HAM dan Terorisme bagi Koalisi 02

Sabtu, 19 Januari 2019 | 08:42 WIB
0
262
HAM dan Terorisme bagi Koalisi 02
Tahanan teroris di Mako Brimob (Foto: Medantoday.com)

Tema yang cukup berat bagi koalisi 02, apalagi melihat sikap dan rekam jejak mereka selama ini. mengusung capres militer, namun sikap menghadapi terorisme, terutama kerusuhan Mako Brimob dan dilanjutkan peledakan serempak di Surabwa beberapa  waktu lampau, cukup membuat terhenyak. 

Memang bukan pelaku utama, namun paling tidak sikap mereka yang demikian, seolah memberikan angin segar.

Sikap dan komentar itu cenderung karena mengail di air keruh, masih bisa dipahami sebagai sebuah upaya. 

Lepas dari sikap batin mereka atas kejahatan luar biasa, yah namanya juga oposisi yang cari panggung. Lepas dari itu adanya partai baru yang bernama Berkarya. Di mana ini bak simalakama, karena ikatan emosional dan personal, toh sangat berat untuk melepaskan dari itu semua.

Berkutat soal penculikan 98 tidak akan selesai, sama juga akan berkelahi soal telur dan ayam duluan mana. Karena di sana dan di sini ada, atasan langsung lagi. Jawaban yang identik paling-paling juga soal kasus Novel Baswedan.

Jika ini keluar, sebenarnya sama juga dengan kisah Tama S. Langkun. Keduanya identik, setara, dan imbang. Selesai. Tama pada pemerintahan siapa coba? Dan tidak setara 98 dengan kisah Novel.

Berkarya jelas memberikan banyak hambatan soal HAM dan perilaku ugal-ugalan politik, kriminal, pun bisnis. Pelaku utama ini bukan hanya satu orang, beberapa orang, pendiri, pemilik partai sekaligus. Posisinya pun bukan sembarangan, sudah terpidana. Pembunuhan, yang dibunuh hakim lagi. Apalagi jika ditarik jauh lebih jauh.

Kartu mati bagi koalisi ini,karena lepas dari tarik ulur kisah tragis 1998, mau memainkan kasus Novel, ada juga kisah Tama yang dibacok orang, hingga kini juga masih gelap. Padahal presiden kala itu mengatakan hanya hitungan minggu akan terungkap. Ini sudah tahun dan ganti pemerintah.

Poin HAM tidak akan menjadi ajang untuk saling “serang” karena sama-sama tersadera kisah masa lalu dan kejadian di luar dugaan. Akan lebih memilih main aman.

Cukup menarik, korbn 98 yang ada dalam koalisi ini, menyatakan jika menang tentu akan mengungkap kisah lengkap 98. Apakah demikian? Jelas susah karena pelaku utama ada di sana, berperan sebagai pemilik kekuasaan. 

Jelas lebih mengerikan ke mana arahnya. Lebih cenderung balas dendam, akan cenderung si penguasa mengejar pihak lain yang pada posisi tidak berkuasa. Artinya penyelesaian ala tokoh ini  tidak ideal.

Sebenarnya lepas dari kepentingan politik kisah 98 pun 65 itu bisa menjadi rekonsiliasi nasional. Semua duduk dengan kepala dingin, hati yang adem, dan semua duduk sebagai anak bangsa. Lepaskan merasa sebagai korban atau menuntut pihak lain sebagai pelaku.

Sikap rendanh hati untuk menang-menang, bukan menang-kalah, apalagi merasa korban dan curiga pihak lain sebagai pelaku. Tidak akan pernah selesai.

Kedewasaan dan kerendahan hati untuk menatap masa depan bangsa yang lebih baik akan jauh lebih bermanfaat dan itulah fungsi agama dan spritual. Agama menemukan makna dari sekadar kata, hapalan, atau ritual ini dan itu. Tentu bukan merendahkan hapalan dan ritual, namun mengenai pengamalan atas pengetahuan agama.

Terorisme itu tidak semata tindakan, namun dukungan dan alam hidup yang kondusif juga turut membantu. Jelas bukan pelaku utama, atau donatur, namun sikap diam, pembiaran, apalagi malah menuding pemerintah sebagai pelanggar HAM untuk menindak teroris, sama juga pemberian oksigen bagi para pelaku teror yang kehabisan nafas.

Angin segar dengan menuding pihak pemerintah sebagai pelaku dan para teroris adalah korban memberikan angin bagi mereka. Lepas dari kepentingan oposisi yang mau mencari untung, secara psikologis tentu menguatkan semangat teroris untuk merasa mereka benar.

Pelaku teror bisa mendapatkan angin segar dengan adanya “dukungan” bahwa perilaku mereka toh tidak sepenuhnya salah. Toh elit negeri yang pada sisi lain ada yang malah menuding pemerintah yang salah. Ini jelas salah, karena mereka melakukan pembenaran atas kejahatan. Jika bicara kemanusiaan bedakan dengan tindakan jahat mereka.

Ada juga sebagian elit partai pengusung yang menilai pemerintah yang merekayasa aksi teror. Sangat jauh dari data bagaimana mungkin pemerintah meneror demi kepentingan apa juga. Jauh lebih bisa diyakini justru pihak mereka sendiri yang sering memainkan kecemasan. Politik ketakutan ada pada pihak sendiri.

Teror lebih parah dan payah saat ini bukan lagi bom yang meledak atau pembunuhan polisi di  mana-mana, namun hoax, dan fitnah yang tidak ada habisnya. Itu jauh lebih parah dari sekadar teror bom yang ada batasnya.

Bagaimana sikap saling curiga, saling hujat, dan saling maki seolah menjadi tabiat baru hidup berbangsa. Ini cukup serius, bukan semata fisik yang diteror namun juga psikis. Sikap saling curiga yang tidak ada habis-habisnya, apalagi sampai makam segala dilibatkan di sana.

HAM akan menjadi lahan normatif, abu-abu karena berbagai catatan yang melatarbelakanginya.  Keduanya cenderung akan normatif saja membahas, bahwa itu harus ditegakkan, akan memberikan jaminan dan seterusnya. Soal penyelesaian 65 dan 98 tidak akan berkepanjangan.

Terorisme jelas akan lebih menjadi lahan dan bahan debat yang seru karena memang itu masalah yang harus diatasi bersama. Posisi pun jelas penegakan hukum, dan dan rekam jejak akan membuat pemilih makin kaya akan data siapa yang berubah sesuai kepentingan dan siapa yang memang menjalankan dengan penuh tanggung jawab di dalam menanggulangi aksi teror.

Salam.

***