Derau "Keislaman" Prabowo di Pentas Natal

Rabu, 2 Januari 2019 | 16:39 WIB
0
298
Derau "Keislaman" Prabowo di Pentas Natal
Prabowo Subianto (Foto: Tirto.id)

Ada yang menyolok dalam pertandingan akbar Pilpres 2019, yakni nyaringnya yel-yel politik identitas religi (keagamaan) dari pendukung kedua kubu. Mereka meneriakkan keislaman kedua tokoh petarung ; Jokowi dan Prabowo.

Saking kuat dan riuhnya bunyi yel-yel itu sehingga menghasilkan gema berlebihan dan kemudian timbul  noise (derau) di ruang publik. Penyebabnya adalah strategi politik yang masif dan keluar kontrol etika serta beragamnya tingkat kedewasaan berdemokrasi para pendukung. Celakanya, pada level terendah justru mendominasi semua itu.

Tingkat kedewasaan berdemokrasi itu merupakan infrastruktur akustik ruang laga--yang sejatinya menghasilkan suara harmoni dan keindahan berdemokrasi. Namun nyatanya, akustik itu belum memadai. Akibatnya, publik awam (penikmat suara di luar pendukung militan) jadi terimbas gema dan derau. Mereka dibuat bingung soal suara (demokrasi) yang benar (asli) dan nyaman dinikmati. Mereka dibuat terganggu kemunculan derau.

Gema adalah pemantulan bunyi yang diterima oleh pendengar beberapa saat setelah bunyi langsung. Pada kadar tertentu, pendengar masih bisa mendengar dan membedakan dengan jelas suara asli dan suara gema.

Gema yang baik bisa memperindah suara. Pada konteks Pilpres, mereka bisa menikmatinya sebagai "keindahan akustik demokrasi". Di luar kadar tertentu bisa menimbulkan kekacauan suara yang tak nyaman didengar.

Derau (noise) adalah adalah suatu sinyal gangguan yang bersifat akustik (suara), elektris, maupun elektronis yang muncul pada suatu sistem berupa gangguan yang bukan merupakan sinyal yang diinginkan.

Dalam konteks dunia politik dan demokrasi, derau yang seringkali "terdengar" adalah yang bersifat Man-made noise, yang diartikan sebagai noise yang dihasilkan para pendukung. Mereka berlaku dan bertindak diluar kontrol internal, sehingga menghasilkan suara yang mengganggu lingkungan pendengar yang lebih luas.

Derau pada Babak Pertarungan

Pada babak-babak awal pertarungan, kubu Prabowo ingin membentuk stigma bahwa kadar keislaman Jokowi sangat rendah, dengan cara menyerang secara nyaring dan masif soal keislaman Jokowi. Maka diteriakanlah "yel-yel" Jokowi anti Islam, kriminalisasi ulama, Jokowi dari keluarga PKI, dan lain-lain.

Teriakan itu begitu nyaring menutupi yel-yel pembelaan kubu Jokowi. Teriakan keras itu bergema dari dunia maya ke dunia nyata dan sebaliknya. Dari satu platform blog dan medsos ke platform blog dan medsos lainnya sampai ke panggung-panggung publik dunia nyata.

Sebagian publik awam yang kebingungan terjebak mempercayai stigma itu. Hal tersebut  yang diinginkan kubu Prabowo. Artinya, selain citra Jokowi jatuh dimata publik kemudian berpaling ke Prabowo, kubu Prabowo berharap bisa mendulang suara publik yang mempercayai stigma tersebut.

Di sisi lain, secara paralel, kubu Prabowo menciptakan citra Prabowo sebagai calon presiden yang dekat dengan Islam. Dia pemimpin yang membela Islam.

Pencitraan "Prabowo sangat Islami" dipertegas dalam sejumlah aksi politik oleh ormas dan partai Islam, seperti aksi reuni 212, kedekatan dan dukungan ormas FPI dan HTI, tiga partai pendukung utama Prabowo (Gerindra, PKS dan PAN) menamakan diri sebagai Partai Allah, ceramah-ceramah yang dilakukan ulama menjagokan Prabowo -sementara disaat bersamaan mereka menihilkan sosok pribadi dan kerja Jokowi, Ijtima Ulama yang menunjuk Prabowo sebagai Calon Presiden- di mana Ijtima tersebut dicitrakan "keinginan Tuhan" lewat para ulama yang ber-Ijtima.

Hal tersebut awalnya mampu menciptakan citra keislaman Prabowo yang sangat kental.

Banyak kelompok masyarakat dan elemen Islam mempercayai bila Prabowo menjadi presiden RI, kepentingan Islam akan lebih diakomodir  dibandingkan presiden sebelumnya karena mereka menganggap keislaman Prabowo jauh lebih kental dibandingkan Jokowi. Benarkah demikian?

Dalam perjalanan waktu, kini semua terkuak secara jelas soal "keislaman" Prabowo. Dia tidak lebih dibandingkan Jokowi. Justru bila dilihat dari latar belakang dan performance religinya, keislaman Prabowo jauh dibawah Jokowi.

Terkuaknya keislaman Prabowo memunculkan beragam "Derau" yang berasal dari upaya pembelaan para elit politik kubu Prabowo dan kaum akar rumput yang militan. Derau itu tidak lagi kontekstual pada keislaman Prabowo. Atau, kalaupun bernuansa keislaman, namun merupakan pengingkaran terhadap upaya terdahulu--ketika yel-yel nyaring menciptakan (citra) keislaman Prabowo.

Pengingkaran dengan membawa aspek religi keislaman merupakan pengingkaran yang sangat fatal bagi seorang calon pemimpin negeri yang kehidupan rakyatnya berasaskan Ketuhanan. Kalau agama saja tega dibohongi, apalagi hal lainnya.

Dalam sejumlah kesempatan agenda religi, Prabowo tidak pernah bertindak sebagai Imam. Sementara Jokowi, tak pernah ragu untuk menjadi Imam sholat, bukan cuma di dalam negeri, melainkan juga saat berada di luar negeri.

Muncul pengakuan bahwa Prabowo tidak bisa mengaji. Tidak lancar baca Alquran. Untuk kapasitas sebagai calon presiden dan pemimpin yang dekat dengan Islam, pengetahuannya tentang Islam sangat lemah.

Natal Menguak "Keislaman" Prabowo

Satu hal lagi, selama ini, para elit politik dilingkaran kubu Prabowo seolah menyembunyikan latarbelakang Prabowo yang nasrani. Walau latar belakang tersebut tidak terkait langsung kadar keislaman, namun ada "ketakutan" para elit tersebut bahwa latarbelakang keluarga besar Prabowo yang Nasrani bisa mengurangi kepercayaan publik pada keislaman Prabowo.

Peristiwa paling aktual yang menguak "keislaman" Prabowo adalah pada perayaan Natal 2018 yang lalu. Prabowo turut merayakan Natal bersama keluarga besarnya.

Tidak ada yang salah dalam keikutsertaan Prabowo pada perayaan Natal, baik sebagai warga negara dan pemimpin. Apalagi sebagai bagian keluarga besarnya. Disana ada adik, kakak, keponakan, paman, dan lain sebagainya. Bagaimana mungkin Prabowo mengingkari atau menjaga jarak dengan keluarga besar yang notabene bagian dari sejarah hidupnya?

Namun secara politik, ketika girah sejumlah kelompok Islam konservatif melarang pengikutnya mengikuti perayaan Natal, bahkan untuk mengucapkan selamat Natal saja diharamkan, justru Prabowo melakukannya. Prabowo telah melukai girah politis keislaman yang dibangun elit politik di dalam kubu perjuangannya sendiri.

Ini kali kedua Prabowo "mbalelo", setelah dia mengabaikan Ijtima Ulama yang merekomendasikan wakil presiden pendampingnya "harus" dari kalangan ulama Islam. Hal itu berarti Prabowo mengabaikan "keinginan Allah".

Pencitraan "keislaman" Prabowo perlahan tapi pasti akhirnya terkuak. Keislaman Prabowo tidak sekental yang dibayangkan para pendukungnya selama ini, khususnya di arus bawah atau publik awam yang dibutakan pencitraannya.

Dengan komodifikasi "Keislaman" Prabowo seperti itu menunjukkan sebuah "kebohongan" seorang calon pemimpin Indonesia--negeri yang mayoritas beragam Islam. Prabowo hanya memanfaat Islam untuk kepentingan politik semata. Dia tidak menjiwai keislaman itu sendiri dalam konteks kedalaman religi.

Kalau melihat adigium bahwa politik itu penuh dengan trik dan kepentingan kelompok, maka bila menjadi presiden, Prabowo sangat diragukan bisa memenuhi ekspetasi kepentingan Islam Kenapa demikian? Karena Islam hanya dijadikan alat politik Prabowo. Keislaman Prabowo tak lebih hanya sebuah strategi politik sesaat, bukan sebuah penjiwaan religi Islam itu sendiri.

Seorang yang bisa menjalankan penjiwaan religi keislaman yang baik, sejatinya sejak awal tidak menyembunyikan keislamannya demi kepentingan kelompok politiknya.  Sayangnya, hal tersebut  dilakukan Prabowo sampai pentas Natal menguaknya secara vulgar sehingga timbul Derau yang merusak tata akustik dan keindahan "suara demokrasi" yang jujur.
 
Kiranya, publik harus kritis dalam menyikapi politik keislaman seorang tokoh politik yang tadinya nyaring menyuarakan keislaman--kalau tidak ingin terjebak militansi politik keislaman dan dijadikan alat semata.

***