Partai Koalisi Jokowi Solid apa Julid?

Jumat, 18 Januari 2019 | 15:39 WIB
0
366
Partai Koalisi Jokowi Solid apa Julid?
Jokowi dan parpol pendukung (Foto: Inews.id)

Jokowi is back ! 

Kembali melawan "musuh" politiknya Prabowo Subianto. Kenapa musuh saya beri tanda kutip, karena dalam politik tidak ada musuh abadi apalagi kawan abadi yang ada adalah kepentingan abadi. 

Bukan kepentingan Jokowi saja yang perlu diakomodir, tapi kepentingan orang atau partainya yang juga mesti diperhatikan. Salah salah bisa "ngambek" dan mengancam keluar dari koalisi apabila kepentingannya tidak dipenuhi. 

Koalisi jokowi adalah yang tergemuk dibandingkan paslon 02. Di situ ada Partai Utama PDI Perjuangan Mbak Mega. Ada Partai Kebangkitan Bangsanya Muhaimin Iskandar, ada Partai Golkarnya Erlangga, ada Partainya Surya Paloh yang di awal telah "mencuri " start dukungannya kepada Jokowi.

Ada partai Hanura yang lagi dinamis karena konflik internal partai, ada Partai Perindonya Hari Tanoe, ada juga si bungsu PSI yang lagi unyu unyu , lucu dan kadang bikin blunder dengan statement-statementnya, semisal Poligami yang berpotensi memecah kesolidan umat Islam dalam memilih Jokowi. "Sesuatu yang dibolehkan agama, jangan dilarang manusia". Begitu kira-kira. 

Berbeda dengan Jokowi, Partai koalisinya 02 dengan dukungan PKS setidaknya sudah punya massa solid. Karena pengkaderan terbaik yang punya anggota militan selain TNI adalah ya PKS ini. Bahkan anak anak kecil mereka kalau ditanya pasti ikut bapak ibunya. Coba tengok, partai mana kalau ada aksi demo suka bawa anak anak dalam setiap kegiatannya. Priiiit pelanggaran woi!

Kembali ke Koalisi!

Kesolidan mereka (baca koalisi) berdasarkan isu dan kepentingan yang sama. Memenangkan Jokowi sambil bersiap mengambil kesempatan memimpin di 2024. Pengkaderan, show off a force (unjuk kekuatan) agar menjadi kekuatan baru , minimal menyamai kinerja Jokowi dari kader yang duduk di kabinet nantinya. 

Tokoh muda tentu tak akan mau kalah dengan yang senior. Apalagi Jokowi sudah dua periode dan tidak bisa mencalonkan diri lagi. KH. Ma'ruf Amin usianya menjelang  80 tahun saat jabatannya habis. Peluang kader kader koalisi terbuka lebar.

Akhirnya penulis pun flash back ke jaman Suharto. Di mana tak ada yang ribut menggantikan Suharto, semua menterinya malah sikut sikutan berebut pengaruh orang no 1 selama 32 tahunnya. Jokowi yang PDI P tentulah kepengin dari Partainya yang menggantikannya. Wajarlah adanya ego partai penguasa. 

Masalah kah? 

Tentu dalam perjalanan politik ke depan ada kemungkinan disharmonisasi. Ingat Idrus Marham, yang akhirnya menjadi pesakitan dan menciderai perjalanan pemerintahan Jokowi di periode 1. Dalam analisa penulis, sang mantan menteri ini sangat dipaksakan masuk kabinet dan tanpa saringan. Meski ada saringan politik yang lubangnya lebih besar dari badan sang kader Golkar tersebut.

Lihat pula politik balas budi terhadap Anies B yang akhirnya berujung tidak manis alias pemecatan dan menjadi luka politik dirinya yang bersangkutan sampai mungkin maaf 7 turunan. "Menteri Pecatan". Kalimat itu yang terus terngiang ngiang sepanjang malamnya. Hiperbola banget ya, gapi itulah politik. Siapa bermain api akan menyambar kayu . Terbakar menjadi abu. 

Politik bisa menyatukan partai partai pendukung menjadi solid, bisa juga menjadikan julid ketika kepentingannya sebatas di kertas saja. Apalagi terhadap partai bau kencur yang belum punya wakil di parlemen. Say good bye aja. 

Oleh karena periode berikutnya adalah pertaruhan harga diri sang petahana dan para pendukungnya, maka segeralah menghindari one man show  ala ala "Sengkuni". Kesolidan mereka bukan saat menyetor nama nama kadernya beserta jumlahnya yang akan mencoblos 01 di 17 April nanti. 

Tapi bagaimana merangkul swing voter, kaum milenial atau akar rumput yang lagi mabok agama ditajut takuti dengan berita hoaks dan janji palsu ala Genderuwo abad ini. 

Sekian, ngerti ora son!

***