Brutu dalam Politik Jamak

Dalam politik para brutu-brutu bergentayangan. Brutu-brutu, kalau dalam ejaan Inggris ditulis 'brutus'. Brutunya jamak. High-cholesterol. Dan high-risk!

Rabu, 8 September 2021 | 07:47 WIB
0
126
Brutu dalam Politik Jamak
Presiden Joko Widodo (Foto: suara.com)

Menurut Satgas Kopit, bulan Agustus 2021, kasus kopit mengalami lonjakan dua kali lipat dibandingkan Januari 2021. Pendek kata, tak ada angka penurunan, baik seperti yang dikatakan Kemenkes, KeMendagri, Luhut Binsar Panjaitan, maupun Presiden Jokowi.

Dalam pertemuan para Ketum Parpol di Istana Presiden, mereka mengapresiasi, memuji cara Jokowi sudah tepat. Meski dalam pertemuan itu, yang mendapat kritik dari mereka, termasuk dari Jokowi, adalah disiplin masyarakat yang rendah. Pernyataan yang menyakitkan saya, karena kalau menyebut rakyat, kok kayaknya saya punya data, dan sok jagoan mewakili rakyat. Padal, alat survey dan riset pun saya tak punya.

Menyakitkan, karena menurut pemahaman saya pribadi, rakyat disiplin rendah maupun tinggi, hanyalah merefleksikan situasi-situasi kitarannya. Termasuk kinerja pemerintah, pemegang regulasi tertinggi dalam praksis berbangsa dan bernegara. Conditio sine qua non. Suatu kondisi yang tidak mungkin, tetapi diperlukan tindakan atau unsur yang sangat penting, yang tanpanya tidak akan ada apa-apa.

Pemerintah sebagai pemegang regulasi, punya otoritas membuat aturan, untuk mengatasi suatu kondisi yang buruk (misalnya, disiplin yang rendah). Namun keluhan atas situasi itu, ngapain juga mesti disampaikan secara terbuka, secara publik? Butuh publisitas? Perlu kampanye untuk 2024?

Padal, disiplin rendah masyarakat, tidak terbangun dengan sendirinya. Itu adalah suatu feedback. Baik karena tidak adanya pengetahuan, atau justeru sebaliknya. Dilakukan dengan kesadaran, karena mereaksi pada perintah atau aturan. Tak sedikit wilayah yang warganya menolak pakai masker.

Karena merasa tidak tahu fungsinya. Menganggap tidak bermanfat. Atau sebagai protes, bentuk perlawanan, atas tindakan aparat aturan yang tidak tegas, tidak konsisten. Atau aturann yang memang dirasa tidak baik. Dan atau-atau seterusnya.

Perlawanan itu, acap juga dilakukan oleh pimpinan daerah. Apalagi merasa beda partai dengan atas atau sampingnya. Di tingkat kabupaten, kota, bahkan gubernur. Contoh Bupati Banjarnegara, Jawa Tengah, yang mengijinkan masyarakat membuat keramaian atau kerumunan, kalua dilarang Satgas Kopit, suruh menghadap dia. Tahunya, bupati ini belakangan mingkem, karena dicokok KPK dalam kasus dugaan korupsi.

Kita lihat di jaman demokrasi digital ini, ada saja pimpinan daerah yang menyatakan secara terang-terangan, melawan aturan di atasnya. Vaksin sudah tiba di daerahnya, hanya disimpan saja. Hingga akhirnya kadaluwarsa dan tak bisa dipakai. Salah siapa? Salawi?

Bisa jadi, karena mengatasi pandemi dipakai sebagai media politik. Ada yang melawan untuk menjatuhkan Jokowi? Mungkin. Saya menduga. Tidak punya data. Itu sebabnya, saya bertakon-takon, kenapa akhirnya Jokowi memakai TNI, dan Kepolisian, dengan komando terpusat, langsung? Presiden sebagai Panglima Perang di level negara? Bahkan, kini melibatkan BIN pula. Untuk apa?

Karena mereka lebih bisa dipercaya Presiden. Berada dalam satu garis komando. Ini situasi darurat yang butuh satu komando. Kelemahan dari masyarakat madani yang tingkat literasinya beragam, praktik demokrasi liberal pasti sangat berbahaya bagi suatu negara dengan Presiden yang baperan. Untung Jokowi presiden yang tangguh, tahan uji, tidak baperan. Apalagi menghadapi politikus, aktivis, SJW (social joker warrior) yang baperan.

Jadi kalau kita balik ke pernyataan berbagai ketum partai, terasa betapa lamisnya. Di depan Presiden, mereka menyatakan apresiasi. Namun dalam politik para brutu-brutu bergentayangan. Brutu-brutu, kalau dalam ejaan Inggris ditulis 'brutus'. Brutunya jamak. High-cholesterol. Dan high-risk! 

Sunardian Wirodono

***