Untuk Menang, Prabowo Harus Buktikan Kecurangan TSM Jokowi

Belum ada fenomena 411 dan 212. Sehingga people power belum tersusun formasinya. Kalau pun pahitnya MK mengalahkan 02, belum tentu masalah selesai dengan sendirinya.

Senin, 27 Mei 2019 | 04:20 WIB
0
257
Untuk Menang, Prabowo Harus Buktikan Kecurangan TSM Jokowi
Prabowo Subianto saat kampanya di Gresik. (Foto: Istimewa).

Ada dalang di balik rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo, bukan rahasia lagi. Yakni: @SBYudhoyono, @Hendropriono, @LuhutPanjaitan, @CSIS, dan para Taipan akan tetap ngotot melegitimasi Pemilu 2019 dengan segala kecurangannya.

Sumber Pepnews.com sejak 2016 telah berkali-kali menyampaikan rencana rezim dan para dalang untuk mempertahankan rezim Jokowi melalui pemilu 2019 yang sudah direncanakan untuk dicurangi secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

“Mereka bisa leluasa menunggangi lembaga/institusi negara/pemerintah dan penyalahgunaan kekuasaan,” ungkapnya. Alhasil, paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin, sangat berpeluang melakukan pelanggaran yang bersifat TSM pada Pilpres 2019 lalu.

Mengutip tafsiran MK dalam Putusan No: 41/PHPU.D-VI/2008, majelis hakim yang diketuai Moh. Mahfud MD menyatakan, apabila terdapat pelanggaran yang bersifat TSM yang secara signifikan mempengaruhi hasil pemilu maka pelanggaran itu bisa diproses oleh MK.

MK menyatakan, pelanggaran yang bisa mempengaruhi hasil tersebut tidak hanya dalam arti sempit berupa perhitungan suara. Tapi, juga berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, baik dalam perhitungan suara maupun dalam menggali keadilan dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan yang diperselisihkan.

Yang perlu dicatat bahwa MK menyebut 3 jenis pelanggaran dalam Pemilu:

1. Pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh terhadap hasil suara Pemilu, atau; 2. Pelanggaran dalam proses pemilu yang berpengaruh terhadap hasil Pemilu, atau; 3. Pelanggaran terkait persyaratan calon yang bersifat prinsip dan dapat diukur.

MK menjelaskan bahwa Pelanggaran Pemilu yang bersifat TSM: Pelanggaran yang dilakukan oleh aparat struktural, aparat pemerintah, aparat penyelenggara Pemilu secara kolektif bukan aksi individual yang direncanakan matang (by design).

“Dampak pelanggaran ini sangat luas bukan sporadis,” ujar sumber Pepnews.com yang dekat dengan Istana tadi.

MK membuat kualifikasi pelanggaran bersifat TSM dengan kewenangan yang dimilikinya berdasarkan konstitusi dan UU. Meskipun hal ini menyebabkan Putusan MK ”dianggap” melebihi batas kewenangan yang dimilikinya, sehingga terjadilah ultra vires dan ultra petita.

Argumentasi MK tersebut secara tegas disebutkan, misalnya dalam Putusan No. 41/PHPU.D-VI/2008 tentang PHPU Jatim 2008. Bahwa untuk mencapai demokrasi substansial maka MK tidak dapat dibelenggu oleh penafsiran sempit terhadap peraturan per-UU-an.

Bahwa MK menetapkan pelanggaran yang bersifat TSM dapat menjadi pertimbangan dalam memutus perselisihan hasil pemilu. Sebagai pengawal konstitusi, kewenangan MK menjadi final and binding. MK adalah para dewa. Otoritas dalam penafsiran konstitusi.

Berdasarkan pertimbangan itu, MK sejak 2008 telah puluhan kali mengadili dan memutus perselisihan pemilukada. Namun, kaidah hukum dan keyakinan MK terkait sengketa pemilu bersifat TSM belum pernah diuji pada perselisihan/sengketa pemilu presiden.

“Langkah paslon 02 gugat ke MK itu sebagai ujiannya. Bagi saya pribadi, terkait penilaian dan kesimpulan bahwa telah terjadi pelanggaran bersifat TSM pada pilpres 2019, itu lebih merupakan ujian terhadap standar moral bagi para penilainya,” ujar sumber tadi.

Karena secara hukum, fakta dan bukti kecurangan yang ada sudah sangat jelas dan terang. Oleh sebab itu putusan MK atas perselisihan Pilpres 2019 nanti – yang sangat menentukan nasib rakyat, bangsa dan negara ini, lebih merupakan cermin atau refleksi dari kualitas dan standar moral dari para anggota majelis hakim MK.

Karena, berdasarkan hukum semua sudah jelas adanya kecurangan. MK melalui putusan No. 41/PHPU.D-VI/2008 telah melakukan terobosan hukum untuk memajukan demokrasi dan melepaskan diri dari kebiasaan praktik pelanggaran pemilu secara TSM.

Melalui itu MK menjadi teladan hukum rakyat dan bangsa Indonesia. Tapi, apakah teladan hukum pada putusan MK tersebut akan jadi benteng bagi para anggota majelis hakim MK dalam mempertahankan kualitas dan standar moralnya selaku otoritas penafsir konstitusi dalam mengadili dan memutus sengketa Pilpres 2019, kita lihat saja nanti.

Sebagai pengetahuan bersama bahwa MK telah memutus: “... tidak hanya memerintahkan untuk penghitungan kembali hasil penghitungan suara tetapi juga telah menggali keadilan dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan yang diperselisihkan ...”

