Politik Kita di Hari-hari Ini

Sabtu, 9 Februari 2019 | 21:04 WIB
0
350
Politik Kita di Hari-hari Ini
Rocky Gerung (Foto: Pojoksatu.id)

Ijtima ulama menyepakati bahwa ulama dihargai dan diberikan jalan ikut dalam pucuk kepemimpinan negara, dan Jokowi menaati ijtima ulama itu. Lalu dipilihnya KH Ma'ruf Amin, sementara Prabowo lebih memilih Sandiaga Uno sebagai wakilnya dengan berbagai macam perhitungan politik dan tentunya logistik.

Beberapa saat kemudian, citra Sandiaga dipoles dan dipaksakan bahwa dia bagian dari Santri, lalu diangkat lebih tinggi lagi Sandiaga itu ulama.

Banyak ulama yang punya ilmu pengetahuan keagamaan tinggi beralih dukungan ke Jokowi seperti TGB, karena mereka melihat paradoks yang ada dalam diri Prabowo. Di mana Prabowo menggunakan Ijtima Ulama sekedar lisensi politik bukan esensi dalam berpolitik...

Ketika banyak ulama berbondong bondong berpihak pada Jokowi, digunakanlah manuver yang berani dari pihak Prabowo, digunakan orang filsafat sekuler macam Rocky Gerung untuk mencari alasan mengunci alam akal pikir masyarakat.

Soal ini juga aneh karena esensi dari Filsafat adalah berpihak pada kebenaran universal, pada hakikat kebenaran, dan ketika itu digunakan sebagai gimmick sebagai alat pemihakan yang didasari kesadaran palsu hanya untuk elektoral politik, maka esensi filsafat itu hilang seketika.

Bahkan Rocky Gerung dalam jejak digital menggunakan Pancasila sebagai alat pembenaran terhadap ruang Atheis, inipun hal aneh tapi seakan diterima sebagai bagian pendapat nalar publik karena semua terkunci dalam bahasa bahasa keberpihakan politik. Karena setiap orang Indonesia pun tau, esensi dari Pancasila, adalah satu Sila menjiwai Sila yang lain, tak boleh terputus, dimana sila pertama situasi batin sampai sempurna sila ke 5 keadilan sosial yang intinya dari kesempurnaan penataan empat sila sebelumnya.

Tapi karena Rocky Gerung berpihak pada Prabowo ia bicarapun diteriaki kalimat takbir. Akal Sehat dijadikan sekedar jargon bukan kalimat yang terus menerus menerobos dan menggelisahkan nalar, tapi digunakan sebagai alat band wagon effect mencari kanal dukungan ke Prabowo.

Rakyat melihat panggung ini, rakyat juga punya perasaan dan pikiran dalam menilai, agenda agenda teknik kampanye model seperti ini mulai dibaca oleh rakyat dan dirasakan janggal, inilah kenapa elektabilitas Prabowo sangat rendah sekali dan belum mampu naik, karena lama lama rakyat juga tau siapa yang sesungguhnya memiliki etika dalam menuruti kemauan masyarakat.

Salah satu kelemahan demokrasi memang one man, one vote. Ini artinya nalar diserahkan pada kemampuan politik yang bisa menciptakan situasi massif berpihak padanya besar kemungkinan juga dalam situasi massif demogagi lebih penting daripada pedagogi, pidato yang menghasut lebih penting daripada pendidikan politik, dalam demokrasi semua menjadi sah sah saja.

Namun kelebihan dari demokrasi adalah "fakta menyebar pada nalar, dan alam rasio diletakkan pada kesadaran, salah satu hukum alam rasio adalah sesuatu apapun bentuknya akan berpihak pada fakta". Nah, siapa yang memenangkan fakta politik dan mampu membangun kesadaran akan preferensi pilihan politik berdasarkan fakta dialah yang menang.

Rakyat melihat dan merasakan, jangan pikir ruang pergerakan rakyat itu suatu yang hampa, sebuah kertas kosong yang disiapkan dengan tinta dikte dikte, justru kecerdasan dalam preferensi politik ada pada catatan keseharian rakyat... jadi ketika kebohongan, manipulasi, menguasai ruang publik dengan serangan verbal yang berulang ulang menjadi senjata, itu tidak akan menang karena sudah jadi hukum kehidupan : "Siapa sih yang bisa melawan fakta". Karena fakta itu korelasinya tinggi sekali dengan nalar.

Jadi ketika Rocky Gerung mempropagandakan akal sehat dalam gimmick politik, dia melupakan sesuatu, yaitu "fakta". Akhirnya filsafat hanya dijadikan alat propaganda, ini lebih parah dari Filosof Besar Jerman, Heiddeger yang memihak kepada Nazi lalu kemudian mengurung dirinya di kabin kecil tengah hutan seraya mengingat jebakan masa lalu.

Karena filsafat berbeda dengan propaganda, dalam propaganda sasaran pangsa pasarnya adalah Homines quod volunt credunt, manusia mudah mempercayai hal hal yang diinginkannya, sementara filsafat tidak mempercayai apapun sebagai titik awal perjalanan apalagi hanya soal propaganda, bisa mati tertawa Socrates di Pasar Athena...

***

Anton DH Nugrahanto