Menguak "Arab Spring Indonesia" dan Ladang Subur Radikalisme

Selasa, 15 Januari 2019 | 07:01 WIB
2
727
Menguak "Arab Spring Indonesia" dan Ladang Subur Radikalisme
Sumber: https://www.aljazeera.com

Pagi itu seorang kawan menelpon, asli Oman. Dulu dia bekerja bersama saya di Timur Tengah. Dia mengabarkan hendak ke Indonesia, kerja di sini. Karena Syiria Petroleum Company (SPC) tempatnya bekerja tutup.

Saya pun teringat ketika dulu kami sama-sama tejebak 20 jam di perbatasan Deir Ez-Zor, Suriah Utara. Terjadi demonstrasi besar besaran yang menutup pintu gerbang ke daerah minyak tersebut. Di inisiasi Hizbut Tahrir.

Kata supir bus yang mengantar kami, ini akibat dari intervensi Amerika yang ingin membangun kilang minyak besar di 2018 (saat ini sudah terjadi, kilang tersebut sedang dibangun).

Dia bertanya asal saya, saya dikira Filipino awalnya. Saya jawab berasal dari Indonesia. Sang supir terhenyak dan berkata..

"Your country will very soon... very soon brother"

Saya kembali ke Indonesia tepat ketika Suriah bergejolak, Qatar di embargo oleh Saudi dan ketika pemboman Thamrin dilakukan.

Kebetulan saya mendapat kiriman link youtube dari WA grup. Link itu di upload tahun 2014, seorang terkenal bersorban putih berkhotbah:

“Kalau pemerintah zolim, tentara jahat, polisi jahat, main tangkap, main tembak, rakyat hartanya dijarah, tanahnya dirampas, syariat Islam disingkirkan, kita besok perlu ISIS atau tidak?!” Kata si pengkhotbah panas.

“Perluuu…!!” teriak para jamaah.

“Takbiiir…!” pekik pengkhotbah itu. 

Pengkhotbah itu adalah Habib Rizieq Shihab (HRS), penggagas NKRI Bersyariah, sekaligus pentolan Front Pembela Islam (FPI) yang kabur ke Arab Saudi.

Siapa FPI?

FPI dibentuk resmi pada tanggal 17 Agustus 1998 tepat setelah orde baru tumbang. FPI sebagai bentuk selanjutnya dari Pam Swakarsa, d imana Pam Swakarsa dibentuk oleh Jendral Wiranto sebagai "jembatan vertikal" yang menghubungkan antara sipil dengan sipil, untuk mengakomodir konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah.

Konflik vertikal ini tentu merugikan. Rakyat dihadapkan dengan militer, untuk itu perlu jembatan penghubung, maka lahirnya Pam Swakarsa. Salah satu tugasnya adalah mengamankan Sidang Istimewa MPR 1998 dan pada 1999 untuk melindungi DPR dan pemerintah dari demonstran yang menolak transisi Soeharto ke Habibie.

Pada tahun ini, Kivlan Zein sendiri memberi kesaksian bahwa dirinya diperintahkan oleh Jendral Wiranto untuk mengumpulkan massa. Inilah embrio dari Pam Swakarsa. Kivlan saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Kostrad, di mana atasannya, yaitu Prabowo Subianto menjadi Panglima Kostrad. Kedekatan Kivlan dan Prabowo sendiri terjalin sejak lama, salah satunya ketika mereka sama-sama bertugas di Timor Timur.

Nah, dari sini mulai nyambung kan dengan kondisi sekarang? Oke, kita lanjut.

Berjalan bulan, Pam Swakarsa dinilai terlalu pro pemerintah, masyarakat sudah tahu bahwa Pam Swakarsa didanai pemerintah, maka perlu suatu wadah khusus agar Pam Swakarsa bisa melebur bersama masyarakat, munculah FPI, dengan tambahan kalimat "Islam" agar tampak strategis.

FPI pro ISIS?

Dari pidato HRS sendiri, sudah jelas bahwa FPI tidak menolak ISIS bahkan mengizinkan ISIS untuk masuk ke Indonesia. ISIS adalah organisasi sempalan Al-Qaeda. Dibentuk ketika krisis Suriah untuk menjatuhkan pemerintahan Bashar Assad, dimana Abu Bakr al-Baghdadi (pemimpin Al Qaeda Irak) menyerukan penggabungan perjuangan Irak dan Suriah.

