Reaksi pendukung Prabowo setelah debat Pilpres sepertinya seru. Mereka kaget, ternyata Capresnya cuma punya kemampuan segitu doang. Bayangan bahwa Prabowo adalah lelaki dengan IQ 152, update segala info, sampai intelektual kelas dunia, tetiba ambruk.
Di atas panggung debat itu, Prabowo tampil sebagai sisa-sisa penguasa orde baru yang kaya dari konsesi kekuasaan. Dia terkesan kuno, pengetahuannya cetek tapi terlalu banyak omong. Bahasa Jermannya: Ngedabrus!
Setelah debat itu, kita jadi tahu apa yang dilakukan pendukung Prabowo selama ini. Mereka ternyata melingkari tuannya sedemikian rupa. Mensuplai informasi 'Asal Bapak Senang'. Mereka membangun pagar tinggi untuk menutupi mata Prabowo dari kenyataan.
Reaksi itulah yang juga kita saksikan di publik pascadebat. Pernyataan Jokowi mengenai luas lahan konsesi berstatus HGU seluas 340 ribu hektar yang dimiliki Prabowo, dianggap sebagai serangan pribadi. Padahal Prabowo yang memprotes keras pembagian sertifikat tanah pada rakyat.
Jika informasi mengenai luas lahan konsesi milik Capres dianggap serangan pribadi, lalu buat apa ada debat? Debat bukan melulu bicara soal konsep. Tapi sejauh mana Capres menjalankan konsep yang dibicarakannya dalam kehidupan kecilnya. Rakyat perlu tahu konsistensi seorang Capres.
Kalau protes membagian sertifikat buat rakyat kecil, tapi dia sendiri mengasai lahan seluas 10 kali kota Semarang. Itu namanya Ndobos.
Rakyat perlu tahu dari mana kekayaan Capres. Bagaimana gaya hidupnya. Apa yang dilakukan sehari-hari. Bagaimana keluarganya. Siapa saja lingkaran dekatnya. Semakin banyak kita tahu informasi tentang Capres akan semakin bagus juga. Sebab, kita mau memilih Presiden. Orang nomor satu yang akan mengelola negeri besar ini.
Soal lain yang menjadi masalah tim Prabowo adalah pertanyaan Jokowi mengenai unicorn. Prabowo gelagapan menanggapinya. Lalu pendukungnya protes. Katanya Jokowi menjebak dengan pertanyaan mikro.
Padahal, dunia sudah bergerak di alam digital. Indonesia sedang bergegas memasukinya. Anak-anak muda membicarakan perusahaan start-up dimana-mana. Start-up yang punya nilai valuasi di atas 1 miliar dolar AS disebut unicorn. Media banyak mengulasnya.
Artinya unicorn sudah jadi kosa kata umum. Sesuatu yang sangat familiar untuk orang yang suka baca berita.
Kalau ternyata Prabowo gak tahu apa itu unicorn, masa yang disalahkan Jokowi? Itu sama saja ada anak bodoh dikelas tapi menyalahkan temannya yang pintar. "Gara-gara lu pintar, gue jadi ketahuan bodoh deh, tuh..."
Jadi masalahnya bukan di pertanyaanya. Masalahnya ada pada kapasitas pengetahuan dan update informasi yang masuk ke kuping Prabowo. Kalau cara dia hidup dan berfikir masih di alam purbakala, mana mungkin update dengan perkembangan jaman. Mahluk jaman Flinstone gak cocok hidup di era Mobile Legend.
Kalau cara memandang dunia masih memakai cara usang, mana mungkin bisa membawa Indonesia maju. Itu sama saja mengobati bisul, dengan jampi-jampi.
Inilah yang seharusnya menjadi tugas tim Prabowo untuk memberi masukan. Ajarkan Prabowo tentang kenyataan. Informasikan dia mengenai perkembangan dunia. Kasih tahu ke dia, bahwa Indonesia sekarang berbeda dengan 30 tahun lalu saat dia masih jadi menantu Suharto.
Jangan memproteksi Prabowo dari dunia luar. Ajak dia jalan-jalan, menghirup aroma tubuh rakyat. Ajak ia blusukan agar kulitnya bersentuhan dengan derita orang kecil. Kenalkan Prabowo pada Twitter, Facebook, Instagram. Bukan hanya admin saja yang mengoperasikan akun atas namanya.
Kemarin itu debat Capres. Debat dua kandidat calon pemimpin negeri ini. Dan Prabowo bukan anak Balita yang harus terus dilindungi. Ditanya ini, gak boleh. Dikorek itu, diprotes. Terus maunya ditanya soal apaan?
"Kalau Prabowo ditanya sholat jenazah itu berapa rakaat, timnya akan protes juga gak ya?" ujar Abu Kumkum.
"Protes kenapa Kum?"
"Mereka protes. Masa nanya sholat jenazah sama orang yang masih hidup, sih."
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews