Simpul Prabowo dan Pemahaman Politik Islam Konservatif

Kamis, 7 Maret 2019 | 09:49 WIB
0
158
Simpul Prabowo dan Pemahaman Politik Islam Konservatif
sumber gambar : detik.com

Prabowo bukanlah tokoh politik yang dilahirkan dari berbagai aktivitas keislaman, baik itu bidang sosial, budaya, religi, dan lain sebagainya. Prabowo bukanlah seorang uztad atau ulama. Sebagai orang awam yang ditokohkan, Prabowo tidak pernah terlihat memimpin Salat Jum'at, pemimpin kegiatan hari raya, ceramah (tausiah) dan bakti sosial di komunitas-komunitas Islam, dan lain sebagainya.

Namun demikian, dalam berpolitik, Prabowo paham bahwa bagi sebagian masyarakat di negeri ini, politik bersandarkan patron, tokoh atau para elit politik budaya dan keagamaan. Di sinilah "ruang bermain" politik Prabowo untuk mendapatkan label Islam dam perjuangan politiknya.

Bila melihat dari timeline "kelahiran politik" Prabowo yang sejak lahir tidak dimulai dari aktivitas yang erat dengan dunia keislaman, maka ada satu simpul tertentu yang secara cerdik Prabowo gunakan untuk eksis di dunia politik, dan kini menjadikannya Capres.  Simpul itu mampu memangkas "keharusan" menjalani timeline keislaman seperti ulama besar atau seorang aktivis Islam dikenal umat Islam

Pola "paternalistik" yang dianut kelompok Islam konservatif bahwa mengikuti apa saja "perintah" ; "fatwa" ; "anjuran" pemimpin komunitasnya (guru spiritual atau pemimpin religi) merupakan kunci perpolitikan Prabowo yang erat kaitannya dengan perjuangan Islam. Dengan bahasa sederhana sebagian umat Islam "ikut apa kata" pemimpin religi atau guru  spiritualnnya (uztad, ulama, kiai, pak haji).

Prabowo menggaet para elit Islam tersebut untuk menarik gerbong publik Islam ke jalur rel politiknya dengan deal kekuasaan, konsesi politik dan ekonomi serta berbagai turunan di dalamnya layaknya dinamika politik modern. Semua itu lebih bersifat keduniawian (profan).

Berbagai kepentingan, baik pribadi maupun umum para elit Islam bisa diakomodir Prabowo bila kelak berkuasa. Hal ini tidak tampak di ranah masyarakat arus bawah umat Islam. Selanjutnya elit politik Islam tersebut membawakan gerbongnya berisi umat Islam yang patuh kepada pemimpin umat. 

 

sumber gambar : msn.com

Hebatnya Prabowo berpolitik, para elit keagamaan beserta pengikutnya tunduk dan bersedia secara total dalam pemenangan Prabowo-Sandi pada Pilpres2019. Bahkan atas nama kebesaran Islam, demi membela kepentingan Islam, demi menyelamatkan umat Islam, dan lain sebagainya, mereka tidak segan menggunakan cara-cara yang menurut anggapan kelompok Islam lainnya bertentangan dengan Islam.

Pada kondisi tersebut tidak heran bisa timbul konflik atau persilangan pendapat soal tafsir-tafsir kitab suci. Terkait hal tersebut, Prabowo pemimpin "berlabel pemimpin pembela Islam" justru tak pernah tampil sebagai penengah dengan membawakan ilmu keislamannya ke hadapan berbagai kelompok yang bersilang pendapat tersebut. 

Namun herannya, kelompok Islam konservatif tak mempermasalahkan ketikdahadiran keislaman  Prabowo di ruang konflik antar kelompok Islam tersebut. Mereka seolah "pasang" badan untuk membela kekurangan Prabowo. Sebuah kekurangan yang-secara sadar atau tidak sadar--sebenarnya tidak sesuai dengan prinsip dasar keislaman kelompok mereka sendiri.

 

sumber gambar ; rcol.co.id
 

Pemimpin Komunitas Islam dan Citra Prabowo

Simbol-simbol Islam yang melekat pada seorang tokoh umat  Islam, pemimpin komunitas Islam, pemimpin hirarkis keislaman, dan sejenisnya menjadi sasaran yang mumpuni membentuk pencitraan Prabowo di entitas Islam.

Di situ, para tokoh Islam atau pemimpin umat menggambarkan kepada umat atau pengikutnya bahwa  Prabowo sebagai tokoh Islam. Prabowo pemimpin yang bisa membela kepentingan Islam. 

Disisi lain, pada masyarakat akar rumput menerimanya tanpa syarat atau merimanya secara tidak kritis karena memegang pakem bahwa umat tidak boleh mengkritik pemimpin umat karena hal itu "berdosa", dan "dijauhkan dari surga".

Padahal, dalam ruang privat tingkat elit, tak luput dari  kepentingan pribadi mereka. Hal ini tidak sepenuhnya dipahami para umat atau masyarakat di tingkat akar rumput. Kelompok umat atau masyarakat tersebut menyerahkan sepenuhnya kehidupan religi dan masa depan politiknya kepada sejumlah tokoh Islam di tingkat elit yang digaet Prabowo dalam perpolitikan Islam-nya.

Soal nihilnya kiprah keislaman Prabowo pada masa lalu dalam masyarakat Islam tak lagi dipersoalkan, baik oleh para tokoh Islam maupun pengikutnya--masyarakat tingkat bawah.

Cara politik Prabowo dalam memanfaatkan sentimen keislaman telah menjadi fenomena tersendiri di dalam peta politik dalam negeri. Pada satu sisi, hal itu menambah khasanah pengetahuan politik masyarakat. 

Namun di sisi lain, bila hal tersebut tidak menjadikannya sebuah pembelajaran berharga masa kini untuk masa depan, maka bisa mendegradasi dunia demokrasi dalam negeri dan pemahaman politik masyarakat, khususnya kelompok masyarakat Islam di tingkat arus bawah.

Pada masa datang, konsepsi ini bisa menjadi "cetak biru" yang menjadi pegangan bagi tokoh politik lain yang keislamannya "samar-samar" untuk memainkan politik  identitas keagamaan. Dengan catatan; tingkat pemahaman politik masyarakat Islam di tingkat arus bawah tidak berubah, atau tetap seperti sekarang ini.

Tapi sampai kapan cara berpolitik seperti ini diterapkan di negara kita?

***