Hal ini ditentang oleh kelompok Jabhah Al Nusra pimpinan Al Julani. Informasi saja, Al Nusra ini juga 'anaknya' Al Qaeda. Mereka pun pisah. Al Qaeda melahirkan anak yang nakal, beringas, susah diatur dan mata duitan, ISIS.

Al Qaeda dan juga ISIS dalam sejarahnya merupakan 'tentara' besutan Amerika. Hal ini diakui oleh Hillary Clinton dalam wawancara dengan Fox News, Hillary mengatakan bahwa tujuan pembentukan tentara mujahidin di Afghanistan adalah upaya Amerika untuk mengusir Uni Soviet dari Timur Tengah, dan rencana itu berhasil.

Lambat laun, para tentara mujahidin tersebut menjadi monster. Mereka berkembang memainkan kepentingan Geopolitik di Timur Tengah. Beberapa media mengungkapkan terkejutnya AS pada perkembangan para 'monster' ini, namun menurut saya justru sebaliknya. Amerika terlihat senang. Juga Saudi, kawan lama.

Suriah adalah hal tersulit dari sekian banyak penggulingan kekuasaan di Timur Tengah. Posisi Bashar Assad sungguh kuat. Para faksi jihadis seperti ISIS, Ikhwanul Muslimin (IM), HT dan Al Qaeda pun bersatu. Ini terinspirasi dari keberhasilan faksi jihadis ini di negara Timur Tengah lainnya, yang disebut sebagai "Arab Spring".

Kronologis Arab Spring

Pertama adalah Tunisia, terjadi Revolusi Yasmin yang menggulingkan Presiden Ben Ali yang berkuasa lebih dari 20 tahun. Dimotori oleh partai Ennahda yang beraliran IM. Disusul oleh Revolusi Mesir yang juga didukung oleh IM untuk menggulingkan Presiden Husni Mubarak yang juga berkuasa lebih dari 20 tahun.

Disusul keberhasilan IM di Maroko, setelah Partai Keadilan dan Pembangunan memenangkan pemilu dan kadernya menjadi Perdana Menteri. Selain itu, di Yaman dan Libya revolusi tak terhindarkan.

Yaman, pergolakan akibat memberontaknya kelompok Houti yang beraliran Syiah. Sedangkan Libya ditunggangi oleh kepentingan asing yang membaur dalam revolusi. Khadafi yang berkuasa lebih dari 20 tahun akhirnya tewas terbunuh.

ISIS masuk ke Yaman dan Libya di akhir setelah revolusi terjadi, memanfaatkan situasi yang carut marut pasca revolusi. Alasan ISIS masuk ke Yaman adalah ingin membantai Houti yang Syiah dan alasan masuk ke Libya belum diketahui selain penguasaan ladang minyak.

Siapa Ikhwanul Muslimin?

Jika kita sudah tahu siapa ISIS, Lalu siapakah Ikhwanul Muslimin? Mengapa IM begitu berhasil menggulingkan pemerintahan otoriter di Timur Tengah?

Ikhwanul Muslimin, hadir dengan konsep Negara Islam. Islam sebagai solusi, dan Khilafah Islamiyah harga mati.

IM berdiri pada tahun 1928 oleh Hassan Al-Banna. Mengusung konsep Islam murni bermahzab Hambali. Di dorong oleh kegalauan Banna terhadap Mesir yang dianggap kebarat-baratan akibat pengaruh ex-jajahan Inggris.

Banna mendirikan IM bersama 6 orang kawannya. Militansi anggota IM yang pro-Palestina membuat nama IM berkibar, dari yang semula hanya 800 orang di tahun 1936, naik menjadi 200.000 orang di tahun yang sama. Konsep IM adalah memulai dakwah dari akar rumput. IM menjemput bola ke kampus-kampus dengan membuat sistem Tarbiyah.

Nah, yang khas dari IM adalah IM tidak mengharamkan politik dan demokrasi. Menurut Banna, tidak masalah umat Islam menerima sistem demokrasi dan nasionalisme, yang penting kehidupan syariat Islam berjalan dalam suatu negara. IM menurut Banna justru harus masuk ke lingkup politik, masuk secara intelektual.

