Mengapa orang-orang pintar tak mencari akar-masalahnya, kemudian dari sana mengetahui tindakan apa yang mesti kita lakukan, agar tahun depan tak melakukan hal-hal konyol?
FPI oleh pemerintah dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Catatan mengenai FPI ini, jejak digitalnya dengan mudah bisa diakses publik, bagaimana adat dan perilakunya perilaku.
Meski Pemerintah dengan berbagai Undang-undang yang harus dilaksanakan, mempunyai dasar hukum yang jelas (dianut oleh negara dan disepakati warga bangsa, sesuai ketetapan konstitusi), kita tahu, di Indonesia ini tetap saja keputusan hukum pemerintah yang berkuasa, dicoba dinegasi, dilawan, dan ditafsir-tafsir dengan framing tertentu.
Kita tahu media apa saja yang melakukan itu, dan orang-orang pintar siapa saja yang senang dengan ruang yang diberikan media seperti Tempo dan TV One (misal kita menyebut nama media). Apakah mereka bagian dari FPI? Atau simpatisan? Ini pertanyaan, nggak usah baper.
Tentu mereka punya kilah, atau dalih, atas sikapnya. Dan kita akan mendengarkan fatsal-fatsal klasik atas nama demokrasi, hukum, HAM, dan kebebasan berpendapat atau kebebasan pers. Saya di sini hanya menyayangkan, betapa keputusan kita dalam membangsa dan menegara, akan masih banyak hambatan.
Terhadap sesuatu yang final, mengenai sendi dasar dan filosofi negara, bernama NKRI berdasar Pancasila, yang atas hal itu kita sepakat anti radikalisme dan terorisme (dalam konteks memperlakukan keyakinan agama untuk dipaksakan sebagai sendi-dasar negara secara sepihak, sewenang-wenang, anti demokrasi dan kemanusiaan), tetapi tetap saja kita meributkan.
Tidak bisa menerima begitu saja dengan syarat dan ketentuan berlakunya. Apalagi, celakanya, yang dipermasalahkan adalah persoalan teknis, mekanismenya, bukan persoaloan esensinya. Itu pun, masih pula dilakukan dengan yang dinamakan tafsir, sebagai dasar argumen. Mau sampai kapan?
Di mana-mana, negara tentu akan dipimpin oleh pemerintahan yang memenangkan kontestasi demokrasi (jika kesepakatannya adalah itu). Yang kalah, tak punya pilihan lain selain membantu, dan memperbaiki performancenya sendiri untuk kontestasi demokrasi berikut.
Tapi, negara Indonesia ini akan masih punya banyak kendala, justeru oleh orang-orang yang ngaku pintar, baik yang punya media maupun dipergunakan oleh media. Mereka demen banget ngeributin hal yang tak esensial. Terjebak dalam politicking, dengan alasan-alasan heroik dan gigantik.
Segala hal dipolitisasi, tapi dengan tingkat disiplin rendah akan aturan demokrasi, yakni menghargai kesepakatan bersama yang disebut undang-undang atau aturan hukum. Ada orang bermasalah hukum, ada politikus gaek tapi goblok, mengajukan diri sebagai penjamin untuk pembebasannya.
Mengapa orang-orang pintar tak mencari akar-masalahnya, kemudian dari sana mengetahui tindakan apa yang mesti kita lakukan, agar tahun depan tak melakukan hal-hal konyol? Misal, dari sejak 1945, mengapa Indonesia masih saja tak bisa menyelesaikan masalah pencampuran agama dengan politik? Kok malahan meyakini bahwa politik dan agama tak bisa dipisahkan? Dan karena itu digoreng terus?
Bayangkan di Indonesia ini, ada orang katanya dosen filsafat, tapi soal Menteri Sosial blusukan saja, dipersalahkan. Ini filsuf atau tukang hasut?
Baiklah, slamat akhir tahun 2020, dan slamat jelang tahun baru 2021. Mohon maaf lahir dan batin.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews