PDIP, Menjadi Oposisi maupun Memegang Kekuasaan Sama Baiknya

Minggu, 6 Januari 2019 | 20:42 WIB
0
215
PDIP, Menjadi Oposisi maupun Memegang Kekuasaan Sama Baiknya
https://tirto.id/

Ulang  tahun ke-46, PDI-P cukup dewasa sebagai sebuah partai. Bicara dewasa tentu melewati halang rintang dengan bijak, dan itu kenyang dialami PDI dan PDI-P. Pupuk bawang era Orde Baru, namun langsung menang dalam periode transisi, reformasi. Berbicara kemenangan namun pedih nantinya. Obyek pelengkap saja dijalani, apalagi menjadi oposisi.

“Dikadali” rival yang pura-pura jadi teman, atau dikerjain habis-habisan memang lawan yang head to head, pun pernah dialami. Semua bisa dijalani dengan relatif baik-baik saja. Pun ketika memegang tampuk kekuasaan semua berjalan relatif baik. Menjalankan peran politik sama baiknya, dan itu baik untuk pembelajaran bagi bangsa dan negara di mana demokrasi selama ini masih asal kuasa.

Tak ada gading yang tak retak. Sangat mungkin namanya dunia. Demikian pun PDI-P, masih banyaknya yang gagap dan kaget ketika menjadi penguasa, kemenangan yang ternyata tidak cukup terduga secara mendasar, sehingga mereka kadang salah bersikap. Ada yang kemaruk dan akhirnya korupsi. Atau sikapnya kadang lupa posisi dan malah seolah oposisi.

Konsistensi Apapun Posisinya

Susah melihat partai yang bia bersikap demikian. Lihat  bagaimana galaunya Golkar, P3 tidak bisa menjadi pembanding karena beda kasus. Golkar selalu bermanufer untuk masuk pada kekuasaan. Sejak era SBY dan juga era Jokowi sikap yang sama. Pada pilpres mendukung siapa dan ketika usai ketetapan toh ikut juga. 2004 mereka tidak mengusung SBY toh ikut dalam pemerintahan. Demikian juga 2014. Khas Golkar, bukan PDI-P.

Oposisi Bermartabat

Sebentuk pembelajaran, konkret ketika kini ada oposisi dengan sikap bukan kritis, tapi nyinyir tingkat langit. Oposisi itu memang harus kritis dan memberikan kritik, namun bukan asal-asalan dan selalu menilai salah apapun keputusan, bahkan kadang pernyataan semata saja jadi gorengan berlebihan.

Pengawasan itu harus dan diperlukan. Dan PDI-P bersama Gerindra dulu bisa berlaku dengan baik. Kritis dalam hal-hal yang tidak semestinya dan mendukung dalam kondisi memang demikian. Bandingkan sekarang, hal itu kini sama sekali tidak ada. Semua asal pemerintah itu salah dan perlu dipersalahkan.

Pemegang Pemerintahan

PDI-P cukup berpengalaman menjadi pengusung utama yang memegang tampuk kekuasaan. Pembelajaran baik adalah pemilu bahkan pilpres karena toh incumbent pun kalah. Coba lihat ada yang menang kan pas memegang pemerintahan. Dan ketika di  luar pemerintahan tingkahnya luar biasa menjengkelkan.  

Artinya, pembelajaran bagi bangsa ini untuk melihat mana yang baik dan mana yang asal berkuasa. Ini fakta.

Sementara menjadi pemegang pemerintahan lebih dari sekali. Bandingkan partai lain, paling-paling pendukung kader dan tokoh partai lain. Berbeda dengan PDI-P ketika Megawati sebagai ketua umum dan Jokowi yang adalah kader menjadi presiden. Cukup menggembirakan, di mana itu diraih di masa reformasi dan pemilihan langsung. Golkar hanya satu orang dan itu karena pemilu akal-akalan.

Pengalaman Panjang dalam Kondisi Terjepit

Jelas ini merupakan representasi politik sejati. Di mana proses mendapatkan kekuasaan itu dengan jalan panjang, proses  berliku di dalam menjalankan proses politik. Dikejar-kejar kekuasaan dan penguasa yang takut dilengserkan bertahun-tahun.

Keberanian untuk bersikap yang berbeda atas sikap Orde Baru ini belum ada yang menyamai dan tidak akan ada yang bisa melakukan. Puncaknya jelas kudatuli, di mana gedung DPP mereka diserbu oleh “orang” yang hingga kini masih  misteri, dan hingga jatuh korban.

Dikadali oleh politikus yang mengaku teman, pendekatan sentimen agama pun dimulai. Pemenang pemilu, tetapi pilihan presiden, kala itu masih melalui MPR, kalah. Kekalahan yang menyesakkan tentunya, toh tidak menjadikan sikap PDI-P ugal-ugalan dan main boikot ataupun nyinyir. Berjalan normal laiknya politikus ulung.

Tidak ada intaian untuk menjatuhkan seperti kali ini, di mana apapun arahnya menjatuhkan pemerintahan. Tidak ada saladur, salahnya Gus Dur seperti sekarang apa-apa salawi, salahnya Jokowi.

Beralih menjadi presiden pun initiatif utama bukan gerak PDI-P, inisiator oleh politikus haus kuasa, dan itu bukan kader apalagi elit PDI-P. Keterlibatan untuk menjatuhkan pemerintahan minimal.

Menang lagi usai sepuluh tahun menjadi oposisi elegan, lagi-lagi rival main kayu. Pemilihan ketua dewan dikalahkan karena adanya partai politik memainkan dua kaki, ala Golkar dan Demokrat. Di mana mereka mendapatkan kursi pimpinan tanpa kerja seperti Demokrat. Atau ada di dewan dan pemerintahan ala Golkar.

Usai empat tahun baru memperoleh salah satu kursi wakil ketua, padahal dulu-dulu, ketua dewan itu selalu pemenang pemilu. Toh perilaku di dewan juga tidak asal-asalan, main boikot, atau tidak bekerja. Hanya pada tiga bulan awal, politikus kanak-kanak yang menguasai, sehingga tidak bisa bekerja sama sekali.

Apa yang telah dilakukan PDI-P cukup berbeda dan memberikan gambaran bahwa politik beretika itu tetap bisa. Sering orang mengatakan politik itu pokoknya berkuasa, soal cara tidak penting. Toh PDI-P bisa menunjukkan hal yang berbeda. Menjadi oposisi atau memegang kekuasaan bisa sama baiknya.

Salam.

***