Ini bertentangan dengan Taqiuddin Nabhani, seorang pentolan IM, yang tergabung dalam faksi garis keras di dalam tubuh IM, dinamakan Tandhimul Jihad. Tandhimul Jihad ini ikut perang, dan dilakukan doktrin-doktrin ala jihadis radikal pada umumnya.

Nah, Taqiuddin berpendapat kekalahan dunia Arab karena mereka mentolerir adanya sistem demokrasi dan nasionalisme. Menurut Taqiuddin, sistem demokrasi adalah sistem pemerintahan yang Taghut. Bukan sistem Khilafah yang murni. Karena berbeda pendapat inilah maka Taqiuddin keluar dan mendirikan kelompok sendiri, bernama Hizbut Tahrir (HT).

Berbeda dengan Hizbut Tahrir, IM memadukan pengetahuan dasar Islam dengan sistem politik yang cair, hal ini dilakukan bertahun-tahun lamanya, sehingga memiliki basis massa dan organisasi yang kuat. Percobaan pertama adalah Tunisia, dan berhasil.

Pengaruh IM semakin merajalela, mereka juga mendompleng kepentingan Amerika di situ. Seperti di Mesir. Amerika memiliki kepentingan soal pinjaman uang, dan itu hanya bisa dilakukan jika ekonomi Mesir dalam kondisi terpuruk, ekonomi bisa dihancurkan dengan cara politik. Maka Husni Mubarak harus turun.

Lantas apakah Daulah Islamiyah diterapkan di negara yang mereka kuasai? Tidak juga, ini karena sistem IM masih mentolerir sistem demokrasi. Tidak seperti HT yang radikal dan tidak mau menerima paham yang lain, akibatnya, HT dimusuhi di seluruh dunia, bahkan di Timur Tengah sendiri.

Mengapa Indonesia?

Pertama, Indonesia kaya sumber daya alam. Kedua, Indonesia memiliki basis massa Islam paling banyak. Ketiga, mudah disusupi karena rasa empati yang tinggi.

Bagi kelompok jihadis ekstrim di Timur Tengah, Indonesia adalah ladang subur bagi tumbuhnya faham radikal. ISIS butuh tambahan tenaga di Suriah, mereka juga butuh sumber daya alam yang banyak, HT butuh realisasi cita-cita dan IM butuh eksistensi di dunia. Indonesia memenuhi syarat untuk itu semua.

Tapi itu tidak mungkin jika Orba masih berkuasa sehingga sama seperti negara lain, kelompok radikal menunggu waktu yang pas untuk berkembang.

Dimulai dari Ikhwanul Muslimin. Saya yang kuliah di masa awal reformasi sempat mengikuti beberapa Gerakan Tarbiyah yang diinisiasi oleh Lembaga Dakwah Kampus (LDK), saya baru tahu belakangan bahwa di balik Tarbiyah (dan LDK) adalah PKS setelah saya diberi buku oleh senior kampus, buku itu adalah buku karangan Anis Matta. Saya diminta membaca habis buku itu, lantas bercerita isi buku kepada kawan-kawan yang lain.

Bukan hanya itu. Di dalam Kampus pun gerakan Tarbiyah memainkan politik praktis, seperti ikut dalam pemilihan ketua Senat Mahasiswa, menguasai lembaga eksekutif kampus dll. Dari sini cikal bakal sistem IM berjalan.

Begitu pun Hizbut Tahrir, bedanya, HT bermain langsung ke dakwah-dakwah kampus, berawal dari kampus Bogor. HT tidak bermain politik di dalam kampus, HT menjaga jarak dengan fokus dakwah di masjid-masjid tertentu. Seperti Bogor, UIN dan Masjid Salman Bandung.

Khusus Masjid Salman Bandung ITB, sedari dulu memang sudah dipakai untuk diskursus agama. Para Mahasiswa digodok kematangan ilmu dan filosofinya, menginap di Masjid bukan hal yang aneh. Segala aliran ada disitu, tapi yang paling dominan memang pemikiran IM dan HT. IM dan HT dinilai paling rasional untuk diterapkan.

Sedangkan Al Qaeda, ISIS ataupun Jamaah Islamiyah bukan sebuah paham, melainkan sebuah gerakan. Info saja, HT bertentangan dengan ISIS. HT menginginkan penerapan Daulah Islamiyah secara total tanpa kekerasan. Sedangkan ISIS ingin penerapan itu berlangsung total dengan menghalalkan segala cara.

Terlihat kan bedanya?