Lebih lanjut MK menegaskan, pada dasarnya MK tidak melakukan fungsi peradilan pidana atau administrasi. Namun lebih pada mempermasalahkan dan mengadili setiap pelanggaran pemilu yang berakibat pada hasil penghitungan suara.

Lebih jauh lagi, melalui putusan atas sengketa pemilukada Jatim tersebut, MK menegaskan telah menilai dan mengadili:

“Pelanggaran-pelanggaran Pemilu yang terjadi tidak hanya pada proses pemilihan, tetapi juga terjadi Sebelum dan Sesudash proses pemilu.” Inilah point yang sangat penting.

Berdasarkan penilaian/kesimpulan MK pada putusan sengketa pemilukada Jatim 2008 itu, maka tak ada keraguan bahwa berbagai hal pelanggaran yang terjadi Sebelum proses pemilu yang bisa mempengaruhi hasil pemilu dapat dijadikan dasar putusan MK bahwa telah terjadi pelanggaran TSM.

Terkait sengketa pilpres yang disampaikan capres 02 ke MK untuk diadili dan diputuskan, ia melalui medsos dan forum-forum diskusi telah berulangkali menyampaikan dan menjelaskan pelanggaran oleh capres petahana terkait upaya mempengaruhi hasil pemilu 2019.

Termasuk Perppres tentang Pencairan Dana Desa, Perppres pemberian gaji ke-14 dan THR ASN, Perppres tentang penempatan anggota TNI Aktif pada jabatan sipil, Perppres kenaikan tunjangan Babinsa adalah bentuk pelanggaran pemilu yang dilakukan melalui penerbitan per-UU-an.

“Saya bisa membuktikan bahwa Perppu Nomor 1 Tahun 2015 tentang perubahan UU KPK, Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan UU ORMAS, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang UU Pemilu,” ungkapnya.

Baca Juga: Langkah Cerdas, KPU Umumkan Kemenangan 01 Tengah Malam

“Perppres Nomor 18 Tahun 2018 tentang Dokter dan RS Kepresidenan, Perppres tentang Administrasi Kependudukan, Permendagri tentang Kartu Indentitas Anak, dan lain-lain,” lanjut sumber tadi.

Tentu pelanggaran TSM pada pemilu 2019 paling menonjol dan paling merusak demokrasi dan menghancurkan kedaulatan rakyat, terjadi melalui pengajuan dan pengesahan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Nyata sekali UU ini di-design untuk menguntungkan capres petahana.

Mendadak terbayang wajah manis Prof @mohmahfudmd selaku ketua majelis hakim MK yang mengadili dan memutus sengketa pemilukada Jatim 2008, yang melahirkan terobosan hukum luar biasa melalui Putusan MK No. 41/PHPU.D-VI/2008.

Perihal berbagai Perppu, UU, Perppres, dan Permen yang di-design untuk menguntungkan capres petahana tersebut tidak dipermasalahkan oleh DPR, adalah hal lain yang tak termasuk objek sengketa/substansi materi gugatan capres 02.

Di sisi lain, hal itu makin membuktikan kualitas TSM-nya. Jika memang cerdas, BPN bisa menggugat ke PTUN, mengingat keputusan-keputusan KPU yang tersurat (SK dan Berita Acara/BA) merugikan kepentingan paslon 02.

Mungkin BPN juga bisa menyertakan alasan kuat mengapa mereka menolak menandatangani BA dengan melandaskan surat-surat keputusan KPU yang dipandang subyektif dan sangat merugikan mereka.

Jika cerdas pula, BPN bisa menggugat KPU ke MK ihwal perselisihan antar-lembaga negara. Mengingat, BPN adalah tim kampanye resmi yang menjalankan UU Pilpres konsiderannya. Meski ditetapkan KPU, BPN telah menjelma menjadi lembaga negara yang bersifat ad-hoc.

Maka kewenangan dan keputusannya haruslah diakui oleh negara pula. Karenanya, BPN bisa menggugat KPU ihwal hal ini ke KPU. Menjelaskan bahwa ada sengketa antara KPU dan BPN sebagai sesama lembaga negara dengan menyertakan bukti-bukti yang kuat berupa keputusan-keputusan KPU yang merugikan BPN.

Menurut Direktur The Global Future Institute Hendrajit, lingkungan strategis sulit diprediksi oleh Hendropriyono dan Wiranto selaku penyokong Jokowi. “Masyarakat jelas sudah nggak percaya dengan MK,” ungkapnya.

Tapi, dinamika sospol kali ini spektrum dukungan kepada 02 lebih luas daripada 2014. Dan, belum ada fenomena 411 dan 212. Sehingga people power belum tersusun formasinya. Kalau pun pahitnya MK mengalahkan 02, belum tentu masalah selesai dengan sendirinya.

Fakta bahwa beberapa anggota dan ketua majelis hakim MK dekat dengan penguasa, maka ketika mereka menolak gugatan hukum 02, publik akan beranggapan bahwa KPU dan MK merupakan satu paket yang harus didelegitimasi reputasi dan kredibilitasnya.

“Karena condong memihak kekuasaan,” tegas Hendrajit. Pertanyaannya kemudian, ketika insitutusi-institusi terkait pemilu termasuk TNI/POLRI mengalami delegitimasi di mata publik, sehingga mengarah pada kekosongan kekuasaan, apa solusinya?

Hendrajit menyebut, perjalanan menuju Oktober 2019 tampaknya masih terjal dan berliku.

***