokrasi yang sungguh lucu, meskipun mereka makin sadar memaknai demokrasi.
Tanggal 17 April 2019 telah dilaksanakan pemilu serentak di seluruh Indonesia. Dengan penuh kegembiraan masyarakat menyambut riang dan berbondong- bondong datang ke TPS. Meskipun masih ada beberapa insiden masalah kartu pemilih, cukup banyak yang gagal mencoblos karena masalah administratif tapi pemilihan berlangsung lancar.
Pada perhitungan Quick Count sementara O1 memenangkan kontestasi pemilu 2019. Namun rupanya Prabowo Subianto mengklaim menang versi internal. Entah dengan metode bagaimana mengatakan telah menang dengan klaim 62 persen. Tanpa menunggu lama dia langsung melakukan pidato kemenangan bahkan sampai tiga kali. Sujud syukur mencium bumi dilakukan, kegembiraan yang diliputi kecemasan, kecemasan yang terbalut dengan kegundahan.
Entah kenapa melihat reaksi Prabowo, ada kegundahan yang terselip dalam pikiran penulis. Apakah saya yang gila atau orang- orang mulai terjangkit halusinasi.
Banyak elite nggege mongso ( mendahului takdir), mengklaim kemenangan. Tidak sabar menunggu hasil real count tetapi secara pasti dengan kepercayaan diri, atau untuk menutupi rasa malu, menutupi kegalauan lalu mengaku telah memantau dengan dasar lapoan dari para saksinya sendiri mengatakan bahwa kemenangan telah tergenggam. Tidak mempercayai penyelenggara, tidak perlu percaya Quick Count yang sudah pengalaman puluhan tahun sejak 2004 yang penting siap menang tetapi tidak siap menerima kekalahan.
Kalau begitu kenapa ikut kompetisi. Kalau tidak siap menang dan tidak siap kalah harusnya tidak ikut kompetisi karena syarat kompetisi itu siap bertarung dengan resiko kalah dan tentu saja menang. Jika kalah saja dianggap aib sudahlah kenapa harus capai- capai mengikuti kontes Presiden kalau ujung- ujungnya tidak siap kalah.
Penulis semula sudah merasa lega ketika pengumuman QC. Saya pikir masyarakat sudah legowo dan mengakui bahwa secara ilmiah QC sudah bisa menggambarkan siapa yang menang siapa yang kalah. Tapi kegaduhan elit telah mencederai demokrasi. Kengototan telah membuat suasana tidak tenang.Apakah yang bisa dipetik dari kengototan ingin menang, ingin berkuasa tetapi tidak mempercayai lembaga pemilu yang menyelenggarakan.
Manusia itu milik nggendong lali, terkadang merasa benar sendiri. Mentang- mentang merasa didukung lupa telah melakukan kegilaan- kegilaan yang seharusnya tidak dilakukan. Dunia tentu akan tertawa dengan klaim- klaim kemenangan, sementara secara ilmiah sudah diketahui sipa pemenangnya. Mengapa tidak bisa legowo. Menunggu dengan sabar hasil resmi KPU.
Dengan melakukan pestas, selebrasi, terlalu percaya diri yang berlebihan sambil mendengungkan kecurangan masif ada kontradiksi akut yang membuat kepercayaan menipis.
Jika menang seharusnya tidak perlu meneriakkan ada kecurangan, jika yakin sudah merasa menang percayalah pada proses, tidak perlu memaksa dengan menggiring opini seakan- akan menjadi korban kecurangan.
Kasihan masyarakat sudah tenang, ingin segera hidup normal, ingin segera bekerja keras untuk menyambung kehidupan sehari- hari. Kalau polemik saling ejek terus berlangsung bagaimana hidup bisa damai. Elite politik harus bisa menenangkan bukan malah memberi contoh kegilaan- kegilaan yang membuat muak.
Apa tidak sadar akibat klaim kemenangan bukannya membuat simpati malah khalayak seperti mempunyai mainan. Dengan olok-olok dari orolan di rumah, warung kopi, warung nasi goreng, warteg. Sebetulnya masyarakat sudah menerima tetapi elite politik yang berusaha membuat suasana ramai, sengkuni, durna, para pembisik, pengompor terus bekerja sehingga muncul lagi keterbelahan, yang semula sudah tenang kembali berusaha mengikuti arus kegilaan dan semakin lama berlangsung akan banyak orang yang gila beneran.Semoga kegilaan segera berlalu, hasilnya sudah segera diketahui. Pemenangnya adalah orang yang waras, yang sabar menanti hasil, bukan yang sudah berpesta penuh kelucuan karena merasa menang dan kebelet ingin berkuasa.
Semoga Indonesia segera menikmati suasana normal lepas dari gegap gempita pesta demokrasi yang sungguh lucu, meskipun secara keseluruhan masyarakat semakin sadar memaknai demokrasi. Kalau Iwan Fals menyanyikan ciptaan Fanky Sahilatua yaitu kemesraan ini janganlah cepat berlalu, penulis mencoba mempelesetkan menjadi Kelucuan ini semoga cepat berlalu… Hehehe.
Salam Damai.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews