Kontrak Politik versus Visi Misi

Daripada menunggu angin surga belaka mendingan menerima yang pasti meskipun tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan jangka panjang.

Sabtu, 14 November 2020 | 06:43 WIB
0
262
Kontrak Politik versus Visi Misi
Ilustrasi kontrak politik (Foto: jambiupdate.co)

Bagaimana membaca fenomena kontrak politik antara kandidat dengan masyarakat yang selalu muncul setiap pilkada? Sejauh mana sebuah kontrak politik mengikat secara hukum?

Kontrak politik yang disepakati antara kandidat dengan masyarakat menyangkut penyelesaian suatu masalah bukan merupakan dokumen hukum, sehingga tidak melekat suatu hak maupun kewajiban diantara para pihak dalam merealisasikan apa yang menjadi kesepakatan dalam kontrak tersebut. Sebaliknya pengingkaran terhadap kesepakatan tidak dengan sendirinya memberi hak pada masyarakat menuntut pemenuhan akibat wanprestasi yang dilakukan kandidat ketika yang bersangkutan terpilih.

Jika tak yakin coba tengok klausul yang disepakati dalam kontrak politik tersebut. Biasanya materi yang disepakati spektrumnya terlalu luas dan tidak dijelaskan secara detail mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Karena tidak diatur secara detail sulit bagi masyarakat menuntut manakala kandidat ingkar janji atau melakukan wanprestasi. Karena bukan merupakan kontrak hukum, penyimpangan terhadap materi kontrak politik sulit dituntut pemenuhannya melalui lembaga hukum seperti pengadilan atau lewat mekanisme arbitrasi.

Berbeda dengan visi misi kandidat yang sejatinya merupakan janji kampanye yang harus ditunaikan saat menjabat kelak. Mekanisme pertanggungjawaban kandidat terhadap janji kampanyenya yang dimuat dalam visi misi bisa ditagih. Apa yang dijanjikan kandidat selama kampanye yang dirumuskan dalam visi misi akan ditungkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) kabupaten/kota yang harus ditunaikan kandidat dalam masa jabatannya selama lima tahun.

Itu sebabnya dalam merumuskan visi misi kandidat tidak sekedar asal membual dan jual kecap karena jangan sampai apa yang dirumuskan dalam visi misi-nya selain tidak realistis juga tidak selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP Daerah) dan memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM Nasional) yang menjadi pedomannya.

Beragam cara yang dilakukan kandidat untuk memperoleh suara pemilih membuat kandidat seringkali bak kehilangan akal sehat yang membuat kita geleng-geleng kepala. Agar terlihat lebih menonjol bila kebetulan memiliki program yang sama dengan kandidat lainnya, biasanya mereka akan membuat kesan mampu menyelesaikan masalah serupa lewat mantra ajaib "simsalabim abracadabra" sebagaimana dalam kisah seribu satu malam.

Untuk mengatasi masalah air bersih atau kesulitan air bagi petani di suatu daerah saat musim kemarau misalnya, para kandidat berlomba menawarkan penyelesaian terbaik. Komitmen menuntaskan masalah kesulitan air bersih dalam seratus hari kerja pertama sejak menjabat yang dikemas dalam sebuah kontrak politik dianggap solusi brilian.

Padahal mereka menyadari untuk menyelesaikan masalah kesulitan air bagi masyarakat satu kecamatan misalnya sudah sedemikian kompleksnya, bahkan para pendahulu mereka yang rata-rata berkuasa dua periode gagal merealisasikannya. Faktanya kemudian sebagaimana yang publik saksikan, janji tinggal janji, apa lagi jika yang menjanji adalah petahana.

Membuat janji politik yang tidak realistis tentu tidak semudah merealisasikannya sehingga dibutuhkan siasat atau muslihat untuk meyakinkan pemilih. Salah satunya dengan memanfaatkan legitimasi hukum lewat kontrak politik. Kesepakatan dalam hukum, halnya menurut agama bersifat holy (suci) sehingga secara moral keagamaan maupun komitmen hukum harus ditunaikan. Dengan memanfaatkan dua legitimasi sekaligus, hukum dan agama kandidat berharap kesadaran publik bisa dimanipulasi.

Lantas, apakah pengingkaran pemenuhan sebuah kontrak politik bisa diajukan sebagai delik pidana penipuan?

Justru karena pengingkaran terhadap kontrak politik tidak memenuhi unsur delik pidana makanya modus ini terus dipraktekkan meskipun disadari tidak lagi efektif. Hanya saja mestinya disadari prilaku menjanjikan sesuatu yang tidak realistis memiliki efek jangka panjang terhadap ketidakpercayaan publik. Ungkapan "janji-janji politik" merupakan bentuk sinisme publik terhadap prilaku inkonsisten para kandidat atau politisi.

Bahkan kalau ditelaah lebih jauh ketidakpercayaan publik pada janji-janji kandidat atau politisi merupakan salah satu variabel penting yang mendorong maraknya praktek politik uang. Bagi publik yang tidak percaya pada janji-janji politik yang bombastis membuat masyarakat bersikap realistis.

Daripada menunggu angin surga belaka mendingan menerima yang pasti meskipun tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan jangka panjang.

***