Tepat, Partai-partai Koalisi Pemerintah Tolak Partai Oposisi Bergabung

Memang, periode kedua presiden Jokowi ini bukannya lebih ringan dari periode pertama, tapi malah lebih berat. Gerbongnya terlalu banyak dan panjang.

Selasa, 23 Juli 2019 | 18:40 WIB
0
382
Tepat, Partai-partai Koalisi Pemerintah Tolak Partai Oposisi Bergabung
Joko Widodo dan ketua partai koalisi (Foto: Beritasatu.com)

Partai-partai koalisi pemerintah mulai bersuara lantang dan berani menolak partai oposisi bergabung dalam kabinet pemerintahan Jokowi yang akan datang.

Penolakan itu, bukan semata-mata akan mengurangi jatah kabinet diantara partai-partai koalisi pemerintah. Akan tetapi, penolakan itu juga sebagai bentuk mengingatkan partai oposisi menjunjung spotivitas dalam demokrasi. Artinya kalau kalah ya oposisi atau di luar pemerintahan.

Seperti PKB, tegas menolak PAN masuk dalam pemerintahan Jokowi. Penolakan ini wajar, karena rekam jejak PAN memang susah untuk dipercaya. Dan PAN juga tidak berkeringat atas kemenangan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin.

Yang lebih aneh dan di luar nalar tidak lain Amien Rais yang meminta pembagian jatah kabinet 55% dan 45%. Ini bener-bener sambleng, bagaimana bisa pihak yang kalah meminta jatah preman 45% sebagai syarat rekonsiliasi!

Uluran tangan tangan Jokowi ke Prabowo sepertinya memang tidak gratis atau berdasarkan kesadaran sendiri Prabowo sebagai negarawan.

Akan tetapi ada sistem barter jabatan. Inilah yang menjadikan Amien Rais berani meminta pembagian jatah 55% dan 45%. Edyaan tenan!

Partai Nasdem juga sedari awal secara tegas dan lugas juga menolak bergabungnya partai oposisi yang kalah dalam pilres-masuk atau bergabung dalam pemerintah. Nasdem lewat Surya Paloh mengingatkan etika dalam berdemokrasi. Maksudnya kalau kalah ya berada dalam barisan oposisi.

Aneh juga, setelah tahu kalah-ko tiba-tiba ingin bergabung dengan pemerintah. Sepertinya tak tahu malu. Memang sih, dalam politik tidak mengenal rasa malu.

Partai Perindo yang semalam bertemu dengan Presiden di Istana, juga menolak partai oposisi bergabung dengan pemerintah. Lewat juru bicaranya Arya Sinulingga mengingatkan jangan sampai partai yang tidak berkeringat malah mendapatkan jatah menteri, sedangkan yang berkeringat dan berdarah-darah malah tidak mendapat jatah.

Partai PDIP pun juga kurang lebih sama, tidak setuju partai oposisi bergabung dengan pemerintah.

Memang betul, pengangkatan seorang menteri adalah hak prerogratif presiden. Akan tetapi, untuk mendapatkan hak prerogratif tersebut harus menjadi presiden terlebih dahulu. Untuk menjadi presiden harus mendapat dukungan dari partai-partai pendukung atau koalisi. Artinya hak prerogratif presiden itu tidak datang dari langit.Tapi dari partai-partai koalisi.

Dan presiden tidak bisa menggunakan hak prerogratif itu dengan se-enaknya tanpa meminta masukan atau berembug dengan partai pendukung atau koalisi. Jangan sampai habis manis sepah dibuang. Melupakan jasa-jasa partai pendukung dan malah merangkul partai oposisi yang dulunya mau menjungkalkan dari singgasana.

Jangan sampai tidak tepat sasaran dalam pembagian kue kekuasaan. Yang tidak berkeringat mendapat jatah, sedangkan yang berkeringat malah tidak mendapat jatah.

Memang, periode kedua presiden Jokowi ini bukannya lebih ringan dari periode pertama, tapi malah lebih berat. Gerbongnya terlalu banyak dan panjang.

Pada periode pertama terkesan suasana politik terasa panas,sampai terbelah Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih. Tetapi sejatinya ya adem-adem-panas.

Pada periode kedua-suasana politik terasa adem-sejatinya panas. Nyatanya perlu ada rekonsiliasi. Padahal inti dari semua itu tidak bisa menerima kekalahan.

Jangan sampai politik teror menjadikan Jokowi harus mengalah dan berbagi dengan mereka.

***