Mendesain Komunikasi Politik Jelang Pilkada

Media mainstream dan media sosial punya peranan penting dalam memuluskan proses demokrasi lokal ini. Bagaimana media bisa memperlakukan semua kontestan secara terhormat.

Rabu, 8 Januari 2020 | 07:00 WIB
0
227
Mendesain Komunikasi Politik Jelang Pilkada
Budhiana Kartawijaya (Foto: Dok. pribadi)

Desember 2019, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Bandung Barat (KBB) mengundang saya untuk diskusi tentang kehumasan Bawaslu. Ketua Bawaslu KBB Cecep Nugraha mengatakan, bahwa Bawaslu ingin agar komuniksi politik pemilu, pilkada, dan pileg bisa berjalan baik di KBB. Karena itu sejak awal Bawaslu ingin mengetahui aspek-aspek komunikasi yang harus dilakukan oleh sebuah lembaga politik lokal.

Kabupaten Bandung Barat baru saja menyelenggarakan Pemilihan Bupati (2019). Pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pemilihan anggota legislatif baru akan terjadi pada 2024. Bawaslu KBB sejak awal saya ajak untuk menyusun desain arsitektur komunikasi politik, agar ketika menyusun program 2024 itu, komunikasi politik sudah bisa dilakukan sejak awal.

Komunikasi politik memang harus didesain sejak awal. Selama ini orang selalu salah paham bahwa public relation (PR) selalu ditempatkan di ujung. Artinya, ketika suatu lembaga selesai mendesain sebuah program atau project, maka produk itu kemudian dikomunikasikan kepada public. Seringkali suatu program mendapat reaksi public, dan instansi tersebut kewalahan menghadapinya. Dalam keadaan seperti itu, upaya mengubah opini public, tidak semudah membalik tangan.

Demikian pula ketika negara menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, anggota legislatif maupun presiden, lembaga-lembaga penyelenggara pemilihan harus menyusun sebuah desain arsitektur komunikasi politik. Dalam kaitan ini, inisiatif Bawaslu KBB patut dihargai.

Dalam mendesain arsitektur komunikasi politik pada tingkat lokal, ada beberapa hal yang harus ada:

1. Pemetaan stakeholder politik lokal.
2. Pemetaan pelaku media: media mainstream, dan media sosial lokal.
3. Ada narasi yang sama di kalangan stakeholder politik lokal tentang tujuan politik lokal.

Stakeholder politik lokal adalah lembaga demokrasi resmi seperti Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), Bawaslu, parpol, pemerintah daerah, polisi, TNI, Ormas, pemimpin informal. Sejak awal, KPUD atau Bawaslu harus mengumupkan para stakeholder ini untuk menentukan narasi bersama. Misalnya saja narasi pilkada damai, tanpa kekerasan.

KPUD dan Bawaslu juga harus memetakan media mainstream mana yang berpengaruh di tingkat lokal itu, kemudian pelaku media sosial yang mempunyai pengaruh terhadap konstelasi politik lokal. Para pelaku media ini juga harus diberi arahan tentang narasi tersebut.

Khusus para influencer di media sosial, KPUD dan Bawaslu perlu mengajak mereka untuk menggunakan kode etik bermedia. Bisa saja kode etik wartawan diadopsi oleh mereka serta ikut memikirkan bagaimana agar isus-isu lokal yang sensitif tidak sampai menjadi letupan saat pesta demokrasi itu berlangsung.

Last but not least, media mainstream dan media sosial punya peranan penting dalam memuluskan proses demokrasi lokal ini. Bagaimana media bisa memperlakukan semua kontestan secara terhormat. Media mainstream lokal dan pelaku media sosial harus diajak untuk menghormati pihak yang menang maupun yang kalah dalam konstestasi politik ini.

KPU dan Bawaslu harus menyelenggarakan workshop bagi media tentang bagaimana menyukseskan narasi politik lokal ini. Perencanaan komunikasi dilakuakn sejak awal dan direncanakan secara bertahap. Jika semua stakeholder memerankan tugasnya sesuai dengan narasi yang disepakati, maka hal tersebut sangat membantu menyukseskan demokratisasi pada tingkat lokal.

***