Jokowi, Wakil, dan Rakyat

Sampai 2024, Jokowi masih jadi tumpuan kekuatan Indonesia. Apalagi jika kualitas mahasiswa, dan para mentornya, tidak berubah.

Senin, 30 September 2019 | 22:22 WIB
0
196
Jokowi, Wakil, dan Rakyat
Ilustrasi Joko Widodo (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

Dalam berbagai penilaian, kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia periode 2014-2019, sepanjang sejak Reformasi 1998, adalah yang terburuk. Data menunjukkan, menghabiskan dana sekitar Rp 8 milyar setiap pembahasan RUU, namun tahun 2015, dari target 40 RUU hanya mengesahkan 3.

Pada 2016, 10 RUU disahkan dari target 50. Tahun 2017, 6 RUU disahkan dari target 52, sedang 2018, 5 RUU disahkan dari target 50 RUU. Tahun ini? Tiba-tiba parlemen di akhir tugasnya, secepat kilat kejar tayang beberapa RUU. Tapi kita tahu yang terjadi kemudian, apalagi soal RUU KPK dan KUHP.

Praktik in-efisiensi yang terus berlangsung di DPR, tidak saja kita saksikan melalui pelaksanaan fungsi legislasi, namun juga korupsi yang merajalela. Pengawasan kemudian juga semakin melempem, jika tidak terlihat tendensius. DPR beralaskan legislasi juga tanggungjawab Pemerintah, tapi bagaimana pun UUD menetapkan, DPR adalah legislator.

Tugas utamanya membentuk UU dan koordinasi. Bayangkan, DPR 2014-2019 menghabiskan Rp1,62 triliun atau sekitar Rp323,4 miliar/tahun, itu pun tak sedikit produk UU cacat hukum, bahkan dibatalkan MK karena proses judicial review. Bagaimana dengan kualitas sekitar 575 anggota parlemen 2019-2024, yang hampir separohnya wajah baru? Kita lihat nanti.

Di mana partai? Partai ada di belakang semua itu. Partai politik menanam yang disebut ‘fraksi’. Mereka mengawasi kinerja anggota parlemen. Para wakil rakyat lebih takut pada fraksi, sebagai kepanjangan tangan partai daripada rakyat yang menjadikannya duduk di situ. Apalagi sistem pemilu kita memang tidak mengaturnya, dengan massa mengambang atau basis konstituen yang cair.

Rakyat hanya dibutuhkan dalam jumlah suara, bukan dalam kualitas tingkat interaksi dan keterwakilan aspirasinya. Itu sebabnya, para ketum partai wait and see. Tak berani komentar melihat situasi politik paling mutakhir ini.

Apa akar masalahnya? Sudah menjadi kritik lama, bahkan sejak Herbert Feith menulis mengenai Pemilu 1955. Politik elitis itulah ibu kandung munculnya oligarki partai. Dunia berubah, baik dalam konstelasi politik maupun karena revolusi perubahan teknologi komunikasi dan informasi.

Sayangnya, kita tidak berubah, partai politik tidak berubah. Atau daya akselerasi kita yang rendah, karena kualitas SDM, tingkat pendidikan dan literasi kita, yang masih mudah boyak oleh hoax? Dandy Dwi Laksono bisa menggetarkan di Sexy Killers, tapi pun tiba-tiba bisa menampilkan wajah yang aneh, dalam diksi-diksi banal tuitannya mengenai Papua.

Kemenangan Jokowi, sebagai anak bajang dalam dunia politik nasional, sebenarnya kritik rakyat selama ini terhadap sistem politik yang budeg-bisu. Tidak tiba-tiba, tidak makbedunduk Jokowi menjadi Presiden. Ada sejarah panjang, baik dalam diri Jokowi dengan track recordnya, maupun dunia kepolitikan kita dengan segala track recordnya yang elitis. Dan Pilpres yang bersifat langsung, memberikan keleluasaan rakyat untuk bersikap secara independen.

SBY dua kali memenangkan Pilpres, namun SBY bukan type pemimpin yang diimajinasikan majoritas pemilihnya waktu itu. Gabungan intelektual dan militer, tapi ternyata gagal. Pemerintahan SBY yang terlalu lunak dan kompromistis, meninggalkan banyak masalah. Prabowo, sebagai lawan Jokowi (Pilpres 2014 dan 2019), kena imbas dari citra buruk militer SBY. Di samping tentu citra Prabowo sendiri, dari sejak Reformasi 1998.

Sementara itu, ideologi politik pragmatisme Orde Baru, yang telah berjalan 30-an tahun, bukan barang mudah untuk dihilangkan. Tak sebagaimana membalik telapak tangan. Watak birokrasi, dan juga sistem pemerintahan yang korup. Aparatus sipil-militer negara yang selama ini berada dalam zona nyaman.

Dan Jokowi bukan pemimpin yang dianggao ramah lingkungan dalam situasi transisi itu. Radikalisme Ahok misalnya, bertemu dengan radikalisme yang berbeda di seberangnya. Hingga dia tersungkur.

Jika Jokowi masih selamat sampai kini, karena kiat berkelitnya cukup cool. Jokowi pemimpin yang mendengar, dan ia pemain catur yang tidak bodoh. Meski tentu saja ada yang dibuat jengkel, terutama mereka yang tak sabar.

Apalagi Jokowi bukan seorang yang artikulatif untuk menjelaskan dirinya. Sementara, para staf ahli dan pembantunya, juga belum tentu dengan cepat bisa membaca serta menerjemahkan kemauan Jokowi sebagai representasi rakyat.

Sayang sekali jika perdebatan politik kita hanya terjebak kasus-per-kasus. Kita tak pernah nemu substansi masalah, atau sengaja dihindari. Kita terbiasa dengan paketan-paketan tematik yang parsial. Kalau mahasiswa menolak dialog dikata gagah dan otentik, sungguh menyedihkan melihat kemelekatan soehartoisme begitu dahsyat. Mutlak-mutlakan, tanpa kompromi, tanpa toleransi.

Di situlah konflik berkepanjangan, seperti kesimpulan Gus Dur. Sementara menyimpulkan ujaran Rama Mangun (YB Mangunwijaya), Jakob Oetama mengatakan; bangsa ini kehilangan ketulusannya. Hingga kekhawatiran Gus Dur kian nyata, bukan hanya politik, melainkan agama pun kehilangan kemanusiaannya. Bukan begitu Mbak Alissa Wahid?

Meski pada dasarnya, secara moral politik, segala macam tuntutan kepada Jokowi, hanya menggambarkan karena memang hanya dia tumpuan harapan, dan yang bisa dipercaya. Kalau ada yang tantrum? Pada level demokrasi yang masih kanak-kanak, pinjem istilah Gus Dur lagi, memang demikian adatnya. Sampai 2024, Jokowi masih jadi tumpuan kekuatan Indonesia. Apalagi jika kualitas mahasiswa, dan para mentornya, tidak berubah.

Saya bersama Jokowi, karena itu boleh toh, tetap menyayangi dan mengkritisinya? Karena meski pun tidak mungkin, saya tetep takuuuut kalau Rizieq Shihab berfoto bareng dengan Najwa Shihab, hanya karena alasan marga yang sama. Padahal cuma berfoto! 

***