Namun ketiga kelompok ini (ISIS, HT dan IM) memiliki irisan yang sama, merasa paling benar dengan ke-Khilafahan Islam. Bagaimana caranya?

Indonesia adalah negara multi-kultur, meskipun Islam adalah mayoritas. Indonesia memiliki NU dan Muhammadiyah sebagai basis Islam. Sulit masuk ke Indonesia selain mendompleng kepentingan penguasa atau calon penguasa.

Yang paling siap adalah IM melalui PKS-nya. PKS pun sudah memiliki kursi di parlemen. Namun IM memiliki kelemahan substansial, yaitu kegagalan mengelola negara. Tunisia dan Mesir tak kunjung membaik, bahkan semakin buruk ekonominya. IM hanya siap merebut, namun tidak siap menjalankan.

Ini tampak pada PKS di Indonesia, bisa mendapat kursi di parlemen sepertinya sudah membuat puas para elit PKS. Kasus korupsi bertubi-tubi membuat PKS semakin lama semakin ditinggalkan pengikutnya. Sebelum tenggelam PKS harus mencari jalan lain, bergabung dengan partai oposisi lain: Gerindra.

Toh Gerindra dengan Prabowo sudah didukung terlebih dulu oleh FPI, seperti yang saya ceritakan di awal. Melalui hubungan Kivlan dan Prabowo sebagai pembentuk embrio FPI. 

FPI yang keras menyimbolkan ke-ISIS-annya, cocok dengan pidato Habib Rizieq. Salah satu ciri khas ISIS adalah penguasaan sumber daya alam.

Dan apa yang dituju? Ya benar, pengembalian aset Indonesia ke tangan Amerika. Utamanya Freeport. Amerika di Indonesia memang berdiri di dua kaki, Amerika toh gak rugi-rugi amat Freeport jatuh ke Indonesia, Amerika masih menguasai 49% saham plus skema pengambilalihan yang masih menguntungkan.

Namun, jangka panjang kedekatan Indonesia dengan Tiongkok dan Rusia pastinya mengkhawatirkan Amerika, dan untuk itu Amerika harus bersiap diri. ISIS sebagai bentukan Amerika harus berperan aktif, ISIS tidak bisa eksis di Indonesia, harus ada tangan lain.

Di sinilah IM via PKS dan HT merapat. Mereka butuh satu moment saja untuk bersatu. Dan seperti di aminkan, munculah kasus Ahok. Kasus Ahok suka atau tidak suka adalah momen untuk ketiga poros Islam garis keras itu bersatu. Mereka merapatkan barisan. Tujuannya satu: Berkuasa. Allan Nairn menulis di tirto.id bahwa kasus Ahok adalah dalih untuk makar.

Nah, yang terakhir adalah karena orang Indonesia memiliki empati yang tinggi.

Berawal dari Suriah dengan tagar "SaveAleppo". Tagar ini mengusik empati kita, kita tergerak untuk prihatin dan membantu Suriah. Inilah yang kemudian disusupi oleh faksi radikal: Bantulah Suriah dengan mendukung kami. Kami di sini adalah: ISIS, IM dan HT.

Ada yang menarik dari sebuah diskusi di Masjid Salman. Seorang pakar IT Ismail Fahmi, mengungkapkan fakta bahwa buzzer politik yang mencuit Save Aleppo ternyata juga mencuit tagar ganti presiden. Jadi jelas ada hubungan antara para pejuang Suriah (ISIS, HT, IM) dengan gerakan ganti presiden.

Indonesia akan di-Suriah-kan?

Bisa jadi, jika Suriah diserang salah satunya karena isu Syiah, maka Indonesia pun bisa, dengan dalih Jokowi anti Islam, antek Tiongkok, bahkan fitnah komunis. Komunis masih menjadi isu terseksi 2014-2019.

Ini sebuah bukti bahwa radikalisme di Indonesia adalah grand design yang tidak sembarangan. Terstruktur dengan rapi dan melalui jalan panjang. Bahkan ketika Khilafah tidak didukung oleh mayoritas rakyat Indonesia, FPI sudah punya Plan B: NKRI Bersyariah. Apa itu? Nanti kita bahas.

Hanya tugas kita saat ini, mau diam saja, atau mulai beraksi? Your country will very soon brother..

Ah, tulisan yang panjang, kopi ku perlahan mulai dingin...

***