Bukan Perang Badar, Bukan Perang Total

Kamis, 28 Februari 2019 | 19:42 WIB
0
259
Bukan Perang Badar, Bukan Perang Total
Jokowi dan Prabowo (Foto: Kompas.com)

Pesilat Hanifan yang berselimutkan bendera Merah Putih, langsung menghampiri tribun VVIP tempat Presiden RI Joko Widodo dan para pejabat menyaksikan pertandingan. Dengan spontan Hanifan memegang tangan Presiden, dan menyatukannya dengan tangan Prabowo Subianto, lalu memeluk erat keduanya dalam dekapan keringat.

Momen berpelukan erat yang melibatkan dua Bakal Calon Presiden pada puncak acara pertandingan final Pencak Silat nomor tarung Kelas 55-60 kilogram putra Asian Games 2018 Jakarta itu sungguh berkesan mendalam di depan publik olahraga Indonesia, dan juga di mata masyarakat Indonesia yang tengah bersiap menggelar kontestasi Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2019.

Justru pada saat pesilat Indonesia Hanifan Yudani Kusumah mengalahkan pesilat Vietnam, Nguyen Thai Linh, di arena pertandingan silat Asian Games 2018 Jakarta di Taman Mini Indonesia Indah, Rabu (29/Agustus/2018).

Momen kemenangan di pertandingan final Pencak Silat nomor tarung Kelas 55-60 kilogram putra Asian Games 2018 Jakarta, ketika pesilat Indonesia Hanifan Yudani Kusumah mengalahkan pesilat Vietnam Nguyen Thai Linh, sungguh berkesan mendalam. Lupakan persaingan tajam kedua kubu Pilpres sesaat, dan berpelukan dalam rasa nasionalisme satu, nasionalisme Indonesia.

“Tadi dipeluk sama Hanifan, saya dengan Pak Prabowo. Enggak tahu, kok diajak barengan pelukan. Tapi yang jelas, baunya menyengat, bau harum karena menang. Bau apapun karena menang, harum semuanya...,” ucap Presiden Jokowi, ketika ditanya soal pelukan dengan Prabowo di pentas silat. (Tribunnews.Com, Kamis 30 Agustus 2018).

“Kalau sudah untuk negara dan bangsa, kita semua bersatu. Tidak ada perbedaan...,” kata Prabowo, tentang pelukannya dengan Presiden Jokowi, rival beratnya dalam kontestasi Pilpres 2019, usai kemenangan Hanifan atas Nguyen Thai Linh.

Dalam kemenangan untuk Indonesia, rupanya lupakan dulu perbedaan politik antara dua kubu Pilpres yang ketat bersaing. Indonesia! Indonesia! Dan momen tak kan terlupakan itu disambut riuh tepukan penonton yang memadati Venue Pencak Silat di TMII tersebut.

Event Olahraga memang merupakan momentum yang menyatukan Indonesia. Seperti terjadi di sepanjang pesta Olahraga Asia di Stadion Utama Senayan Jakarta dan Palembang, pada Agustus 2019 lalu. Tidak ada sekat Indonesia kubu Capres 01 Joko Widodo, dan kubu Capres 02 Prabowo Subianto di dada para penonton olahraga Indonesia.

Padahal, semua penonton di TMII itu tahu, cabang olahraga Pencak Silat ada di bawah binaan cabang olahraga pimpinan Prabowo. Sukses atlet-atlet silat Indonesia meraih 14 medali dari total 16 medali yang dipertandingkan di Asian Games 2018 Jakarta, tidak menjadi klaim sukses kubu Capres Prabowo semata. Akan tetapi sukses Indonesia.

Raihan medali emas Pencak Silat Indonesia kali itu merupakan catatan hasil terbaik Kontingen Indonesia di tingkat Asia, pada saat cabang ini untuk pertama kalinya digelar di Asian Games 2018 Jakarta.

Dan sebenarnya momentum “Kemenangan Indonesia” ini juga dirasakan, ketika Skuat sepak bola Indonesia tampil sebagai juara Piala Asian Football Federation (AFF) mengalahkan kesebelasan Thailand di Stadion Kamboja, Selasa 26 Februari 2019 malam. Di Tanah Air, kemenangan tim sepak bola Indonesia di tengah keterpurukan cabang olahraga ini dengan skandal suap pengurusnya, juga disambut sebagai kememangan Indonesia. Lupakan pula, kubu Capres yang bertarung di Pilpres...

