"Why Worry", Suka-suka Kok!

Jadi kita nantikan gelagat yang njurus-jurus ke CFR sambil iseng iseng ngitung berapa rasionya. Sambil saksikan pesta kembang api di Tegal merayakan kebebasan kota itu dari pembatasan.

Jumat, 22 Mei 2020 | 07:21 WIB
0
147
"Why Worry", Suka-suka Kok!
Indonesia terserah (Foto: wartakepri.co.id)

Saya dalam memahami aneka kebijakan Pak Jokowi soal copid ini memakai filosofi Jawa. Yang selalu tidak langsung. Jadi harus ditelaah dulu sebenarnya beliau itu maunya apa

Ibarat aliran Bengawan Solo. Air mengalir ke mana-mana dan akhirnya ke laut. Jadi tidak bisa dilihat dengan melihat aliran air di satu titik saja.

Tanpa harus minta maaf, Pak Presiden sudah mengakui kesalahan pemerintah mengantisipasi pagebluk ini sejak awal. Data disembunyikan dengan berbagai alasan tapi akhirnya kebobolan juga.

Untuk menebus kesalahan itu yang langsung berdampak ekonom yang dahsyat, Pak Presiden menebar jala pengaman sosial seluas mungkin.

Beliau tahu bawa data pemerintah pusat soal orang miskin dedel dowel dan terinfeksi virus mark-up dan korupsi.

Tapi biar saja. Yang penting sebar bantuan. Termasuk start up gede gede itu yang jualan videeo lewat kursus prakerja onlen-onlenan. Dikasih bansos trilyunan mereka.

Sementara di sektor kesehatan, beliau juga tahu bahwa kita tidak siap. Jadi apa yang tersedia itu yang dipakai. Rapid test dibeli tapi tidak akurat. Mesin PCR dibeli reagennya gak ada.

Gembar gembor produksi test kit dan ventilator lokal sampai sekarang tidak ketauan perkembangannya.

Dengar kabar, bahan baku terpenting yang kontennya sekitar 30 persen harus diimpor. Dan konten itu bagian yang sanga vital dari produksi alat--alat itu. Jadi kitta bikin mobil tapi karburator nya gak ada.

Presiden tahu itu.

Dan juga tahu bahwa ternyata copid itu tidak sangat berbahaya.

Tapi mosok Presiden harus bilang iitu? Setelah ratusan triliun dikuras dari kocek negara. Mosok Presiden bilang begitu Setelah seribu lebih orang meninggal.

Mosok Presiden bilang begitu. Setelah banyak pahlawan medis gugur.

Jadi Presiden cuma bisa bilang kita harus berdamai dengan copid. Beliau sudah memperhitungkan ini betapa kontroversi domai damai itu riuh rendah bakal muncul.

Nakes bilang Indonesia terserah. Suka- suka. Komentar kecewa itu bergulir kemana-mana hingga terjadi pro kontra.

Tapi Presiden mengambil benang merahnya. Ketika publik riuh rendah soal copid itu bahaya sekali atau tidak, beliau menerapkan strategi untuk melakukan test sebanyak mungkin.

Targetnya 10 ribu perhari. Dan hasilnya, terjadi lonjakan infeks baru nyaris tembus 1.000. Angka infeksi tembus 20 ribu.

Apa arti data itu? Membelah pandangan masyarakat antara yang memandang copid itu sangat berbahaya dengan kelompok memandang copid itu bahaya dan kelompok yang yakin copid itu cuma kayak flu biasa.

Pertentangan pandangan itu hasilnya adalah penanganan medis terus jalan dan ekonomi yang sempat diketepikan bisa jalan dengan segala resiko kesehatannya.

Pelanggaran yang bisa dilarang ya dilarang. Yang gak bisa ya dibiarkan.

Dan gongnya yang kita nantikan bersama adalah pernyataan Presiden bahwa CFR atau Case Fatalities Ratio Covid 19 adalah rendah sekitar 4-5 persen.

Dapat darimana data itu?

Dari angka kenaikan infeksi berbanding angka kenaikan jumlah kematian.

Presiden tidak akan bilang copid itu tidak berbahaya. Tapi sudah bisa dikendalikan. Buktinya, angka infeksi naik tapi angka kematian tidak sebanding dengan kenaikan angka infeksi.

Kontroversi nanti akan terjadi. Tapi Presiden sudah antisipasi. Karena segenap keributan itu akan berlalu dan senyap manakala kegiatan ekonomi pulih mendekati 50 persen.

Manakala sekolah buka lagi. Mall buka lagi. PSBB tidak ada lagi.

Itu akan terjadi di bulan Juni.

Dua bulan sesudahnya akan dipersiapkan untuk acara pengumuman kemenangan.

Bahwa berdamai dengan kopid adalah sebuah kemenangan ketika negara ini memperingati agustusan.

Semua rata semua bahagia.

Termasuk yang pesta pora menikmati bocornya anggaran bansos. Termasuk dari sektor jual video pra kerja.

Toh tidak ada pejabat yang dihukum karena sudah diberi vaksin anti KPK.

Toh masyarakat kita terkenal ndableg

Toh masyarakat suka gelud absurd di medsos

Toh masyarakat kita terkenal pasrah.

Toh masyaakat kita terkenal nyinyir.

Toh masyarakat gampang kemakan omongan buzzer dan influencret.

Toh Masyarakat kita susah lihat orang senang, senang lihat orang susah.

Dan Presdien paham itu. Yang penting semua hepi. Dalam menyikapi wabah ini.

Jadi kita nantikan gelagat yang njurus-jurus ke CFR sambil iseng iseng ngitung berapa rasionya. Sambil saksikan pesta kembang api di Tegal merayakan kebebasan kota itu dari pembatasan.

Selamat berhitung. Dah berapa persen sekarang Dan nantikan buzzer dan influencret mana yang ngoceh duluan...

***