Waspada Keselamatan Negara

Kunci utama ada pada social engineering. Negara harus mampu membangun kerangka kebijakan dan tata kelola dalam pemanfaatan waktu, dengan membuka berbagai ruang aktualisasi diri.

Kamis, 12 Desember 2019 | 05:28 WIB
0
297
Waspada Keselamatan Negara
Ilustrasi radikalisme di Internet (Foto: kiblat.net)

Tahun depan, negara indonesia merdeka genap berusia 75 tahun. Pengujung generasi ketiga dalam siklus keberlangsungan entitas kuasa. Setiap tiga generasi berlalu, nubuat Ibn Khaldun memperkirakan titik ini sebagai momen rawan bencana, yang bisa mengancam daya sintas negara.

Pada momen ini, menurut dia, solidaritas bersama terancam pudar. Para elite hidup mewah dalam jaring-jaring oligarki yang saling berseteru, tercerabut dari amanat penderitaan rakyat. Tak percaya lagi kepada elite, rakyat mencari berbagai cara untuk menemukan kerangka solidaritas (ashabiyyah) baru sebagai budaya tanding dan sandaran pengharapan. Konflik sosial bisa meledak di berbagai tikungan.

Dalam konteks inilah, ajakan Presiden Jokowi untuk memperkuat internalisasi dan implementasi Pancasila menemukan relevansinya. Bahwa ancaman terbesar bagi keberlangsungan negara ini adalah kehilangan orientasi.

Perjalanan politik negara mestinya dipimpin oleh ide, menghikmati ide, dan membumikan ide. Namun, sejauh ini, politik lebih dipimpin oleh oligarki, menghikmati oligarki dan membumikan oligarki. Tanpa ideologi, sebuah bangsa kehilangan kerangka solidaritas bersama dan bintang penuntun untuk bertindak.

Masing-masing bertindak atas dasar logika kepentingan. Rasa saling percaya lenyap; elite saling berlomba mengkhianati sesama dan negaranya. Sumpah dan keimanan disalahgunakan. Kebaikan dan kedalaman dimusuhi, keburukan dan kedangkalan dirayakan.

Pancasila sering disebut, namun lebih sebagai ritual pemanis bibir, yang tingkat kedalaman ucapannya hanya sampai di tenggorokan. Bila kita sungguh-sungguh ingin menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara, maka perlu kejujuran kesadaran bahwa pusat masalahnya justru terletak pada elite penyelenggara negara.

Arus utama prilaku elit politik tidak tegak lurus di atas imperatif moral Konstitusi. Pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945 menegaskan, "Negara berdasar atas ke-Tuhanan, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu undang-undang dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara, untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.”

Memang tak bisa dimungkiri adanya penguatan radikalisme di tengah masyarakat. Tapi, hal itu harus dihayati sebagai akibat, bukan sebab.

Ada tiga kelompok sosial yang rawan terpapar radikalisme: kaum muda, kaum ibu, kaum pensiunan. Hal itu ada kaitannya dengan "nilai waktu". Ketiga kelompok itu beban aktivitasnya relatif tidak terlalu banyak sehingga waktu dipandang lebih berlimpah. Apabila otoritas pemerintah tidak mampu memberi ruang aktualisasi yang positif, dalam menggunakan waktu luang, sementara kelompok-kelompok militan aktif mendekati dan melibatkan mereka dalam berbagai kegiatan dan jaringannya, maka di sanalah terpaan radikalisme bermula.

Jangan terlalu berlebihan mempercayai kekuatan media sosial (medsos) sebagai sarana konter-radikalisasi. Sarana utama penjaringan radikalisme/terorisme bukanlah lewat medsos, melainkan lewat jaringan pertemanan (friendship) dan kekerabatan (kinship). Media hanya digunakan sebagai sarana peneguh setelah orang terjerat dalam jaringan.

Oleh karena itu, kunci utamanya ada pada social engineering. Negara harus mampu membangun kerangka kebijakan dan tata kelola dalam pemanfaatan waktu, dengan membuka berbagai ruang aktualisasi diri.

Kaum terdidik perkotaan dengan aspirasi mobilitas sosial yang tinggi juga tempat persemaian yang subur bagi godaan ideologisasi. Bila harapan mobilitas sosial itu dirasa terancam oleh penyempitan kesempatan kerja dan usaha, mereka akan memproyeksikan permusuhan terhadap golongan lain yang dipandang biang keladinya. Dalam konteks itulah tarikan ke arah politik identitas bisa menguat.

Dengan kata lain, sosialisasi Pancasila lebih dari sekadar kampanye kreatif lewat medsos. Kita perlu memperbaharuai kerangka tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera yang dapat mencegah warga untuk terseret aliran ideologi lain yang dapat merongrong keberlangsungan negara.

Untuk urusan tata nilai, agen utamanya adalah komunitas (komunitas pendidikan, agama, pekerjaan, pemukiman, media, adat dan budaya, ormas dan organisasi politik). Tokoh-tokoh komunitas jangan sibuk terhanyut ke dalam perebutan dan pertengkaran politik praktis dengan mengabaikan tugas merawat nilai.

Untuk urusan tata kelola, agen utamanya adalah aparatur negara. Pejabat negara tak perlu sibuk khotbahi moral pada masyarakat, tetapi melupakan perbaikan tata kelola budaya, pemerintahan, dan perekonomian.

Untuk urusan tata sejahtera, agen utamanya adalah dunia usaha. Dunia usaha harus mampu memberi nilai tambah atas karunia sumberdaya negeri ini dengan input pengetahuan dan teknologi yang mengarah pada knowledge economy. Jangan hanya memperluas pundi-pundi kekayaan dengan melupakan kebajikan publik dan kesejahteraan umum. Para pengusaha besar harus punya sikap ugahari, dengan tidak menghabisi kesempatan usaha bagi ekonomi menengah dan kecil.

Di atas landasan pembagian peran dan semangat silih asih, asah dan asuh itulah, kita bergotong royong menjaga keberlangsungan negara.

Yudi Latif, Direktur Sekolah Pancasila

***

Keterangan: tulisan ini telah dimuat sebelumnya di  Harian Kompas, Kamis, 5 Desember 2019.