Dalam olahraga, dimana sportivitas dijunjung tinggi, dan tidak mengemuka kepentingan politik? Nasionalisme muncul terdepan. Hilang sekat-sekat yang sehari-hari ada, jika tim Indonesia meraih kemenangan di arena pertandingan.

Andai saja kemenangan sepak bola ini di tingkat dunia? Wah, mungkin kubu Capres yang saling berselisih di media sosial, akan saling berangkulan. Lupakan kubu Jokowi, lupakan kubu Prabowo...

Mungkinkah semangat sportivitas seperti ini muncul di PemilihanUmum dan Pemilihan Presiden 2019 kali ini? Jika masing-masing pihak menyadari hakikatnya sebuah kontestasi Pemilu dan Pilpres, seharusnya ya itu bisa diwujudkan. Masing-masing pihak, kemudian pada akhirnya memberi apresiasi, mengakui keunggulan pihak lain yang memenangi Pemilu dan Pilpres dan lupakan kubu-kubu yang bertarung pada saat kampanye jelang pemilihan.

Karena, hakikat sebuah penyelenggaraan Pemilihan Umum dan juga Pemilihan Presiden, yang terpenting adalah sebuah sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin yang dianggap dapat memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. (Schumpeter, 1975:142).

Sebuah prosedur yang diselenggarakan bersama oleh rakyat, untuk melegitimasi kekuasaan dalam sistem demokrasi, di mana politisi dan partai politik mendapatkan mandat melalui pemilihan suara. Sebuah proses, yang menurut Schumpeter, pemilu identik dengan demokrasi itu sendiri. Individu, politisi, calon presiden, calon wakil presiden, dan calon pemimpin untuk mendapatkan kekuasaan dengan bersaing mendapatkan suara pemilih. Dengan fair, adil dan damai tentunya.

Lagi-lagi, contoh yang pantas diungkapkan kedamaian Pemilu ini terjadi pada Pemilu 1955, dimana saat itu sungguh suasana sangat tidak kondusif dan Indonesia yang baru 10 tahun merdeka di ambang perpecahan. Di luar pemilu, masyarakat dibuat galau dengan aksi pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Kartosuwiryo di Jawa Barat.

Dalam keadaan negara genting saat itu, anggota Angkatan Bersenjata dan Polisi ikut memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan pun, dituturkan dalam catatan, datang bergilir ke tempat pemilihan dengan aman. Pemilu 1955 yang waktu itu bertujuan memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante, berjalan dengan aman, tenteram dan bahkan dilukiskan sebagai “pemilu paling demokratis”.

Pemilu demokratis di awal Republik Indonesia itu – yang memperebutkan 260 kursi Dewan Perwakilan Rakyat dan 520 kursi Konstituante ditambah 14 Wakil Golongan Minoritas yang diangkat pemerintah di bawah Perdana Menteri (PM) Ali Sastroamidjojo (Ali kemudian mengundurkan diri, diganti PM Burhanuddin Harahap) – bisa berjalan aman dan tertib. Pemilu ilangsungkan dua tahap pada 29 September 1955 diikuti 29 partai politik dan individu, dan tahap kedua pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante.

Contoh yang sudah dilakukan oleh para pendahulu kita ini, tentunya akan sayang jika akhirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini bubar hanya karena peserta Pemilu dan Pilpres menyamakan arena pemilihan kali ini sebagai Perang Badar, dan juga Perang Total.

Sudah seyogianya, pondasi kuat yang dibangun para pendahulu kita, para pendiri bangsa sejak kemerdekaan RI tahun 1945, dan juga Pemilu Demokratis RI tahun 1955 ini kita lanjutkan dengan gelaran Pemilu dan Pilpres Damai tahun 2019.

Gejolak sudah wajar terjadi, lantaran yang berhadapan dalam pemilihan adalah kubu yang juga bersaing dalam kontestasi Pilpres lima tahun silam, Pilpres 2014. Yakni kubu Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Karena memang saat ini, pemimpin terbaik yang muncul di permukaan ya kedua tokoh tersebut.

Semoga spirit yang muncul di sisa waktu sebelum hari pencoblosan 17 April 2019 ini, bukan spirit Perang Badar atau Perang Total. Akan tetapi spirit demokrasi, yang terbangun dalam sebuah Pemilihan Umum yang Aman, Damai, sportif, dan mengedepankan keutuhan dan kesatuhan Negara Republik Indonesia. Semoga saja...

***