Media AS Saja Puji Kiprah FPI, Mengapa Presiden Jokowi Mau Bubarkan?

Pemerintah perlu bijak untuk bersedia mengkaji secara cermat dan mendalam terhadap apa saja alasan yuridis yang tepat untuk dapat membubarkan organisasi massa Islam, seperti FPI.

Kamis, 1 Agustus 2019 | 13:59 WIB
0
1153
Media AS Saja Puji Kiprah FPI, Mengapa Presiden Jokowi Mau Bubarkan?
Salah satu aksi FPI yang mungkin membuat Presiden Jokowi didesak untuk membubarkannya. (Foto: FNN.co.id)

Hari-hari ini, di medsos terjadi perang tagar #BubarkanFPI versus #SaveFPI, pertanda adanya dua kelompok di masyarakat yang terlibat friksi akut. Satu faksi gencar mendorong Presiden Joko Widodo untuk membubarkan Ormas Islam Front Pembela Islam (FPI).

Faksi tersebut berhadapan dengan kelompok di masyarakat yang menjadi simpatisan FPI dan bersikeras untuk menjaga eksistensi Ormas Islam ini agar terus menjalankan peran sosialnya di negeri ini sepanjang republik ini masih ada.

Menurut Sugito Atmo Pawiro, seorang kuasa hukum Habieb Rizieq Shihab, pemerintahan Presiden Jokowi tidak sulit untuk membubarkan ormas semacam FPI tersebut. HRS adalah pendiri FPI semasa Wiranto menjadi Panglima ABRI.

Dengan Perppu Nomor 2/2017 tentang perubahan atas UU Nomor 17/2013 tentang Ormas yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 16/2017, memungkinkan pemerintah untuk membubarkan ormas tanpa melalui proses pengadilan.

Pembubaran bisa dimaknai bahwa Kementerian Dalam Negeri mencabut surat keterangan terdaftar dan Kementerian Hukum dan HAM mencabut atau membekukan badan hukum Ormas tanpa proses peradilan sebagaimana dimaksud UU Nomor 16 Tahun 2017.

Untuk sampai kepada level beleid ini, harus bisa dibuktikan lebih dahulu bahwa Ormas ini memiliki ideologi selain Pancasila dan terbukti mengganggu ketertiban umum dan keamanan negara.

Sugito mengungkapkan bahwa fakta yang sebenarnya terjadi adalah Izin ormas FPI terdaftar dalam SKT 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 dan sudah habis masa berlakunya pada Kamis, 20 Juni 2019.

Mendagri Tjahjo Kumolo sebenarnya masih menunggu persyaratan tertentu yang dilengkapi FPI sebagai syarat perpanjangan izin. Namun, Presiden Jokowi menyatakan, kemungkinan pemerintah untuk tak memperpanjang izin FPI sebagai organisasi masyarakat.

Tampaknya rencana Presiden Jokowi untuk tidak memperpanjang izin FPI sebagai Ormas ini lebih bersifat politis semata. Padahal, kiprah sosial FPI sudah dilakukan di mana-mana dan terekam media mainstream maupun non-mainstream.

Bahkan, media asing kelas dunia seperti The Washington Post sempat menulis kiprah FPI saat ada bencana. Tampaknya, Presiden AS Donald Trump tidak alergi lagi pada ormas FPI yang sering digambarkan sebagai ormas Radikal dan Intoleran.

Melansir Demokrasi.co.id, Kamis (13/6/2019), kiprah FPI dalam membantu korban bencana alam di Indonesia tidak bisa dianggap sepele. Front bentukan Habib Rizieq Shihab itu selalu terdepan dalam setiap penanganan bencana.

Jurnalis Stephen Wright menulis dedikasi FPI tersebut dalam artikel berjudul When Disaster Hits, Indonesia’s Islamists are First to Help yang diunggah di The Washington Post , Selasa, 11 Juni 2019 lalu.

Dia mengawali tulisan itu dengan menceritakan bendera FPI yang terpasang di rumah Anwar Ragaua, korban tsunami Palu, Sulawesi Tengah, 28 September 2018. Pria berusia 50 tahun itu menghiraukan perintah polisi untuk menurunkan bendera tersebut.

Anwar adalah satu-satunya nelayan yang selamat saat tsunami melanda ibukota Sulteng, 28 September 2018 lalu. Anwar mengenang bahwa saat itu tidak ada polisi dan pemerintah yang membantu evakuasi di daerahnya. 

Sebaliknya, pihak pertama yang menawarkan harapan kepadanya adalah FPI. Bahkan, FPI turut menyerahkan kapal baru untuknya kembali melaut. Anwar tinggal di kampung nelayan di daerah terpencil yang sulit terjangkau.

Itulah sebagian fakta yang ditulis Wright di The Whasington Post. Kehadiran FPI dalam tanggap bencana mulai dilakukan pada saat terjadi tsunami Aceh pada 2004. Tsunami ini menewaskan lebih dari 100 ribu orang di Serambi Mekkah itu.

Teranyar, FPI turut berperan dalam mengevakuasi korban gempa dan tsunami Palu yang menewaskan lebih dari 4.000 jiwa. Mereka membantu pencarian korban, pendistribusian bantuan ke daerah pelosok, dan membangun perumahan sementara dan masjid baru.

Wright menguraikan, sejak didirikan dua dekade lalu, FPI konsisten mendorong hukum Islam untuk mengatur kehidupan 230 juta muslim Indonesia. FPI menilai, ada kesalahan konstitusi di Indonesia yang mengubah negara menjadi lebih sekuler.

Dalam tulisannya itu, Wright juga mencatat, FPI dibentuk di Jakarta oleh unsur-unsur militer Indonesia setelah jatuhnya diktator Suharto pada 1998 sebagai alat untuk menghadapi aktivis pro-demokrasi dan liberalisme.

Menurut Panglima Laskar Pembela Islam (LPI) Maman Suryadi Abdurrahman bahwa jumlah anggota FPI saat ini mencapai lebih dari satu juta orang. Maman juga memastikan bahwa FPI tidak dalam tujuan mendorong Indonesia berpaham khilafah.

Mereka bahkan memasang bendera merah putih dalam seragam untuk memastikan tidak anti NKRI. “Tujuan kami adalah menjadikan Indonesia, di mana Islam adalah agama mayoritas rakyat, menjadi religius dan bersih dari amoralitas,” kata Abdurrahman.

“Kami menginginkan negara Islami, bukan negara Islam, karena negara yang religius akan mencegah negara dari menderita ketidakadilan sosial,” sambungnya. Pemahaman seperti ini tampaknya sudah bisa diterima Presiden Donald Trump.

Atensi media AS tersebut setidaknya menggambarkan sikap politik Pemerintahan Donald Trump. Pujian The Washington Post atas kiprah FPI terkait bantuan ketika ada bencana alam tentu sangat menarik untuk dikaji.

Pasalnya, selama ini sejak kampanye Pilpres AS lalu, Trump dikenal dengan kebijakannya “anti” Islam, sampai membatasi orang Islam yang mau masuk AS. Pujian The Washington Post atas kiprah FPI bisa mewakili sikap Pemerintah AS.

Tapi, sayangnya di dalam negeri, sikap Presiden Jokowi bertolak belakang dengan Presiden Trump. Presiden Jokowi sepertinya mengikuti arus deras desakan Pembubaran FPI. Jika ini terjadi, diperkirakan bakal terjadi perlawanan dari FPI dan simpatisannya.

Secara yuridis, sebenarnya ada ketegasan hukum berdasarkan Putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013 bahwa sebagai bagian dari kebebasan berserikat menurut UUD 1945, maka Ormas dapat mendaftarkan kepada instansi yang berwenang dan dapat juga tidak mendaftarkan izinnya.

Tetapi negara tidak dapat menyatakannya sebagai organisasi terlarang dan juga tidak dapat melarang ormas untuk melakukan kegiatannya, “Sepanjang kegiatannya tidak melanggar ketertiban umum dan melawan hukum,” lanjut Sugito.

Dari sini jelas bahwa FPI tidak perlu mendaftarkan izinnya, apalagi jika pemerintah tidak memperpanjang izinnya sebagaimana pernyataan Presiden Jokowi. FPI sebagai ormas tetap saja bisa menjalankan kegiatannya.

Dengan demikian tidak ada kandungan makna dari tekanan pihak yang tidak senang untuk mendorong pembubaran FPI. Pasalnya, tidak ada alasan yuridis yang kuat dari pemerintah untuk membubarkannya sebagaimana pemerintah membubarkan PKI.

Dalam konteks FPI bahwa alasan yuridis apa yang dipergunakan untuk membubarkan FPI? Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah dari mana datangnya desakan keras untuk membubarkan FPI, sebagaimana HTI beberapa waktu lalu?

“Dua pertanyaan inilah yang belum terjawab,” tegas Sugito. Pernyataan Presiden dengan jelas menyatakan, FPI dapat saja dibubarkan, jika memiliki ideologi yang berbeda dengan ideologi bangsa, Pancasila serta memiliki kecenderungan mengancam keamanan NKRI.

Pernyataan ini semakin selaras dengan semangat jargon ‘Pancasila dan NKRI Harga Mati!’ yang identik diserukan oleh massa politik pendukung petahana. Massa Islam di luar itu dianggap pendukung khilafah, Pan Islamisme, radikalisme, dan seterusnya.

Tentu saja mereka memasukkan FPI di dalamnya. Izin FPI pun kemudian tidak diperpanjang lagi sebagai langkah awal. Itulah sebabnya dalam wawancara dengan Associate Press (AP), Jokowi dengan lugas menyebut bahwa FPI dapat saja dibubarkan.

Suatu keadaan yang tidak jauh berbeda dengan ulama besar FPI, Habib Rizieq Sihab (HRS) yang kini berada di Arab Saudi dan dianggap sebagai tokoh Islam yang menolak mengakui kemenangan Jokowi pada Pilpres 2019.

Semua itu memperkuat keyakinan bahwa desakan pembubaran FPI semata terkait alasan politis untuk mengurangi kelompok yang mendelegitimasi keabsahan hasil Pilpres 2019. HRS dan FPI praktis dikondisikan untuk dipinggirkan.

Aksi provokatif untuk meminggirkan FPI berujung pada usaha untuk membubarkannya. Kita juga memaklumi ada banyak kekuatan modal yang mengelola usaha “underground “, bawah tanah, dan memiliki sikap anti terhadap kiprah organisasi massa Islam ini.

“Mereka yang bergelut pada bisnis dan pemakaian narkoba, pelacuran, perjudian, dan hiburan malam penuh maksiat memilih posisi berhadapan (resisten) dengan FPI. Kelompok ini begitu gusar dengan intensitas kerja FPI,” tegas Sugito.

Mereka menganggap bahwa intensitas kerja FPI ini mengancam keberlangsungan bisnis dan aktivitas yang menciptakan penyakit sosial (social disease) itu.

Celakanya kelompok underground ini memiliki kapitalisasi untuk menanamkan pengaruhnya kepada publik dengan kampanye anti Ormas Islam yang memerangi kemaksiatan tersebut.

FPI yang memiliki kader dengan mobilitas tinggi dalam aksi memerangi penyakit sosial ini kemudian disebut lantang dan disindir dengan stigma mengejek, seperti ujaran ‘Preman Berjubah’ guna mengidentifikasi massa FPI.

Dalam tudingan yang lebih serius mencapai klimaksnya hari-hari terakhir ini, khususnya pasca Pilpres 2019 dalam mana Jokowi melanjutkan ambisi dua periode kekuasaannya di singgasana kursi presiden.

Menurut Sugito, FPI yang dikenal sebagai penopang massa politik pendukung Prabowo Subianto – Sandiaga Uno pada Pilpres 2019, kian tersudutkan tidak ubahnya parpol-parpol Koalisi Adil Makmur.

Situasi ini kemudian seolah mendapatkan angin untuk menyerukan pembubaran FPI dengan alasan, dalam AD FPI ingin menerapkan Syariat Islam di bawah naungan Khilafah, sehingga diklasifikasikan sebagai organisasi yang hendak merongrong ideologi bangsa.

Provokasi Buta Literasi

Luar biasa rasa kebencian yang dibangun dalam alam sadar penentang FPI yang melakukan provokasi meski mengalami kebutaan literasi. Pengusung kebencian yang memprovokasi pembubaran FPI tidak memahami latar belakang hadirnya FPI sebagai Ormas Islam yang inklusif (terbuka).

FPI jelas berkiprah untuk menggerakkan misi ammar ma’ruf nahi munkar (mengajak pada kebaikan, memerangi kemungkaran) dalam menyelesaikan berbagai problema kemanusiaan dengan pendekatan Keislaman melalui kerja kolektif dari seluruh umat Islam.

Mereka tak menyadari bahwa FPI didirikan oleh para haba’ib, ulama, muballigh serta aktivis muslim dan ummat Islam serta dipelopori oleh Muhammad Rizieq Shihab pada 17 Agustus 1998 (24 Rabiuts Tsani 1419 H) di Ponpes Al-Umm Ciputat.

Misi utamanya pada waktu itu adalah mengumandangkan reformasi moral dengan memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam memberikan kontribusi positif untuk kemajuan bangsa. Masyarakat yang bersimpati dengan FPI menyadari betul misi sosial ormas ini.

Dimana ada aksi penyelamatan bencana alam dan bencana sosial, seperti konflik rasial di seluruh penjuru negeri, FPI selalu menjadi unsur masyarakat sipil yang tampil terdepan dalam memberikan bantuan dan penyelamatan korban bencana (relief).

Aksi ini yang kemudian menuai simpati luas dan bahkan menarik atensi media massa asing, meski media massa mainstream nasional menutup mata dalam lima tahun terakhir. Sebelum menindaklanjuti niat untuk tidak memperpanjang izin Ormas FPI, Presiden Jokowi harus mengkaji lagi.

Sesuai desakan pendukung politiknya, pemerintah perlu wise (bijak bestari) untuk bersedia mengkaji secara cermat dan mendalam terhadap apa saja alasan yuridis yang tepat untuk dapat membubarkan organisasi massa Islam, seperti FPI.

Hal ini menjadi niscaya oleh karena jika dilakukan hanya atas dasar ketidaksukaan akan berdampak pada pemasungan hak sipil Konstitusional warga negara, serta menurunnya kualitas demokrasi di negeri ini akibat terpasungnya kebebasan masyarakat untuk berserikat dan berkumpul.

***